Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Monday, March 28, 2011

Tafsir Surah Al-`Ashr

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Allah Ta`ala berfirman :
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al `Ashr : 1-3)
Allahu Subhaana wa Ta`ala bersumpah dengan masa, yaitu zaman secara keseluruhannya, dan Allah Ta`ala sangat berhak untuk bersumpah dengan apa yang dikehendaki-Nya dari makhluk-Nya. Adapun hamba-hamba tidak dibenarkan bagi mereka untuk bersumpah kecuali dengan nama Allah Ta`ala saja. Dan bersumpahnya Allah dengan masa adalah terhadap apa-apa yang terjadi pada masa dalam bentuk kejadian-kejadian dan perubahan-perubahan, dan sesungguhnya Dialah yang menyimpan amalan-amalan hamba-hamba, amalan yang baik dan yang jelek, dan Dia Subhaana wa Ta`ala bersumpah untuk menguatkan hamba-hamba-Nya, bahwa setiap manusia dalam  kesia-siaan dan kerugian walaupun harta dan anaknya banyak, dan besar kadar dan kemuliaannya, kecuali orang-orang yang mengumpulkan empat sifat ini pada dirinya :

Pertama : al-Iman, yaitu perkataan dengan lidah, pembenaran dengan hati dan amalan dengan anggota badan.

Kedua : Amalan sholih, Allah Jalla wa `Alaa berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Katakanlah : “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku : "Bahwa sesungguhnya Ilaah yang kalian ibadati adalah Ilaah yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbbnya". (QS. Al Kahfiy : 110)
Amalan sholih yaitu setiap perkataan atau perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa `Alaa. Hendaklah orang yang mengerjakannya semata-mata ikhlash karena Allah `Azza wa Jalla dan mengikuti Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam. Dan kecenderungan amalan sholih masuk kepada iman dikarenakan dengan menaruh perhatian yang sungguh dengan beramal sholih. Hal ini sebagai bentuk penegasan bahwa pembenaran dengan hati tidak bermanfaat tanpa diiringi dengan amalan.

Ketiga : Nasehat-menasehati di atas kebenaran, yaitu memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, sebagaimana Allah Ta`ala berfirman :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali `Imran : 104)
Allah Ta`ala berfirman :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali `Imran : 110)
Dan hendaklah berdakwah kepada Allah dengan ilmu dan hikmah, sebagaimana Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: "Inilah jalanku, saya dan orang-orang yang mengikutiku menyeru ke jalan Allah dengan `ilmu yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf : 108)
Allah Ta`ala berfirman :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an Nahl : 125)
Tidak cukup bahwasanya seorang manusia hanya memperbaiki dirinya saja dan wajib baginya mengamalkan ishlah (perbaikan) terhadap orang lain dengan mengajarkan kepada orang yang bodoh dan mengingatkan orang yang lalai. Dan hal ini menunjukan tentang wajibnya menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, dan bukan hal ini termasuk mencampuri urusan pribadi manusia sebagaimana yang didakwakan oleh sebahagian orang-orang dungu. Bahkan orang-orang yang memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, mereka menginginkan kebajikan dan keselamatan bagi manusia, dan menyelamatkan mereka dari adzab Allah Ta`ala. Dan dengan sifat seperti ini, ditetapkanlah bagi ummat ini kebajikan sebagai bentuk keutamaan bagi mereka dari ummat-ummat lainnya. Allah Ta`ala berfirman :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali `Imran : 110)

Keempat : Wasiat-mewasiati di atas kesabaran.
Tatkala seorang yang berdakwah kepada Allah Ta`ala, dan menyeru kepada kebajikan dan melarang dari kemungkaran sudah merupakan satu kepastian dia akan mendapatkan gangguan dari manusia. Oleh karena itu Allah Jalla wa `Alaa memerintahkannya untuk sabar atas gangguan mereka, lalu dia bersabar atas apa-apa yang dia dapatkan dari gangguan itu. Demikianlah wasiat Luqman kepada anaknya, Allah Ta`ala berfirman :
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman : 17)
Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman:
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ أَذًى كَثِيراً وَإِن تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu, dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”. (QS. Ali `Imran : 186)
Berkata al Imam as Syaafi`ii rahimahullahu Ta`ala : “Kalau tidaklah Allah menurunkan satu hujjah atas makhluq-Nya, kecuali surah Al `Ashr ini sudah cukup menjadi hujjah bagi mereka”.[1]
Dan surah Al `Ashr ini bersamaan dengan singkatnya lafazh-lafazhnya, sungguh telah terkumpul di dalamnya sebab-sebab kebahagian seluruhnya. Maka cukuplah surah ini sebagai hujjah atas makhluq, dan sungguh surah ini telah mencakup faedah-faedah yang sangat banyak. Saya (penulis) akan sebutkan diantaranya :

Pertama : Allah bersumpah dengan sesuatu ini yang menunjukkan atas besarnya dan pentingnya sesuatu tersebut. Di dalam sumpah ini Jalla wa `Alaa mengingatkan makhluq kepada nilai waktu dan apa-apa yang sepantasnya atas mereka untuk menaruh perhatian dan bersemangat atasnya. Dan sungguh Allah Subhaana wa Ta`ala telah bersumpah dengan bahagian waktu di ayat-ayat lain. Allah berkata :
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2
“Demi fajar; dan malam yang sepuluh”. (QS. Al Fajr : 1-2)
Berkata al Imam Ibnu Katsir rahimahullahu Ta`ala : "والليالي العشر", yang dimaksud dengannya ialah sepuluh Dzulhijjah. Sebagaimana telah dikatakan oleh Ibnu `Abbas, Ibnu az Zubeir, Mujaahid dan juga dikatakan bukan hanya satu orang saja dari kaum salaf dan khalaf. Sungguh telah terdapat dalam shohih al Bukhariy dari Ibnu `Abbas marfuu`an[2] :
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ" -يعني عشر ذي الحجة -َقَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ : "وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رجلا خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثم لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari-hari dikerjakannya satu amalan sholih lebih dicintai oleh Allah padanya daripada hari-hari ini”- maksudnya : hari sepuluh Dzulhijjah - para sahabat bertanya : “Dan tidak pula jihad dijalan Allah?”. Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda : “Dan tidak pula jihad dijalan Allah, kecuali seorang lelaki keluar dengan dirinya sendiri dan hartanya, kemudian dia tidak kembali dari yang demikian sedikitpun”.[3]
Berkata al Imam Ibnu Katsir rahimahullah Ta`ala : “Yang shohih pandangan ulama ialah pandangan yang pertama (hari sepuluh Dzulhijjah) ”,- tentang makna" [وليال عشر".-[4
Dan Allah Jalla wa `Alaa berfirman :
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى (1) وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى (2
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang); dan siang apabila terang benderang”. (QS. Al Lail : 1-2)
Dan Allah Ta`ala berfirman :
وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik;  dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)”. (QS. Ad Dhuhaa : 1-2)
Dan masa itu adalah merupakan diantara nikmat-nikmat Allah Ta`ala yang paling utama atas hamba-hambaNya.
Dari `Abdullah bin `Abbas radhiallahu `anhuma bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia merugi padanya yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan”.[5]
Berkata as Syaikh Saliim al Hilaaliy hafizhohullahu Ta`ala : “Diantara fiqh hadist ini adalah :
  1. Seseorang yang mukallaf (dibebani tanggung jawab) merupakan pedagang. Kesehatan dan kesempatan merupakan modal pokok hartanya, maka barang siapa yang baik dalam menggunakan modal hartanya dia akan mendapatkan keberuntungan, dan barang siapa yang menyia-nyiakannya dia akan merugi dan akan menyesal, dia menjadi seseorang yang merugi.
  2. Seyogyanya seseorang untuk mengambil istifadah (faidah/pelajaran) dari kesehatan dan kesempatan, guna pendekatan diri kepada Allah Ta`ala, dan mengerjakan kebajikan sebelum luput, karena setelah kesempatan akan ada kesibukan dan setelah kesehatan akan datang sakit.
  3. Islam sangat bersemangat dalam menjaga waktu, karena waktu merupakan kehidupan itu sendiri, dan memelihara keselamatan badan, karena keselamatan akan menolong untuk menyempurnakan Din (Agama).
  4. Dunia merupakan tempat bercocok tanam untuk akhirat, maka sepantasnya mempersiapkan bekal dengan bertaqwa dan menggunakan nikmat Allah Subhaana wa Ta`ala dalam ketaatan kepadaNya.
  5. Mensyukuri nikmat Allah Jalla wa `Alaa ialah dengan menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan kepadaNya Tabaaraka wa Ta`ala.[6]
Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan : "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim :7)
Berkata as Syaikh `Abdurrahman as Sa`diy rahimahullahu Ta`ala :
((ولئن كفرتم إن عذاب لشديد)), “dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” maknanya adalah bahwa diantaranya Allah Ta`ala akan menghilangkan nikmat yang telah Allah Ta`ala beri kepada mereka. Dan bentuk bersyukur atas nikmatNya ialah dengan mengakui dengan hati tentang nikmatNya, memuji Allah Jalla wa `Alaa atas nikmat tersebut, dan membelanjakannya pada jalan-jalan yang diridhoi Allah Ta`ala, sedangkan kufur nikmat adalah sebaliknya”.[7]

