Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tuesday, November 29, 2011

Keutamaan Puasa di Hari Asyura (10 Muharram)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]
Hadits yang Pertama
عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits yang Kedua
عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)
Hadits yang Ketiga
وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.
Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.
Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]
Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]
3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)
CATATAN KAKI:
[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)
Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:
“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .
“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”
Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.
لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-
“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))
[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)
[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.
Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.
Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)
[4] (lihat no. 3)
[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.
Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)
Wallaahu a’lam.

Copy dari : http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/01/01/keutamaan-puasa-di-hari-asyura-10-muharram/

Tuesday, November 22, 2011

Bagaimana Memahami Kebersamaan Allah Dengan Makhluknya

Penulis : Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Dalam memahami ayat-ayat tentang dekatnya Allah dengan makhluk-Nya, seringkali terjadi kesalahan pada kaum muslimin. Kebanyakan mereka mengira bahwa ayat-ayat tersebut bertentangan dengan dalil-dalil ‘uluw (tinggi)nya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Seperti ayat-ayat yang menyatakan kebersamaan Allah سبحانه وتعالى dengan makhluk-Nya sebagai berikut:
...وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ....الحديد:4
…Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada... (al-Hadiid: 4)

Juga ayat yang menyatakan dekatnya Allah dengan makhluk-Nya. Diantaranya Allah سبحانه وتعالى berfirman:
...وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ. ق: 16
… dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Qaaf: 16)

Saturday, November 12, 2011

Jangan Heran

Asy Syeikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah

Segala puji hanya milik Allah, Salawat serta salam atas Rasulullah.

Saya telah membaca perkataan beberapa masyeikh yang dimuat di surat kabar “Al wathan”. Mereka heran dengan perpecahan diantara kaum muslimin, padahal mereka yang berpecah belah tersebut berkata : “Tuhan kami  Adalah Allah”, Nabiku Muhammad, Agamaku Islam.

Saya berkata, tidak perlu heran dengan fenomena seperti itu. Sebab ucapan tidaklah cukup tanpa merealisasikan apa yang ditunjukkan oleh ucapan tersebut. Maka tidak cukup seseorang itu berkata :”Allah Tuhanku”, sampai ia istiqomah diatas kalimat ini dengan menerapkan apa yang ditunjukkan oleh ucapannya, yaitu beribadah kepada Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita”.(QS. Al Ahqaf :13)

Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam bersabda, ketika Sufyan bin Abdullah Radiyallahu Anhu memintanya untuk diberikan satu perkataan di dalam islam, yang mana hal tersebut tidak akan ia minta kepada selain Nabi, maka beliau (Sallalahu Alaihi Wasallam) berkata kepadanya:
قل آمنت بالله ثم استقم
“ Katakanlah : “Saya beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah”(HR. Ahmad no.14869)

Kalau hanya mengatakan :” Tuhanku ialah Allah” yang bermakna mengakui tauhid rububiyah, itu tidaklah cukup sehingga mengakui tauhid uluhiyah, dengan tidak menyembah(beribadah) kecuali hanya kepada Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Kaum musyrikin mengakui tauhid rububiyah, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam uluhiyah-Nya, sebagaimana yang disebutkan Allah didalam Al Qur’anul Karim.

Juga tidak cukup, seseorang berkata :”Muhammad adalah nabiku” tanpa mengikuti Rasulullah, tidak mentaati perintahnya, tidak membenarkan berita dari beliau serta tidak mengikuti syariat yang beliau bawa dalam menyembah kepada Allah. Karena hal-hal tersebut merupakan tahqiq (pembenaran) dari perkataan:”Muhammad adalah nabiku”.

Adapun orang yang  berkata demikian, lalu tidak mentaati beliau pada apa-apa yang diperintahkan tidak menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau larang, tidak membenarkan berita dari beliau, tidak menjauhkan diri dari berbagai bid’ah serta perkara yang di ada-adakan dalam agama, bahkan melakukan ibadah kepada Allah tanpa ada dasar syariatnya dari Rasul Sallalahu Alaihi Wasallam, maka perkataannya (”Muhammad adalah nabiku”) sama sekali tidak memberi manfaat baginya.

Demikian pula orang yang berkata :”Islam agamaku”, ia harus komitmen (berpegang teguh) dengan seluruh hukum-hukum islam, seperti aqidah, syariat, muamalah, akhlaq dan suluk. Jangan mengatakan islam agamaku lalu mengikuti ajaran yang menyelisihi ajaran islam, akan tetapi ber “islam”lah dengan menempuh metode para pendahulu ummat ini dari kalangan muhajirin dan anshor, dan siapapun yang mengikuti mereka dengan baik.