Kedua : Sumpah dari Allah Ta`ala menunjukkan atas agungnya yang Allah Jalla wa `Alaa bersumpah atasnya hal tersebut yaitu empat sifat yang disebutkan dalam ayat ini, dimana tidak akan didapatkan kemenangan kecuali dengan empat sifat ini.

Ketiga : Keutamaan iman dan kedudukannya yang agung, seakan-akan hal ini menjadi hal yang dimulai dengannya dan dijadikan sebagai kewajiban yang pertama atas makhluk.
Dari Abu Hurairah radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
لا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Tidak akan masuk kalian ke dalam surga sampai kalian beriman, dan tidak akan beriman kalian sampai kalian saling cinta-mencintai, apakah mau kalian saya tunjukkan akan sesuatu apabila kalian kerjakan kalian akan saling cinta-mencintai ? Sebarkanlah salam sesama kalian”.[8]

Keempat : Bahwa keimanan dengan hati saja tidak cukup, bahkan wajib diiringi dengan amalan sholih. Hal ini merupakan bantahan terhadap orang yang mengatakan : “Sesungguhnya iman dalam hati!”, sementara dia dengan demikian meninggalkan hal-hal yang wajib dan melakukan hal yang diharamkan, dia melampaui batas terhadap batasan-batasan Allah Ta`ala.

Kelima : Sesungguhnya amalan tidak akan diterima kecuali amalan itu sholih (baik), dan tidak akan baik amalan tersebut sampai orang yang beramal itu ikhlas padanya, serta sesuai dengan tuntunan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam.

Keenam : Bahwa nasehat-menasehati hendaklah dengan kebenaran tidak dengan yang lainnya. Sedangkan kebenaran disini ialah beriman dengan Allah Ta`ala dan amalan sholih serta menjauhi apapun yang menyelisihinya.

Ketujuh : Telah menunjukkan pengecualian disini bahwasanya orang yang bersifat seperti ini sangat sedikit sekali, sungguh Allah Ta`ala berfirman :
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِن مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”. (QS. Sabaa` : 13)
Dan Allah Ta`ala berfirman :
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعاً وَأَنَابَ
“Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya, dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zhalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu tersungkur sujud dan bertaubat”. (QS. Shod : 24)

Kedelapan : Keutamaan bersabar.
Seakan-akan Allah Ta`ala telah menjadikannya sebagai salah satu sifat yang tidak akan dicapai  satu keberhasilan kecuali dengannya. Dan pada ayat ini ada motivasi untuk berdakwah kepada Allah Ta`ala, bagaimanapun seorang da’i mendapatkan kesusahan dan gangguan. Dari Ibnu `Umar radhiallahu `anhuma bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang berbaur dengan manusia, dan sabar terhadap gangguan mereka, lebih besar ganjarannya daripada seorang mukmin yang tidak berbaur dengan manusia, dan dia tidak sabar terhadap gangguan mereka”.[9]
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Diterjemahkan oleh al Faqiir Ila `Afwi Rabbihi al Ustad Abul Mundzir/Dzul Akmal Lc  ar Riyawwiy al Madaniy as Salafiy, dari kitab : “Ad Durarul Muntaqoot minal Kalimaatil Mulqoot Duruusun Yaumiyah”, dan beberapa tambahan dari penterjemah. Halaman 241-244, oleh as Syaikh Amin bin `Abdullah as Syaqaawiy.
Rimbo Panjang, kompleks Ma`had Ta`zhim as Sunnah as Salafiyah, Km 19 ½ Jalan Raya Pekanbaru Bangkinang, malam Selasa 17 Shofar 1431H/2 Februari 2010M.


[1] “Tafsiir Ibnu Katsir (14/451), dan berkata al Imam as Syaafi`ii rahimahullahu Ta`ala : “Kalau seandainya manusia mentadabbur surah ini (al `Ashr) akan mencukupi mereka”.
[2] Hadist Marfu` adalah hadist yang disandarkan kepada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat (lahiriyah maupun bathiniyah).
[3] “HR.At-Tirmidzi no. 757 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
[4] “Tafsir Ibnu Katsir (14/337).
[5] “Shohih al Bukhariy (6412).
[6] “Bahjatun Naazhiriin Syarhu Riyaadhus Shoolihin”, (1/180-181), oleh as Syaikh Saliim al Hilaaliy.
[7] “Taisiirul Kariimir Rahman fi Tafsiir Kalaamil Mannaan”, halaman 479, oleh as Syaikh `Abdurrahman as Sa`diy.
[8] “Shohih Muslim (54)”.
[9] “Sunan Ibnu Maajah (4032)”.

Sumber : Buletin Ta'zhim As-Sunnah Edisi 12/IV/19 Rabi'ul Awwal 1431 H

Saturday, March 26, 2011

Kebodohan Merusak Kebersamaan

Penulis: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
.: :.
Orang-orang yang cerdas dan berilmu niscaya mengetahui betapa pentingnya kebersamaan. Sehingga mereka benar-benar menjaga kebersamaan dalam jamaah kaum muslimin dan penguasa (pemerintah)-nya. Adapun orang-orang yang bodoh, sama sekali tidak mengerti betapa pentingnya kehidupan berjamaah dengan satu penguasa. Bahkan mereka tidak mengerti mana yang lebih banyak antara satu dan sepuluh. Yakni, mana yang lebih besar antara korupsi, kolusi, atau nepotisme (KKN) dengan pertumpahan darah kaum muslimin dalam perang saudara.

Seorang yang berilmu mengetahui bahwa dengan mengikuti bimbingan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut penerapannya yang dicontohkan salafus shalih, pasti kaum muslimin akan terbimbing ke jalan yang terbaik. Maka, ia akan menghadapi penguasa yang dzalim dengan petunjuk dan bimbingan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang-orang yang bodoh berjalan bersama emosi dan hawa nafsunya, tanpa meminta bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka merasa lebih pandai dan lebih cerdas dari para nabi dan para ulama yang merupakan para pewarisnya. Merekalah kaum reaksioner Khawarij, yang selalu menyebabkan petaka dan bencana di setiap zaman. Mereka tidak memperbaiki keadaan –seperti pengakuan mereka– tetapi justru menghancurkan kebersamaan.

Banyak tulisan-tulisan mereka yang sampai kepada tangan penulis, dalam bentuk surat, selebaran, ataupun makalah-makalah. Hampir seluruhnya berisi “dalil-dalil” dan “bukti-bukti” tentang kafirnya penguasa, yang kemudian berujung menghalalkan darah mereka. Tentu saja dengan nama samaran, alamat palsu, dan penerbit yang tidak jelas. Namun seperti CD yang diputar ulang, isinya tetap sama seperti ucapan Khawarij yang pertama: “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia kafir.”

Tentu saja jawaban kita Ahlus Sunnah seperti jawaban Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat yang lain: “Kalimat yang haq, namun yang dimaukan adalah kebatilan.” Yakni, ayat-ayat dan hadits-hadits dalam tulisan mereka adalah kalimat-kalimat yang haq dan kita tidak membantahnya. Namun, apa yang dimaukan dengannya?

Diriwayatkan dari ‘Ubaid bin Rafi’ bahwa ketika kaum Khawarij mengatakan “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”, Ali radhiyallahu ‘anhu pun berkata: “Kalimat yang haq, namun yang mereka maukan adalah kebatilan. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada kami suatu kaum, maka kamipun telah mengenalinya. Yaitu sekelompok orang yang berbicara kebenaran, namun tidak melewati ini –sambil mengisyaratkan ke tenggorokannya–. Mereka adalah makhluk-makhluk yang paling dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala….” (HR. Muslim, Kitabuz Zakah juz 7 hal. 173)

Kalau saja mereka menulis dalil-dalil tersebut dalam rangka memperingatkan dan mengancam, maka kamipun sepakat. Karena Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan dalam masalah wa’id (ancaman): “Biarkanlah ancaman seperti apa adanya, agar manusia menjadi takut.” Namun ketika men-ta’yin (menentukan si Fulan atau si Allan) kafir, tentu kita harus merincinya. Karena pada dalil-dalil itu bisa jadi yang dimaksud kufur ashghar (kafir kecil) atau kufur akbar (kafir besar), kafir amali atau kafir i’tiqadi, dan lain-lain. Namun yang kita bahas kali ini adalah kebodohan mereka dalam penerapan dalil-dalil tersebut serta akibat dari kebodohan mereka.

Adapun kebodohannya, sangat jelas sekali. Karena mereka menerapkan dalil-dalil kepada orang-orang yang masih shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat dan pergi haji. Bukankah di antara hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mendasar adalah ibadah tersebut? Berarti mereka –paling tidak– masih berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara-perkara yang sangat penting tersebut, yang merupakan dasar-dasar keislaman. Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk memerangi penguasa yang masih shalat.

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ، وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik penguasa kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan (kebaikan, pent.) mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek penguasa kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Dikatakan:”Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau bersabda: “Jangan selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari penguasa kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, bencilah perbuatannya namun jangan mencabut tangan kalian dari ketaatan.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya juz 3 hal. 1481 cet. Daru Ihya`ut Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. 1, dari jalan Yazid bin Yazid, dari Zuraiq bin Hayyan, dari Muslim bin Qaradhah, dari ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)

Ibnu ‘Allan rahimahullah wa ghafarallahu lahu (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati dan mengampuni beliau) berkata: “Ucapan beliau ‘selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian’ adalah larangan untuk memerangi mereka selama mereka masih menegakkan shalat. Karena shalat merupakan tanda-tanda keislaman mereka. Sebab perbedaan antara kekafiran dan keislaman adalah shalat. Yang demikian karena kekhawatiran akan timbulnya fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslimin, yang tentunya lebih parah kemungkarannya daripada bersabar terhadap kejelekan dan kemungkaran yang muncul dari penguasa tersebut.” (Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin juz 1 hal. 473 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Mereka (Khawarij) adalah sejahat-jahat makhluk, karena membawa ayat-ayat yang turun tentang orang kafir kemudian diterapkannya kepada kaum muslimin.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu, Kitab Istitabatil Murtaddin juz 8 hal. 51)

Maka jangan teperdaya dengan banyaknya ucapan dari para ulama salaf, Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits, yang dinukil dalam tulisan-tulisan mereka. Karena semua itu hanya sesuatu yang dipakai untuk menutupi kebatilan mereka. Para ulama berbicara tentang bahayanya berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk ancaman, kemudian mereka menyimpulkannya dengan pengkafiran kaum muslimin dan penghalalan darah secara ta’yin!

Terlebih kebanyakan mereka berusia muda serta bodoh karena minimnya kedewasaan mereka. Sehingga mereka hanya mengandalkan semangat dan ‘otot’ saja, tanpa dilandasi oleh ilmu serta pertimbangan yang matang. Hal seperti ini pun digambarkan dalam riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَاهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ لاَ يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya tapi bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu berkata tentang Khawarij: “Tidak ada perselisihan di antara para ulama yang dahulu maupun sekarang bahwa Khawarij adalah kaum yang sangat jelek. Mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun mereka melakukan shalat, puasa, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah.”

Maka, akibatnya sangat fatal sekali. Dengan kebodohannya mereka mengkafirkan penguasa berikut aparaturnya, pendukungnya serta semua yang tidak mengkafirkan mereka. Kemudian mereka menghalalkan darahnya serta membolehkan pemberontakan dan praktik-praktik teror. Ini sangat fatal, karena mereka menjadikan citra Islam demikian menakutkan di mata manusia. Akhirnya islamofobia menjalar di masyarakat. Sungguh para pengacau Khawarij memikul dosa besar atas rusaknya gambaran Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Padahal sesungguhnya diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa Islam ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)

Karikatur orang-orang kafir Denmark –la’natullah ‘alaihim– memang sangat menyakitkan. Namun apakah pemicu perbuatan mereka kalau bukan perbuatan para teroris banci?!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya berperang melawan orang-orang kafir namun mereka tetap berwibawa di hadapan kawan dan lawan. Mengapa? Karena perang mereka sangat gentle. Memerangi kafir harbi dan tidak memerangi kafir dzimmi, mu’ahad, dan utusan-utusan. Berhadapan muka, bukan dari belakang. Membunuh tentara mereka dan tidak membunuh warga sipil, wanita, dan anak-anak.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama pasukannya. Kemudian beliau melihat orang-orang mengerumuni sesuatu, maka beliau mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata didapati seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْطَلِقْ إِلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ فَقُلْ لَهُ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكَ يَقُوْلُ لاَ تَقْتُلَنَّ ذُرِّيَّةً وَلاَ عَسِيْفًا

“Pergilah kepada Khalid dan katakanlah kepadanya: ‘Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau membunuh dzurriyyah (wanita dan anak-anak) dan pekerja (warga sipil)’.” (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قُلْ لِخَالِدٍ لاَ تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلاَ عَسِيْفًا

“Katakan kepada Khalid: ‘Jangan ia membunuh wanita dan pekerja’.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thahawi. Lihat Ash-Shahihah karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, 6/314)

Dengan kata lain, kebodohan kaum reaksioner Khawarij telah menyuburkan berbagai bentuk kerusakan, di antaranya: meruntuhkan kebersamaan kaum muslimin, pertumpahan darah sesama muslim, kekacauan, dan yang lebih parah lagi adalah rusaknya citra Islam. Tidak heran jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan mereka dengan gambaran-gambaran yang sangat jelek dan mengerikan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut mereka sebagai anjing-anjing neraka, sejelek-jelek bangkai di bawah naungan langit, dan lain-lain.