Allah Ta’ala berfirman :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan ini adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” (QS. Al An’am :153)

Inilah yang saya ingin peringatkan disini, Allah berfirman :
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإِصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللهِ
Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.”. (QS. Hud :88)

Sumber :http://www.sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=716

Copy dari : http://ahlusunnahpalopo.blogspot.com

Wednesday, November 9, 2011

MEMBONGKAR KEDOK IHYA’UT TUROTS DAN JARINGANNYA

Syaikhuna Abu Abdillah Kholid bin Dhohawi Adh-Dhufairi 1)
بسم الله. الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله و على آله وصحبه ومن اتبع هداه, أما بعد:
Diantara pertanyaan yang diajukan oleh saudara-saudara kalian adalah satu hal yang penting yaitu permasalahan yayasan Ihya’ut Turots. Permasalahan ini meresahkan banyak Salafiyyin diberbagai negara. Jangan kalian menduga bahwa masalah ini hanya menimpa negara kalian saja, bahkan kejahatan Ihya’ut Turots sebagai yayasan yang berbahaya telah meluas dan terdapat di mayoritas negara yang tersebar padanya dakwah Salafiyyah. Yayasan ini mempunyai pengaruh di Kuwait dan inilah sumbernya, begitu pula di Yaman, Sudan, Mesir, Bangladesh dan di mayoritas negara yang padanya Salafiyyin tersebar. Sikap terhadap yayasan ini sangatlah jelas dan tidak ada keraguan, karena permasalahan ini adalah permasalahan antara Salafiyyin dan Hizbiyyin. Barang siapa yang melihat dan mempelajari keadaan yayasan ini, memperhatikan kondisi-nya dan meneliti sikap-sikap dan tujuannya, niscaya dia akan mengetahui bahwasannya yayasan ini tidaklah berada diatas jalan kebaikan. Tujuan dari yayasan ini jelek dan manhajnya menyimpang dari jalan yang lurus. Yayasan ini telah banyak menyelisihi prinsip-prinsip yang diyakini Ahlussunnah.
1
Yayasan Ihya’ut Turots Menyelisihi Ahlussunnah
Dalam Hal Ketaatan Kepada Pemerintah
Mereka menyelisihi Ahlussunnah dalam permasalahan ketaatan kepada pemerintah, dan telah kita bahas di dalam kitabul imaroh (kitab Shahih Muslim) bahwasanya ketaatan kepada pemerintah termasuk perkara penting. Maka mereka menyelisihi Ahlussunnah dalam perkara ini dengan mengadakan pemimpin-pemimpin yang di bai’at untuk mengurus masjid-masjid atau daerah-daerah. Mereka memiliki sistem bai’at dan pemerintahan tersendiri yang mereka namakan tidak sesuai dengan hakikatnya. Seperti mereka namakan dengan tanzhim (pengaturan), ‘ahd, mitsaaq, wafaa’ (ikatan janji) atau yang semisalnya. Ini semua hanyalah menamai sesuatu yang tidak sesuai dengan hakikatnya. Padahal sebenarnya semua itu adalah sistem pemerintahan (yang menyelisihi pemerintahan resmi negara, pent). Kami (Syaikh Kholid, pen.) langsung me-nyakikan fenomena ini sehingga tidak perlu seorang pun mendustakan dan mengingkari-nya. Sebagai contoh yang terjadi di tempat kami di Kuwait, sejak dahulu hingga sekarang mereka menjadikan di setiap masjid seorang amir (pemimpin), dan tidaklah boleh seorang pun menyelisihinya. Jika engkau menyelisihi-nya maka engkau dianggap berdosa. Dan sang amir masjid ini memiliki amir diatasnya lagi yaitu amir kota (wilayah), dan amir kota ini yang mengatur dan memerintah para amir masjid tersebut. Sedangkan para amir kota juga mempunyai atasan lagi yaitu amir yayasan. Demikianlah, bahkan walau untuk urusan berkunjung dan bersilaturahmi kepada sanak kerabat pun engkau tidak boleh melakukannya kecuali dengan meminta izin kepada amir tersebut, jika tidak maka engkau dianggap berdosa. Ini semua adalah perkara bid’ah yang tidak pernah dikenal dikalangan generasi shahabat ataupun selain mereka. Pernahkah kalian mendengar bahwa di masjid Quba ada amir-nya? Atau pernahkah kalian mendengar bahwa ada amir di setiap masjid di zaman Abu Bakar Radhiallahu‘anhu? Yang ada adalah kepemimpinan secara umum dan kekhilafahan (yang sah, pen.), serta adanya amir yang ditugaskan pemerintah untuk kota dan daerah. Adapun sistem pemerintahan yang mereka buat ini adalah pemerintahan bid’ah yang tidak sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan hal itu adalah salah satu bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Telah kami sebutkan ucapan Syaikh Hammad Al-Anshori Rahimahullah ketika aku tanyakan kepada beliau tentang hal ini, maka beliau menjawab: “Hendaknya dibunuh yang terakhir muncul dari keduanya”. Ini termasuk dalam bab yang dianggap beliau sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Pemerintahan propaganda yang mereka terapkan ini telah ditulis dalam satu buku oleh Muhammad bin Hamud An-Najdi, demikian pula Abdullah bin Sabt telah mengarang satu buku untuk hal ini dan banyak lagi dari mereka yang menulis buku dan berbicara didalam muhadhoroh-muhadhoroh yang terekam, yang semua itu dengan satu tujuan untuk mengokohkan pemerintahan mereka tadi. Ini adalah penyelisihan mereka terhadap pemahaman Ahlussunnah.
2
Yayasan Ihya’ut Turots Menyelisihi Ahlussunnah
Dalam Menyikapi Orang Yang Menyimpang
Permasalahan lain yang mereka menyelisihi Ahlussunnah adalah dalam menyikapi orang yang menyimpang. Ahlussunnah memiliki sikap yang jelas terhadap orang yang menyimpang, seperti sikap terhadap hizbiyyin, takfiriyyin, quthbiyyin dan orang-orang yang memerangi Ahlus-sunnah. Sedangkan pada yayasan ini, sikap mereka berbeda dengan sikap para ulama salaf. Mereka mengundang hizbiyyin untuk menyampaikan muhadhoroh, mereka menga-dakan mu’tamar dan seminar-seminar, serta mereka mengundang di daerah kami Abu Ishaq Al-Huwaini dan Muhammad Hassan yang memuji Sayyid Quthub dan mencela para masyaikh Ahlussunnah seperti Syaikh Rabi’ dan semisal beliau. Demikian pula mereka mengundang Muhammad Shofwat Nuruddin,-dan orang ini telah wafat-, ketika dia datang dan menyampaikan muhadhoroh di Kuwait dia berkata, bahwa: “perpecahan ummat dan beragamnya kelompok-kelompok dalam Islam adalah kenyataan yang sehat”. Ini jelas menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang perpecahan dan memerintahkan untuk bersatu.
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah setelah datang kepada mereka keterangan”.
Allah melarang dari perpecahan namun orang ini malah berkata perpecahan adalah kenyataan yang sehat. Pemahaman ini diambilnya dari Abdurrahman Abdul Khaliq (dedengkot Ihya’ut Turots, pen.), dan jangan-lah seseorang menduga bahwa kesalahan, kekeliruan dan kejahatan ini hanya terbatas pada Abdurrahman Abdul Khaliq saja. Sungguh, ada beberapa orang lagi yang keluar dari manhaj ini walaupun Abdurrahman adalah sebagai pendahulu mereka dalam kesesatan ini. Kita mohon keselamatan kepada Allah. Inilah sikap mereka terhadap orang-orang yang menyimpang, bahkan mereka tidak suka membicarakan dan mentahdzir orang-orang yang menyimpang dan para Hizbiyyin, mereka anggap itu adalah perbuatan memecah belah ummat. Inilah sikap yang mereka serukan di daerah kami. Mayoritas kalian yang datang dari Yaman tentu mengenal Al-Mahdi dan Al-Maqtiri serta sikap keduanya terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah dan dakwah Syaikh Muqbil. Sungguh mereka telah datang ke Kuwait berkali-kali dan mengadakan seminar serta muhadhoroh, semua ini adalah bentuk penyimpangan terhadap manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka mencoba di Yaman dengan membentuk yayasan Al-Hikmah dan menyalurkan bantuan-bantuan padanya serta menerbitkan majalah Al-Furqon. Thoriq Al-Isa setelah kunjungannya ke Yaman dan men-datangi yayasan Al-Hikmah dia kembali ke Kuwait dan membuat tulisan di majalah Al-Furqon dengan memuji yayasan Al-Hikmah dan kesungguhan dakwahnya.
Demikianlah mereka selalu akrab dengan orang-orang yang menyimpang dan selalu memerangi Ahlussunnah. Maka ini adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus-sunnah dalam menyikapi orang-orang yang menyimpang.