Diriwayatkan dari Abu Ghalib rahimahullahu bahwa ia berkata: “Pada saat aku berada di Damaskus, tiba-tiba didatangkanlah 70 kepala dari tokoh-tokoh Haruriyyah (Khawarij) dan dipasang di tangga-tangga masjid. Pada saat itu datanglah Abu Umamah –sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam– kemudian masuk ke masjid. Beliau shalat dua rakaat, lalu keluar menghadap kepala-kepala tadi. Beliau memandangnya beberapa saat sambil meneteskan air mata, kemudian berkata: “Apa yang dilakukan oleh iblis-iblis ini terhadap ahlul Islam?” (tiga kali diucapkan). Dan beliau berkata lagi: “Anjing-anjing neraka.” (juga tiga kali diucapkan). Kemudian beliau berkata:

هُمْ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمْاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوْهُ

“Mereka adalah sejelek-jelek bangkai di bawah naungan langit, dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka.” (tiga kali)

Kemudian beliau menghadap kepadaku seraya berkata: “Wahai Abu Ghalib, sesungguhnya engkau berada di negeri yang banyak tersebar hawa nafsu dan banyak kekacauan.” Aku menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungimu dari mereka.” Aku katakan: “Tetapi mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab: “Karena kasih sayangku kepada mereka, sesungguhnya mereka dulunya adalah golongan Islam (di atas Islam yang benar).” Aku bertanya kepadanya: “Apakah yang kau sampaikan itu sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sesuatu yang kau sampaikan dari pendapatmu sendiri?!” Beliau menjawab: “Kalau begitu, berarti aku sangat lancang jika aku menyampaikan apa yang tidak aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya –hingga beliau menyebutnya sampai tujuh kali. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah hal. 156)

Diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jahman, beliau berkata: “Saya masuk menemui Ibnu Abi Aufa dalam keadaan beliau telah buta. Aku memberi salam kepadanya. Ia pun menjawab salamku, kemudian bertanya: “Siapakah engkau ini?” Aku menjawab: “Saya Sa’id bin Jahman.” Dia bertanya lagi: “Apa yang terjadi pada ayahmu?” Aku menjawab: “Dia dibunuh oleh sekte Azariqah (salah satu sekte Khawarij).” Maka Ibnu Abi Aufa mengatakan tentang Azariqah: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memerangi Azariqah. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami:

أَلآ إِنَّهُمْ كِلاَبُ أَهْلِ النَّارِ

“Ketahuilah bahwa mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka.”

Aku bertanya: “Apakah sekte Azariqah saja atau seluruh Khawarij?” Beliau menjawab: “Seluruh Khawarij.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu hal. 428 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah)

Sebaliknya, kita lihat orang-orang yang cerdas dan berilmu yaitu para shahabat radhiyallahu 'anhum ketika mengalami masa-masa fitnah. Di antaranya Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu yang –konon katanya1– diusir oleh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Maka beliau pergi ke Syam. Ternyata di Syam pun terjadi perselisihan dengan gubernurnya yaitu Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Ia pun keluar dari Syam dan tinggal di desa terpencil yang bernama Rabadzah. Apa sikap beliau? Apakah ia bergabung bersama Khawarij memerangi penguasa untuk membela pribadinya?

Sungguh itulah dugaan kaum reaksioner Khawarij kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Tetapi Abu Dzar tidak sebodoh yang mereka sangka. Ketika mereka mendatangi Rabadzah dan mengatakan kepadanya: “Kibarkanlah bendera untuk kami! Niscaya kami akan menjadi tentaramu melawan khalifah ‘Utsman!” Abu Dzar pun menjawab: “Demi Allah, kalaupun ‘Utsman mengusirku ke timur ataupun ke barat, niscaya aku pun akan mendengar dan taat.” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’d, juz 4 hal. 227, melalui kitab Mauqif Ash-Shahabah fil Fitnah karya Dr. Muhamad Amhazun juz 1 hal. 457)

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah rahimahullahu, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai ahlul Islam, jangan kalian tawarkan kejelekan kalian kepadaku! Jangan kalian jatuhkan kehormatan penguasa. Karena sesungguhnya barangsiapa menghinakan penguasa (muslim) maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.” (Mushannaf, juz 15 hal. 227 melalui kitab Mauqif Ash-Shahabah fil Fitnah oleh Dr. Muhamad Amhazun juz 1 hal. 457)

Jangan kita mengatakan bahwa sikap tersebut khusus karena penguasanya adalah seorang shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Jangan bodoh atau berpura-pura bodoh! Bukankah pelajaran yang kita ambil adalah dari keumuman lafadznya, yaitu “penguasa muslim”? Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan ada penguasa yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia, tidak mengikuti As-Sunnah. Namun tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan untuk sabar dan menahan diri selama masih shalat (lihat kembali rubrik Nasihat edisi lalu).

Sungguh kita tidak sedang membela para penguasa. Tidak pula menyamakan penguasa kita dengan ‘Utsman bin ‘Affan. Jauh sekali perbedaan antara keduanya. Tetapi kita mengajak kaum muslimin untuk menghitung dengan hitungan hikmah dan As-Sunnah. Agar kita tidak terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar, menyalakan api peperangan sesama kaum muslimin, mengacaukan keamanan yang akan merusak kehidupan kaum muslimin dan lain-lain, dengan mengatasnamakan dakwah dan jihad. Wallahul musta’an.


1 Saya katakan “konon katanya”, karena ternyata riwayatnya tidaklah benar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidaklah diusir, melainkan menyendiri atas kemauannya sendiri, karena perbedaan pendapat yang terjadi antara beliau dengan beberapa shahabat yang lain.

Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=542

Sunday, March 20, 2011

Rahasia & Manfaat Minyak Zaitun

Nabi saw. telah berpesan agar kita mengkonsumsi dan memakai zaitun sebagai minyak. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ada enam belas pakar kedokteran paling tersohor di dunia berkumpul di Roma pada tanggal 21 April 1997 M, untuk menerbitkan beberapa pengarahan dan keputusan bersama tentang tema “Minyak Zaitun dan Nutrisi Laut Putih Tengah”.