3
Yayasan Ihya’ut Turots Menyelisihi Ahlussunnah
Dalam Menyikapi Salafiyyin
Termasuk penyelisihan mereka terhadap Ahlussunnah adalah sikap mereka terhadap salafiyyin. Engkau tidak akan mendapati mereka mau menolong salafiyyin dan tidak pula engkau dapati sikap terpuji mereka terhadap ulama Ahlussunnah. Engkau tidak akan dapati mereka mengadakan muhadhoroh dengan masyaikh Ahlussunnah yang dikenal, bahkan mereka berupaya dengan sungguh-sungguh di berbagai daerah untuk memecah belah salafiyyin dengan harta mereka dan inilah kenyataannya. Mereka memecah belah Ahlussunnah setelah sebelum-nya bersatu di bawah bimbingan seorang ‘alim di Bangladesh –telah wafat, Rahimahullah-, mereka datang dan memikat orang–orang yang mencintai harta, inilah metode mereka. Mereka mendatangi sekelompok Ahlussunnah dan melihat siapa yang suka harta sehingga mereka dapat merekrutnya dan memberikan harta kepadanya. Mereka memecah belah Ahlussunnah, mereka datang kesana dan merekrut Asadullah Al-Ghalib dan orang-orang yang bersamanya sehingga berpecahlah salafiyyin menjadi dua kelompok. Di Mesir mereka merusak Anshorus Sunnah, dan saat ini Anshorus Sunnah menjadi politikus-politikus. Mereka membela Abdurrahman Abdul Khaliq dan menyebarkan buku-bukunya serta berpendapat dengan pendapatnya sebagai-mana yang aku nukilkan dari Muhammad Shofwat Nuruddin dan selainnya. Maka mereka menyimpang disebabkan harta dari yayasan ini. Demikian pula di Sudan, Anshorus Sunnah di Sudan telah rusak disebabkan Ihya’ut Turots, hingga mereka menyanjung dan memuji At-Turobi dan mereka mulai masuk kelingkaran politik. Mereka juga berupaya merusak Ahlussunnah di Yaman, tetapi Allah memalingkan tipu daya mereka dan hanya mampu mempengaruhi orang–orang yang terfitnah dengan harta, serta mendirikan yayasan disana sebagaimana yang telah aku sebutkan tadi. Mereka datang kepada Syaikh Muqbil dan menawarkan bantuan, tetapi Syaikh menyadari bahwa mereka mengingin-kan syarat dan ingin mengikat dengan harta bantuan itu sehingga Syaikh menolak dan tidak mau menerima bantuan tersebut. Dan ini adalah perkara yang harus diperingatkan darinya yaitu masalah harta. Mereka sibuk mengumpulkan harta para muhsinin (derma-wan) dan orang-orang yang baik, untuk digunakan memecah belah salafiyyin dengan cara mendatangi sekelompok salafiyyin dan menawarkan harta kepada mereka. Salafus Shalih telah memperingatkan dengan keras tentang hal ini, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Abdullah bin Al-Mubarok Rahimahullah: “Jangan sampai Ahlul Bid’ah memiliki jasa terhadapmu!”.
Terkadang mereka datang menawarkan bantuan dan berkata bantuan ini tanpa syarat. Mereka bangun markas dan masjid untukmu kemudian setelah itu baru engkau menyadari ini adalah masalah harta yang jika engkau memulai proyek pembangunan maka engkau akan membutuhkan harta lainnya hingga engkau pun akan butuh kepada orang yang membantumu di awal pembangunan. Disaat itulah mereka akan mencengkram lehermu hingga engkau tidak mampu melepaskan diri. Mereka tidak akan mau membantumu dan menawarkan harta kepadamu kecuali karena mereka ingin engkau juga membantu mereka. Pernahkah engkau ketahui ada seseorang, dimana Ihya’ut Turots telah membangunkan baginya masjid dan markas, lalu dia mampu berkata bahwa: “kami tidak punya hubungan dengan At-Turots”? Dan apakah dia mampu untuk memperingatkan ummat dari Ihya’ut Turots? Demikian pula (apakah dia mampu, pen.) mengadakan muhadhoroh Syaikh Rabi’, Syaikh Ahmad (bin Yahya An-Najmi, pen.), atau Syaikh Zaid (bin Muhammad Al-Madkhali, pen.)