Dalam pernyataan tersebut, mereka menegaskan bahwa mengkonsumsi minyak zaitun bisa memberikan andil melindungi tubuh dari serangan penyakit jantung koroner, kenaikan kolesterol darah, kenaikan tekanan darah, serta sakit diabetes dan obesitas, di samping minyak zaitun juga berkhasiat mencegah terjadinya beberapa jenis kanker.
Minyak Zaitun Mengurangi Kolesterol Berbahaya
Berbagai riset membuktikan adanya fakta yang tidak menyi-sakan keraguan lagi, bahwa minyak zaitun menurunkan total kadar kolesterol dan kolesterol berbahaya, tanpa mengurangi kandungan kolesterol yang bermanfaat.
Minyak Zaitun Mengurangi Resiko Terjadinya Penyumbatan (Trombosis) dan Penebalan (Arteriosklerosis) Pembuluh Darah
Dalam sebuah kajian yang dipublikasikan pada bulan Desember tahun 1999 M di Majalah AMJ CLIN NUTRL para peneliti menyatakan bahwa nutrisi yang kaya kandungan minyak zaitun bisa mengurangi pengaruh negatif lemak dalam makanan terhadap terjadinya pembekuan darah, dan selanjutnya mengu-rangi terjadinya penebalan pembuluh nadi jantung.
Minyak Zaitun Menurunkan Angka Kematian
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam majalah Lanst yang terkenal pada 20 Desember 1999 M, menunjukkan bahwa negara paling miskin di Eropa, yaitu Albania, yang berpenduduk muslim, memiliki keistimewaan sedikitnya angka kematian di sana. Angka kematian di Albania di kalangan pria adalah 41 orang dari setiap 100.000 orang, separoh dari keadaan di Britania. Hal itu dipengaruhi oleh konsumsi minyak zaitun dalam makanan para penduduk Albania.
Minyak Zaitun Mengurangi Pemakaian Obat-obatan Penurun Tekanan Darah Tinggi
Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Aldovaroro di Universitas Napoli Italia dan dipublikasikan dalam Majalah Archives of Internal Medicine, tanggal 27 Maret 2000 M, telah diadakan studi terhadap 32 pasien yang terkena penyakit tekanan darah tinggi dan mereka itu mengkonsumsi obat-obatan untuk darah tinggi.
Hasil studi menunjukkan penurunan tekanan darah dalam kadar 7 poin di kalangan mereka yang mengkonsumsi minyak zaitun.
Minyak Zaitun Mengurangi Serangan Kanker
Para peneliti menyatakan bahwa sebab menurunnya rasio kematian akibat serangan kanker di Laut Putih Tengah adalah karena makanan penduduk negeri tersebut mengandung minyak zaitun sebagai sumber utama lemak, di samping mengandung sayur-sayuran, buah-buahan, dan kol.
Minyak Zaitun Mencegah Timbulnya Kanker
Profesor Asman, Ketua Akademi Studi Arteriosclerosis di Universitas Monstar, Jerman, dia merupakan peneliti paling menonjol di dunia di bidang kedokteran dan arteriosclerosis, ia berkata, “Pengkonsumsian minyak zaitun bisa melindungi tubuh dari serangan sejumlah kanker lainnya, di antaranya kanker colon, kanker rahim, kanker ovarium, sekalipun jumlah studi ini masih terlalu minim.”
Minyak Zaitun dan Kanker Payudara
Sebuah studi yang dipublikasikan di bulan November 1995 dan dilakukan terhadap 2.564 wanita yang terkena kanker payudara, menegaskan bahwa ada korelasi terbalik antara kemungkinan terjadinya kanker payudara dengan pengkon-sumsian minyak zaitun, dan bahwa banyak mengkonsumsi minyak zaitun memberikan andil dalam melindungi seseorang dari serangan kanker payudara.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Majalah Archives of Internal Medicine edisi Agustus 1998 M menegaskan bahwa pengkonsumsian sesendok makan minyak zaitun setiap hari bisa mengurangi bahaya terjadinya kanker payudara sampai pada kadar 45%.
Minyak Zaitun dan Kanker Rahim
Majalah Kanker Britania mempublikasikan di bulan Mei 1996 M sebuah studi yang dilakukan terhadap 145 wanita Yunani yang terkena kanker rahim. Para peneliti mengkorelasikan antara wanita-wanita yang terkena kanker rahim tersebut dengan wanita-wanita yang banyak mengkonsumsi minyak zaitun. Ternyata, para wanita yang mengkonsumsi minyak zaitun lebih sedikit yang terkena kanker rahim. Di mana kemungkinan terjadinya kanker pada mereka turun sampai 26%.
Minyak Zaitun dan Kanker Lambung
Sejumlah studi ilmiah modern menunjukkan bahwa mengkonsumsi minyak zaitun secara teratur bisa mengurangi terjadinya kanker lambung. Tapi masih diperlukan berbagai studi ilmiah lanjutan mengenai hal ini.
Minyak Zaitun dan Kanker Colon
Ada juga beberapa studi yang menunjukkan bahwa peng-konsumsian buah-buahan, sayur-sayuran, dan minyak zaitun, memainkan peran penting dalam melindungi tubuh dari serangan kanker colon.
Minyak Zaitun dan Kanker Kulit (Melanoma)
Majalah Dertmatdogg Times edisi bulan Agustus 2000 M menyebutkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa meng-gunakan minyak zaitun setelah renang sebagai krim kulit dan berjemur, akan melindungi terjadinya kanker kulit (melanoma).
Minyak Zaitun Mengurangi Timbulnya Tukak Lambung
Dr. Samût, dari Universitas Harvard Amerika, menyampaikan sebuah studi di Kongres Terakhir Organisasi Penyakit Sistem Pencernaan Amerika yang diadakan pada bulan Oktober 2000 M.
Dr. Samût menegaskan bahwa gizi yang terkandung dalam minyak zaitun bisa memiliki pengaruh positif dalam melindungi tubuh dari kanker lambung dan mengurangi timbulnya penyakit tukak lambung.
Minyak Zaitun Berkhasiat Seperti ASI
Dalam sebuah studi modern yang dipublikasikan di bulan Februari 1996 M di Universitas Barcelona, Spanyol, yang dilakukan terhadap empat puluh wanita yang menyusui, diambil sampel ASI dari mereka. Para peneliti menemukan bahwa kebanyakan lemak yang terkandung di dalam ASI termasuk jenis lemak yang berantai tunggal. Jenis lemak ini dikategorikan sebagai lemak terbaik yang seharusnya dikonsumsi oleh manusia, dan itulah jenis lemak yang terkenal terdapat dalam minyak zaitun.
Minyak Zaitun Mengurangi Peradangan Sendi
Majalah AMJ CLIN NUTR edisi November 1999 M, mempu-blikasikan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 145 pasien pengidap sakit persendian semacam arthritis di Yunani Utara. Mereka dikorelasikan dengan 108 orang yang sehat. Dalam penelitian ini terlihat bahwa pengkonsumsian minyak zaitun bisa memberikan andil dalam melindungi tubuh dari terjadinya penya-kit ini.
Minyak Zaitun Membunuh Kutu Kepala
Beberapa studi yang dilakukan di beberapa Universitas dan Akademi di Amerika, tentang kutu kepala, menunjukkan bahwa penggunaan minyak zaitun sebagai minyak rambut yang terkena kutu, dalam beberapa jam saja bisa membunuh kutu yang ada di kepala.276)

Sumber : http://thibbunnabawi.wordpress.com

Pakaian Wanita Dalam Shalat

1.Pertanyaan
Apakah boleh shalat memakai pantaloon (celana panjang ketat) bagi wanita dan lelaki. Bagaimana pula hukum syar’inya bila wanita memakai pakaian yang bahannya tipis namun tidak menampakkan auratnya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pakaian yang ketat yang membentuk anggota-anggota tubuh dan menggambarkan tubuh wanita, anggota-anggota badan berikut lekuk-lekuknya tidak boleh dipakai, baik bagi laki-laki maupun wanita. Bahkan untuk wanita lebih sangat pelarangannya karena fitnah (godaan) yang ditimbulkannya lebih besar.
Adapun dalam shalat, bila memang seseorang shalat dalam keadaan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut maka shalatnya sah karena adanya penutup aurat, akan tetapi orang yang berpakaian ketat tersebut berdosa. Karena terkadang ada amalan shalat yang tidak ia laksanakan dengan semestinya disebabkan ketatnya pakaiannya. Ini dari satu sisi. Sisi yang kedua, pakaian semacam ini akan mengundang fitnah dan menarik pandangan (orang lain), terlebih lagi bila ia seorang wanita.
Maka wajib bagi si wanita untuk menutup tubuhnya dengan pakaian yang lebar dan lapang, tidak menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak mengundang pandangan (karena ketatnya), dan juga pakaian itu tidak tipis menerawang. Hendaknya pakaian itu merupakan pakaian yang dapat menutupi tubuh si wanita secara sempurna, tanpa ada sedikitpun dari tubuhnya yang tampak. Pakaian itu tidak boleh pendek sehingga menampakkan kedua betisnya, dua lengannya, atau dua telapak tangannya. Si wanita tidak boleh pula membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya tapi ia harus menutup seluruh tubuhnya. Pakaiannya tidak boleh tipis sehingga tampak tubuhnya di balik pakaian tersebut atau tampak warna kulitnya. Yang seperti ini jelas tidak teranggap sebagai pakaian yang dapat menutupi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam hadits yang shahih1:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: رِجَالٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِساَءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسَهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ لاَ يَجِدْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang saat ini aku belum melihat keduanya. Yang pertama, satu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi, yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka miring dan membuat miring orang lain. Kepala-kepala mereka semisal punuk unta, mereka tidak akan mencium wanginya surga.”
Makna كَاسِيَاتٌ: mereka mengenakan pakaian akan tetapi hakikatnya mereka telanjang karena pakaian tersebut tidak menutupi tubuh mereka. Modelnya saja berupa pakaian akan tetapi tidak dapat menutupi apa yang ada di baliknya, mungkin karena tipisnya atau karena pendeknya atau kurang panjang untuk menutupi tubuh.
Maka wajib bagi para muslimah untuk memperhatikan hal ini. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/158-159)
2.Pertanyaan:
Kebanyakan wanita bermudah-mudah dalam masalah aurat mereka di dalam shalat. Mereka membiarkan kedua lengan bawahnya atau sedikit darinya terbuka/tampak saat shalat, demikian pula telapak kaki bahkan terkadang terlihat sebagian betisnya, apakah seperti ini shalatnya sah?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memberikan jawaban, “Yang wajib bagi wanita merdeka dan mukallaf untuk menutup seluruh tubuhnya dalam shalat terkecuali wajah dan dua telapak tangan, karena seluruh tubuh wanita aurat.
Bila ia shalat sementara tampak sesuatu dari auratnya, seperti betis, telapak kaki, kepala atau sebagiannya, maka shalatnya tidak sah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ الْحَائِضِ إِلاَّ بِخِمَارٍ
Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid kecuali bila mengenakan kerudung.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali An-Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Yang dimaksud haid dalam hadits di atas adalah baligh.
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
Wanita itu aurat.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan dalam Al-Misykat (no. 3109), Al-Irwa’ (no. 273), dan Ash-Shahihul Musnad (2/36). –pen.)
Juga riwayat Abu Dawud dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat memakai dira’ (pakaian yang biasa dikenakan wanita di rumahnya, semacam daster) dan khimar (kerudung) tanpa memakai izar (sarung/pakaian yang menutupi bagian bawah tubuh). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya haditsnya atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.” (
Yakni hadits di atas adalah ucapan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.)
Bila di dekat si wanita (di sekitar tempat shalatnya) ada lelaki ajnabi maka wajib baginya menutup pula wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/ 409)
3.Pertanyaan
Kita perhatikan sebagian orang yang shalat mereka mengenakan pakaian yang tipis hingga bisa terlihat kulit di balik pakaian tersebut. Apa hukumnya shalat dengan pakaian seperti itu?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullahu menjawab, “Wajib bagi orang yang shalat untuk menutup auratnya ketika shalat menurut kesepakatan kaum muslimin dan tidak boleh ia shalat dalam keadaaan telanjang, sama saja apakah ia lelaki ataukah wanita.
Wanita lebih sangat lagi auratnya. Kalau lelaki, auratnya dalam shalat adalah antara pusar dan lutut disertai dengan menutup dua pundak atau salah satunya bila memang ia mampu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِف بِهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
Bila pakaian/kain itu lebar/lapang maka berselimutlah engkau dengannya (menutupi pundak) namun bila kain itu sempit bersarunglah dengannya (menutupi tubuh bagian bawah).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Juga berdasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
لاَيُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ
Tidak boleh salah seorang dari kalian shalat dengan mengenakan satu pakaian/kain sementara tidak ada sedikitpun bagian dari kain itu yang menutupi pundaknya.”
Hadits ini disepakati keshahihannya.
Adapun wanita, seluruh tubuhnya aurat di dalam shalat terkecuali wajahnya.
Ulama bersilang pendapat tentang dua telapak tangan wanita: Sebagian mereka mewajibkan menutup kedua telapak tangan. Sebagian lain memberi keringanan (rukhshah) untuk membuka keduanya. Perkaranya dalam hal ini lapang, insya Allah. Namun menutupnya lebih utama/afdhal dalam rangka keluar dari perselisihan ulama dalam masalah ini.
Adapun dua telapak kaki, jumhur ahlil ilmi (mayoritas ulama) berpendapat keduanya wajib ditutup.
Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh) apabila dira’ tersebut luas/lebar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Bulughul Maram berkata, “Para imam menshahihkan mauqufnya hadits ini atas Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (yakni, ucapan ini adalah perkataan Ummu Salamah bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, red.).”
Berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, wajib bagi lelaki dan wanita untuk mengenakan pakaian yang dapat menutupi tubuhnya, karena kalau pakaian itu tipis tidak menutup aurat batallah shalat tersebut. Termasuk di sini bila seorang lelaki memakai celana pendek yang tidak menutupi kedua pahanya dan tidak memakai pakaian lain di atas celana pendek tersebut sehingga dua pahanya tertutup, maka shalatnya tidaklah sah.
Demikian pula wanita yang mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi auratnya maka batallah shalatnya. Padahal shalat merupakan tiang Islam dan rukun yang terbesar setelah syahadatain, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin, pria dan wanita, untuk memberikan perhatian terhadapnya dan menyempurnakan syarat-syaratnya serta berhati-hati dari sebab-sebab yang dapat membatalkannya, berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha (ashar)…” (Al-Baqarah: 238)
Dan firman-Nya:
Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
Tidaklah diragukan bahwa memerhatikan syarat-syarat shalat dan seluruh yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan berkenaan dengan shalat masuk dalam makna penjagaan dan penegakan yang diperintahkan dalam ayat.
Apabila di sisi/di sekitar si wanita itu ada lelaki ajnabi saat ia hendak shalat maka wajib (Berdasar pendapat yang mewajibkan menutup wajah, bukan yang menganggapnya sunnah. (ed)) baginya menutup wajahnya. Demikian pula dalam thawaf, ia tutupi seluruh tubuhnya karena thawaf masuk dalam hukum shalat. Wabillahi at-taufiq.” (Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/410-412)
4.Pertanyaan
Bila aurat orang yang sedang shalat tersingkap, bagaimana hukumnya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Orang yang demikian tidak lepas dari beberapa keadaan :
Pertama: Bila ia sengaja/membiarkannya, shalatnya batal, baik sedikit yang terbuka/tersingkap ataupun banyak, lama waktunya ataupun sebentar.
Kedua: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka cuma sedikit maka shalatnya tidak batal.
Ketiga: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak namun cuma sebentar seperti saat angin bertiup sedang ia dalam keadaan ruku lalu pakaiannya tersingkap tapi segera ia tutupi/perbaiki maka pendapat yang shahih shalatnya tidak batal karena ia segera menutup auratnya yang terbuka dan ia tidak bersengaja menyingkapnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Bertakwallah kalian kepada Allah semampu kalian.”
Keempat: Bila ia tidak sengaja dan yang terbuka banyak, waktunya pun lama karena ia tidak tahu ada auratnya yang terbuka terkecuali di akhir shalatnya maka shalatnya tidak sah karena menutup aurat merupakan salah satu syarat shalat dan umumnya yang seperti ini terjadi karena ketidakperhatian dirinya terhadap auratnya di dalam shalat. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh ibnu Al-Utsaimin, Fatawa Al-Fiqh, 12/300-301)
Footnote:
1 HR. Muslim no. 5547.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan hadits di atas termasuk mukjizat kenabian, karena telah muncul dan didapatkan dua golongan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Adapun makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ, wanita-wanita itu memakai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tapi tidak mensyukurinya. Ada pula yang memaknakan, para wanita tersebut menutup sebagian tubuh mereka dan membuka sebagian yang lain guna menampakkan kebagusannya. Makna lainnya, mereka memakai pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya dan apa yang tersembunyi di balik pakaian tersebut.
مَائِلاَتٌ maknanya mereka menyimpang dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari perkara yang semestinya dijaga.
مُمِيْلاَتٌ maknanya mereka mengajarkan perbuatan mereka yang tercela kepada orang lain. Ada pula yang menerangkan مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ dengan makna mereka berjalan dengan miring berlagak angkuh dan menggoyang-goyangkan pundak mereka. Makna yang lain, mereka menyisir rambut mereka dengan gaya miring seperti model sisiran wanita pelacur dan mereka menyisirkan wanita lain dengan model sisiran seperti mereka.
رٌؤٌوْسٌهٌنَّ كأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ maknanya mereka membesarkan rambut mereka dengan melilitkan sesuatu di kepala mereka. (Al-Minhaj, 14/336).