?? Dia tidak akan mampu melakukan itu! Dikarenakan bantuan harta yang diambilnya dari mereka sehingga dia berada dibawah pengaturan mereka dan bertindak sesuai maunya mereka. Mereka merubah orang ini dan memalingkannya serta memisahkannya dari Ahlussunnah. Maka sudah seharusnya para ikhwah sekalian bertekad untuk tidak mengambil bantuan dari mereka. Sungguh, Allah Maha Kaya, di tangan-Nya lah segala kekuasaan. Dan kemuliaan hanya bagi orang-orang yang beriman. Maka janganlah kalian mengambil apapun dari mereka walaupun kalian harus belajar di bawah pohon. Jangan kalian biarkan mereka mempunyai jasa terhadap kalian, karena sebagaimana yang kita katakan tadi bahwa tidaklah mereka mau membantu kecuali dengan syarat-syarat dan untuk tujuan menyesatkan dan memecah belah. Adapun jika mereka mengetahui bahwasanya engkau adalah seorang salafy yang sesungguhnya, dan engkau selalu bersama masyaikh Ahlussunnah, maka mereka tidak akan mau bersamamu dan tidak akan menolongmu. Inilah kenyataan yang terjadi pada yayasan Ihya’ut Turots.
4
Yayasan Ihya’ut Turots
Selalu Menjadi Musuh Salafiyyin
Demikian pula keberadaan mereka yang selalu menjadi lawan salafiyyin di mayoritas tempat, contohnya di Kuwait. Mereka sungguh berbeda dengan kami, bagi mereka kelompok mereka dan bagi kami para ikhwah dan pemuda salafiyyin. Sedikitpun mereka tidak ada hubungan dengan kami bahkan mereka mentahdzir kami dan para masyaikh sunnah. Mereka mentahdzir Syaikh Rabi’ dan senantiasa memuji Abdur-rahman Abdul Khaliq. Adapun ucapan mereka bahwa, “kami telah meninggalkan Abdur-rahman Abdul Khaliq”, ini adalah sebuah lelucon yang nyata! Karena Abdurrahman Abdul Khaliq jelas berada di yayasan Ihya’ut Turots, bahkan mempunyai kedudukan di Lajnah ‘Ilmiyyah Ihya’ut Turots. Terkadang jika engkau menelepon untuk meminta fatwa maka mereka akan mengarahkanmu kepada Abdur-rahman Abdul Khaliq sebagai rasa hormat terhadapnya, dia ada dan tinggal di tengah-tengah mereka. Dan tidak benar kalau mereka berkata bahwa, “kami telah meninggalkannya”. Bahkan ada markas cabang Ihya’ut turots yang menyelenggarakan muhadhorah dan seminar bagi Abdurrahman Abdul Khaliq. Dengan ini jelaslah bahwa omongan mereka, “kami telah meninggalkan Abdurrahman Abdul Khaliq”, ibarat melemparkan debu ke mata hingga orang tertipu dengannya. Manusia mengetahui kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq dan mayoritas salafiyyin mengetahui bahwa dia telah menyimpang. Asy-Syaikh Bin Baaz, Asy-Syaikh Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh Al-Faqihi, Asy-Syaikh As-Suhaimi dan Asy-Syaikh Al-Albani telah berbicara tentang Abdurrahman Abdul Khaliq. Mereka tidak mempunyai tipu daya lagi kecuali dengan mengatakan bahwa, “kami telah mengusir Abdurrahman Abdul Khaliq”. Padahal dia adalah saudara mereka yang mulia, dan syaikh yang utama dikalangan mereka. Dengan pengakuan ini mereka ingin memalingkan para pemuda, karena mereka tidak akan bisa masuk kepada pemuda salafiyyin kecuali dengan menyebarkan berita dusta bahwa, “kami telah mengusir Abdurrahman Abdul Khaliq”.
Maka dengan ini kita harus bersikap tegas untuk tidak berhubungan dengan yayasan ini, demikian pula terhadap orang yang berhubungan dan bekerjasama dengan mereka padahal dia mengetahui keadaan mereka dan mendengar ucapan–ucapan ulama tentang mereka. Kita tidak akan membiarkan mereka merusak saudara-saudara kita salafiyyin dan menipu mereka dengan yayasan ini.
Sesungguhnya kita -demi Allah- sudah merasa cukup dengan masyaikh Ahlussunnah dan buku-buku Ahlussunnah, dan kita tidak membutuhkan harta yayasan ini. Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi kita rejeki dengan keutamannya dan menjadikan kita berkecukupan dan tidak memerlukan orang-orang yang ingin me-nyesatkan salafiyyin dengan harta mereka.
Adapun jika mereka berdalil dengan fatwa ulama yang mendukung Ihya’ut Turots, maka kita katakan, “Sungguh, kebenaran tidak diambil dari para tokoh, tetapi para tokoh itu yang diukur dengan kebenaran”. Menghukumi suatu masalah dengan melihat kenyataannya. Kami mengenal baik yayasan ini dan kalian pun mengenalinya dan mengenali sikap fanatiknya dan penyim-pangannya dalam melawan sunnah dan salafiyyin. Maka jika ada yang datang kepada kita dan memuji mereka tentu kita tidak akan menerimanya hanya semata-mata rekomen-dasi dan pujian. Sesungguhnya mereka mendatangi orang ‘alim dan menampakkan diri bahwa mereka berada dijalan Ahlussunnah dan menulis manhaj dan aqidah Ahlussunnah. “Yang jadi ibroh bukanlah ucapan dan apa yang tertulis, tetapi yang jadi ibroh adalah perbuatan dan sepak terjang kalian. Inilah sikap kalian terhadap orang yang menyim-pang. Inilah sikap kalian terhadap Ahlus-sunnah, maka inilah yang jadi ibroh. Sedangkan jika kalian berpenampilan bukan dengan penampilan kalian yang sebenarnya, dan kalian mendatangi ulama untuk men-dapatkan rekomendasi dari Ahlussunnah, sungguh jika datang seseorang kepada orang ‘alim dengan pengakuan seperti itu pastilah orang ‘alim itu akan berkata: ‘Jazakallahu khairan, ini adalah manhaj yang baik’ ”, lalu mereka akan mengambil ucapan ini dengan beranggapan bahwa orang ‘alim ini telah memberikan rekomendasi.
Kita memiliki kaidah, dan para ulama salaf juga telah meletakkan kaidah dan diantara kaidah tersebut adalah bahwa “Kebenaran tidak dikenal dari seorang tokoh, tetapi seorang tokoh itu dikenali dengan kebenarannya”. Dan diantara kaidah juga bahwa, “Kritikan yang terperinci lebih didahulukan daripada pujian secara umum”. Maka jika datang seseorang kepada kita dan berkata: “Demi Allah tidaklah aku melihat keburukan mereka sedikitpun dan tidaklah aku ketahui kecuali mereka diatas kebaikan”, -maka kita katakan, pen.- sungguh hujjah bukanlah pada ucapanmu! Tetapi hujjah bagi siapa yang mengetahui hakikat yang sebenarnya, “Orang yang mengetahui lebih didahulukan ucapannya daripada yang tidak mengetahui”. Kemudian -jika kita melihat kenyataan-, sungguh tidak seorang pun dari ahlul bid’ah yang menyimpang, maka akan ada perselisihan tentangnya. Maksudnya bahwa mayoritas mereka (ahlul bid’ah, pen.) yang ada sekarang sungguh masih ada perselisihan tentang mereka. Maka kalaulah menyikapi masalah ini dengan kaidah kalian bahwasanya, “masih ada ulama yang memuji yayasan Ihya’ut Turots sehingga tidak boleh membicarakan keburukannya”, maka kalau begitu disana juga ada ulama yang memuji Sayyid Quthb, bagaimana menurut kalian? Ada juga ulama yang memuji Abdurrahman Abdul Khaliq, apa berarti tidak boleh membicarakan-nya? Maka kalau Turotsi (orang-orang yang ikut atau membela Ihya’ut Turots, pen.) ini berkata, “tidak boleh membicarakan kejelekan Ihya’ut Turots karena ada ulama yang merekomendasinya”, niscaya akan datang kepadanya seorang sururi dan menghujatnya dengan berkata: “kalau begitu tidak boleh pula membicarakan kejelekan syaikh Salman Al-Audah dan Safar Hawali karena ada ulama yang merekomendasinya”-dia membawakan rekomendasi tertulis dari sebagian ulama-. Maka bagaimana menjawab alasan ini? Turotsi ini tidak akan punya jawaban, kecuali dengan berkata bahwa yang jadi ibroh adalah kenyataan yang ada dan bahwasanya rekomendasi-rekomendasi itu tidak berguna kalau kenyataannya menyelisihi jalan Ahlussunnah, bahkan menyelisihi prinsip imam dan ‘alim yang merekomendasinya. Maka kalau dia terus berpegang dengan pendapat bahwa rekomendasi bisa mencegah untuk membicarakan seseorang, berarti kita nyatakan bahwa rekomendasi juga bisa mencegah untuk membicarakan Abdurrahman, Sayyid Quthb, Salman (al-Audah, pen.), dan selain mereka dari kalangan sururiyyin, quthbiyyin, takfiriyyin dan qiyaskanlah ke yang lainnya!
5
Penutup
Dengan ini jelaslah bahwa adanya perselisihan pada suatu masalah, tidak memberi pengertian bahwa kebenaran tidak jelas pada masalah itu, dan tidak pula menyebabkan kita tidak bersikap. Janganlah ada yang menduga bahwa masalah ini adalah ijtihadiyyah! Karena telah nyata bukti-bukti yang menunjukkan kesesatan yayasan ini dan penyimpangannya dari jalan Ahlussunnah. Maka ini bukan masalah ijtihadiyyah, dimana setiap orang boleh berkata dengan pendapatnya dan orang yang menyelisihinya dilarang untuk menentangnya. Tidak! Masalah ini adalah masalah yang jelas yang menyelisihi Ahlussunnah dan kita harus berhati-hati dari mereka.