Friday, March 18, 2011

Keluarnya Dajjal Sebagai Tanda Hari Kiamat

Setelah Imam Mahdi, satu penanda besar hari kiamat yang akan muncul adalah Dajjal. Dia berasal dari manusia dan merupakan sosok nyata. Kemunculannya akan didahului dengan sejumlah peristiwa besar.
Di antara kewajiban seorang muslim adalah beriman kepada hari akhir dan apa yang akan terjadi sebelum dan setelahnya. Hari kiamat tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jibril ‘alaihissalam bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ. قَالَ: مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ
“Kabarkanlah kepadaku kapan terjadi hari kiamat?” Rasulullah menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari bertanya.” (HR. Muslim no. 1)
Meskipun tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menerangkan tanda-tanda yang akan muncul sebelum terjadinya. Tanda-tanda hari kiamat ada dua, shugra dan kubra.
Tanda kiamat shugra banyak jumlahnya, Di antaranya yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ: أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ
“(Jibril) berkata: Kabarkan kepadaku tentang tanda-tandanya. Rasulullah menjawab: Budak perempuan melahirkan tuannya, dan kamu lihat orang yang telanjang kaki dan telanjang badan penggembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan.” (HR. Muslim no. 1)

Thursday, March 17, 2011

Bukti Cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, manusia terbaik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih untuk menyampaikan risalah-Nya kepada segenap manusia, membimbing dan menunjukkan mereka kepada cahaya Islam, iman, serta ketaatan kepada-Nya.

Dengan sifat amanah yang melekat pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam , ajaran dan risalah Islam ini telah tersampaikan kepada umat dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali telah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya; dan tidak ada satu kejelekan pun, kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan umatnya agar berhati-hati dan menjauh darinya.

Ini semua merupakan nikmat besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-Nya, dengan diutusnya seorang rasul untuk mengajak dan membimbing mereka kepada jalan yang lurus, jalan menuju kemenangan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kadar kecintaan yang lebih besar daripada kecintaannya kepada orang tuanya sendiri, anaknya, dan manusia seluruhnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga dia menjadikan aku sebagai seorang yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan: “Seorang mukmin itu tidaklah menjadi seseorang yang benar-benar beriman sampai dia mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kecintaannya kepada seluruh makhluk, dan kecintaan kepada Rasulullah itu mengiringi kecintaan kepada Dzat yang mengutusnya (Allah).” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam]

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengancam orang-orang yang lebih mementingkan kecintaannya kepada urusan dunia daripada kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ancaman akan mendatangkan adzab kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluarga kalian, dan juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah (adzab Allah) sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]

Bahkan terhadap dirinya pun, seorang mukmin yang jujur dalam keimanannya akan lebih mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada diri dan jiwanya sendiri.

Pada suatu ketika, shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.”

Yakni ‘Umar radhiyallahu ‘anhu benar-benar mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu. Kecuali dirinya, shahabat  lebih mencintai dirinya sendiri daripada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam .

Ketika mendengar penuturan salah seorang shahabatnya yang mulia tersebut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:

لاَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ.

“Tidak (wahai ‘Umar), demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bahkan hendaknya aku juga menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”

Setelah mendengar nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, shahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun mengatakan:

“Sesungguhnya sekarang ini, demi Allah, engkau benar-benar seorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:

الآنَ يَا عُمَرُ.

“Sekarang wahai ‘Umar.” [HR. Al-Bukhari]

Yakni sekarang, beliau benar-benar telah merealisasikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan melebihkan kecintaannya kepada beliau daripada kecintaannya kepada siapapun, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Bukti Cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah termasuk kewajiban yang paling agung dalam agama ini.” [Ar-Raddu ‘alal Akhna-i, hal. 231]

Tentunya, kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah sekedar pengakuan yang hanya digembar-gemborkan saja, namun cinta rasul merupakan sebuah prinsip agung yang membutuhkan bukti dari setiap orang yang mengaku cinta kepada junjungannya tersebut.

Jika dahulu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, para shahabat benar-benar merealisasikan cintanya kepada beliau dengan berjuang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengorbankan harta, jiwa, dan bahkan keluarga mereka sendiri untuk menjalankan syariat Islam demi tegaknya agama Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Ketika datang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bersegera untuk mengamalkannya, sami’na wa atha’na. Pun ketika mendengar larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dari suatu perbuatan tertentu, mereka bersegera untuk meninggalkan dan menjauhi perbuatan tersebut.

Kini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, namun kewajiban untuk mencintai beliau tetap berlaku bagi umat Islam yang datang sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Di antara hal-hal yang bisa dilakukan oleh setiap mukmin untuk membuktikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

1. Menaati perintah dan menjauhi larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Tidak sepatutnya bagi seseorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ketika mendengar perintahnya, ia enggan untuk melaksanakannya padahal ia mampu; atau mendengar larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ia tetap bergelimang dalam perbuatan yang dilarang beliau. Orang yang mengaku cinta Rasul hendaknya menjadi orang pertama yang menaati beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan. Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang enggan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang menaatiku, dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dialah orang yang enggan.” [HR. Al-Bukhari]

2. Membenarkan semua berita yang disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ada keraguan sedikitpun

Setiap berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , wajib untuk diyakini kebenaran tanpa ada keraguan sedikitpun, baik berita yang beliau sampaikan tersebut tentang peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau maupun yang akan datang, bahkan berita tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi nanti pada hari kiamat dan sesudahnya.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul yang sabda-sabdanya berdasarkan wahyu sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an (artinya):

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

3. Menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan bimbingan dan petunjuk beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Semua bentuk ritual ibadah dalam agama ini hendaklah ditunaikan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena barangsiapa yang mengamalkan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ibadahnya itu akan sia-sia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan termasuk bagian dari perintah (petunjuk) kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim]

4. Mendahulukan perkataan dan ketentuan syariat beliau daripada perkataan dan pendapat seorang pun selain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

Tidak boleh bagi siapapun untuk meragukan atau bahkan menolak dan meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta ketentuan syariat yang telah beliau tetapkan disebabkan ucapan atau pendapat seseorang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman (artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujurat: 1]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Umat Islam telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (perkataan dan ketentuan syariat) dari Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut disebabkan perkataan seseorang.” [Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 50]

Siapapun dia, baik ustadz, kyai, maupun tokoh ulama pun, jika perkataan dan pendapatnya menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih), maka harus ditinggalkan dan wajib untuk mengikuti apa yang telah disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah (Hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

5. Mencintai orang-orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cintai

Para pembaca, di antara bentuk kecintaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga adalah mencintai orang-orang yang beliau cintai, yaitu para shahabat, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Termasuk di antara orang-orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam cintai adalah Ahlul Bait beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (yang termasuk di dalamnya adalah istri-istri beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam), dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Di samping mencintai mereka, hendaknya juga mendoakan kebaikan dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr: 10]

6. Berpegang teguh dengan sunnah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Berikutnya, kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang yang mengaku cinta kepada nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mencintai dan membela sunnah-(ajaran)nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta berpegang teguh dengannya, dan kemudian berupaya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus membenci dan berusaha untuk membersihkan umat ini dari segala bentuk pemikiran, aqidah, akhlaq, mu’amalah dan ritual ibadah dalam agama ini yang menyelisihi ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam serta tidak pernah dicontohkan olehnya.

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Di antara bentuk kecintaan kepada beliau adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariatnya, berangan-angan untuk berjumpa beliau semasa hidupnya,  dan kemudian dia mengorbankan harta dan jiwanya demi membela beliau.” [Syarh Shahih Muslim]

7. Bershalawat kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Termasuk bukti kecintaan seorang mukmin terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan banyak bershalawat kepadanya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan.

Bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ibadah, maka harus sesuai dengan apa yang telah beliau contohkan, bukan dengan shalawat-shalawat yang tidak ada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Wallahu a’lam bish shawab.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=571#more-571

Tuesday, March 15, 2011

INILAH KEYAKINANULAMA AHLI HADITS

I’tiqod ahli hadits ialah yang diyakini oleh salaf umat ini yakni menetapkan apa yang ditetapkan Allah تعالى untuk diri-Nya dari nama dan sifat sifat-Nya tanpa penyerupaan (kepada makhluk) dan penidaan. Dan memahami nash-nash menurut teks-nya sesuai dengan yang Allah تعالى kehendaki tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.


Berkata Abu Muhammad Abdurrohman bin Abu Hatim : “Aku bertanya kepada ayahku dan Abu-Zur’ah tentang mazhab ahli-sunnah, dan apa yang didapati keduanya dari para ulama disegenap penjuru negeri : hijaz, Iraq, mesir, syam dan yaman?

Monday, March 7, 2011

Menjawab Ucapan Jazakallah Khair

Banyak orang yang sering mengucapkan “waiyyak (dan kepadamu juga)” atau ?waiyyakum (dan kepada kalian juga)? ketika telah dido’akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan “jazakallah khair atau barakalahu fiikum”? Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut: Asy Syaikh Muhammad ‘Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: Beberapa orang sering mengatakan “Amiin, waiyyaak” (yang artinya “Amiin, dan kepadamu juga”) setelah seseorang mengucapkan “Jazakallahu khairan” (yang berarti “semoga ALLAH membalas kebaikanmu”). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat? Beliau menjawab:
Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan “Jazakalahu khairan,” tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan “wa iyyaakum.” Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan “wa iyyaakum,” setelah doa apapun, dan tidak berkata “Jazakallahu khairan,” mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama). Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta?ala ditanya: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan ?wa iyyakum? (dan kepadamu juga)? Beliau menjawab: ?tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan ?jazakallahu khair? (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido’akan sebagaimana dia berdo?a, meskipun perkataan seperti ?wa iyyakum? sebagai athaf (mengikuti) ucapan ?jazaakum?, yaitu ucapan ?wa iyyakum? bermakna ?sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian? ,namun jika dia mengatakan ?jazakalallahu khair? dan menyebut do?a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.? Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi ditanya: Apa hukumnya mengucapkan, ?Syukran (terimakasih)? bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita? Beliau menjawab: Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, ?Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.? Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan. Menjawab dengan “Wafiika barakallah”. Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do’a “Barakallahu fiikum atau Barakallahu fiika” kepada kita, maka kita menjawabnya: “Wafiika barakallah” (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu) (lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun) Menjawab dengan “jazakallahu khair”. Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan “jazakallahu khairan”, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: ?Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.? (HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi) Ada beberapa ketentuan dalam mengucapkan jazakallah: – jazakallahu khairan (engkau, lelaki) – jazakillahu khairan (engkau, perempuan) – jazakumullahu khairan (kamu sekalian) – jazahumullahu khairan (mereka) Fatwa ulama seputar ucapan “jazakallah”: Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya: sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan “jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan “sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.? Beliau menjawab: Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do’a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido’akan dengan do’a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini. Namun jika seseorang menyebutkan do’a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do’a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: ?jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ?awwadhaka khaeran? (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula? maka hal ini tidak mengapa. Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do?a. Namun tambahan do?a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido?akan dengan do?a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do?a itu. Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya: Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo?a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer? (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan? ? Beliau -hafidzahullah- menjawab: ?Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang ?beribu-ribu terima kasih?, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.? (transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222) Kesimpulan: Ucapan “Waiyyak” secara harfiah artinya “dan kepadamu juga”. Ini adalah bentuk do’a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo’a dengan selain ucapan “Jazakumullah khairan” dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan “jazakalla khair”, inilah sunnahnya. Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid’ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah. Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, “Ilmu itu sebelum berkata dan beramal”. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta?ala ?Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu? (QS. Muhammad: 19). Dari ayat yang mulia ini, Allah ta?ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya. Muraja’: – sunniforum.com/forum/showthread.php?t=3105 – darussalaf.or.id/stories.php?id=1520 – Hisnul Muslim, Syaikh Said bin Ali Al Qathani

 

by blogonol