Pada hakikatnya yang memecah belah bukanlah Ahlussunnah karena salafiyyin adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk tegaknya persatuan. Mereka datang seraya berkata: “Dengan tahdzir kalian terhadap Ihya’ut Turots, Salman, Quthbiyyin, dan Ikhwanul muslimin, semua itu telah menjadi sebab terpecah belahnya ummat”, maka sungguh perkataan itu tidak benar! Karena Ahlussunnah adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk persatuan. Persatuan diatas Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih. Dan bukan persatuan ala Hasan Al-Banna dan yang semisalnya dengan semboyan: “Kita bersatu diatas apa yang telah kita sepakati dan kita saling toleransi pada apa yang tidak kita sepakati”, tetapi kita bersatu diatas sunnah. Termasuk faktor utama terwujudnya persatuan adalah memutuskan sebab-sebab perpecahan. Dan termasuk dari sebab munculnya perpecahan adalah penyimpangan, kebid’ahan, dan fanatisme golongan. Dan semua ini termasuk dari sebab munculnya perpecahan. Dengan ini barang siapa yang datang kepada kita dengan fanatisme golongan maka dialah yang menyebabkan perpecahan dan memecah belah salafiyyin. Sedangkan tahdzir dari salafiyyin dalam hal ini hukumnya wajib!! Bahkan tahdzir adalah termasuk sebab bersatunya manusia diatas kebenaran.
Maka termasuk sebab terbentuknya persatuan adalah dengan mentahdzir orang-orang yang meyimpang dan mentahdzir ahlul bid’ah. Oleh karena itu Ahlussunnah sepakat untuk mentahdzir ahlul bid’ah, karena engkau tidak akan mampu mem-persatukan manusia diatas kebaikan kecuali engkau telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Didalam hadits telah disebutkan bahwa diantara sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memecah belah diantara manusia. Maksudnya adalah beliau memisahkan antara yang haq dan yang bathil.
“Katakanlah, telah datang kebenaran dan telah sirna kebathilan, sungguh kebathilan pasti akan sirna” {Al-Israa’:81}.
Kebathilan dan kebenaran tidak akan mungkin bersatu, jika bersatu berarti menunjukkan orang tersebut tidak berada diatas jalan Ahlussunnah, yaitu jalannya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Salaf selalu membedakan antara haq dan bathil dengan cara memperingatkan ummat dari yang bathil sehingga kebathilan tidak lagi mampu menyesatkan dan menjauhkan manusia dari jalan Salafus Shalih dan dari jalan kebenaran.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis lurus kemudian membuat garis lain di kanan dan kirinya seraya berkata: “setiap jalan ini ada syaithan yang menyeru kepadanya”. Kalau begitu disana ada banyak jalan yang padanya syaithan menjauhkan manusia dari jalan Ahlussunnah dan memecah belah manusia. Dengan ini apakah aku harus diam atau mentahdzir ummat dari jalan-jalan itu? Adalah wajib bagiku untuk mentahdzir ummat dari jalan-jalan itu agar manusia tidak akan masuk dan menuju kepada jalan-jalan itu jika kita memperingatkan ummat darinya. Adapun kalau kita diam, niscaya akan terbentuklah jalan-jalan itu dan manusia akan berpecah belah, setiap hari berkelompok-kelompok. Sedangkan kewajiban kita semua adalah berada pada satu barisan dan memperingat-kan ummat dari Ahlul Bid’ah. Dan temasuk dari sebab persatuan adalah memperingatkan ummat akan bahayanya Ahlul Bid’ah.
= = = = = = = 000 = = = = = = =
1) Beliau adalah salah seorang Murid Asy-Syaikh Abu Muhammad Robi’ bin Hadi Al-Madkholiy hafizahullah. Pengelola www.rabee.net dan www.sahab.net/sahab . Beliau adalah seorang da’I yang tinggal di Kuwait.
http://ibnusarijan.blogspot.com/search/label/Archive%20Ihya%27ut%20Turots/

Copas dari : http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2011/10/04/membongkar-kedok-ihya%E2%80%99ut-turots-dan-jaringannya/#more-817

Tuesday, November 8, 2011

Jeritan Anak Muda


Siang datang bukan untuk mengejar malam, malam tiba bukan untuk mengejar siang. Siang dan malam datang silih berganti dan takkan pernah kembali lagi. Menanti adalah hal yang paling membosankan, apalagi jika menanti sesuatu yang tidak pasti. Sementara waktu berjalan terus dan usia semakin bertambah, namun satu pertanyaan yang selalu mengganggu "Kapan aku menikah??".
Resah dan gelisah kian menghantui hari-harinya. Manakala usia telah melewati kepala tiga, sementara jodoh tak kunjung datang. Apalagi jika melihat disekitarnya, semua teman-teman seusianya, bahkan yang lebih mudah darinya telah naik ke pelaminan atau sudah memiliki keturunan. Baginya, ini suatu kenyataan yang menyakitkan sekaligus membingungkan. Menyakitkan tatkala masyarakat memberinya gelar sebagai "bujang lapuk" atau"perawan tua" , "tidak laku".Membingungkan tatkala tidak ada yang mau peduli dan ambil pusing dengan masalah yang tengah dihadapinya.
Apalagi anggapan yang berkembang di kalangan wanita, bahwa semakin tua usia akan semakin sulit mendapatkan jodoh. Sehingga menambah keresahan dan mengikis rasa percaya diri. Sebagian wanita yang masih sendiri terkadang memilih mengurung diri dan hari-harinya dihabiskan dengan berandai-andai.
Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri sebab hal ini bisa saja terjadi pada saudari kita, keponakan, sepupu atau keluarga kita. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini, tingginya batas mahar dan uang nikah yang ditetapkan. Hal ini banyak terjadi dinegeri kita -khususnya di daerah sulawesi-. Telah banyak kisah para pemuda yang sudah ingin sekali menikah, mundur dari lamarannya hanya karena tidak mampu menghadapi mahar yang ditetapkan. Setan pun mendapatkan celah untuk menggelincirkan anak-anak Adam sehingga melakukan perkara-perkara terlarang mulai dari kawin lari sampai pada perbuatan-perbuatan yang hina (zina), bahkan sampai menghamili sebagai solusi dari semua ini. Padahal agama yang mulia ini telah menjelaskan bahwa jangankan zina, mendekati saja diharamkan,
"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.". (QS. Al-Israa’:32 )
Al-Allamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, "Di dalam larangan dari mendekati zina dengan cara melakukan pengantar-pengantarnya terdapat larangan dari zina –secara utama-, karena sarana menuju sesuatu, jika ia haram, maka tujuan tentunya haram menurut konteks hadits".[Lihat Fathul Qodir (3/319)]
Pembaca yang budiman, sesungguhnya islam adalah agama yang mudah; Allah I telah anugerahkan kepada manusia sebagai rahmat bagi mereka. Hal ini nampak jelas dari syari’at-syari’at dan aturan yang ada di dalamnya, dipenuhi dengan rahmat, kemurahan dan kemudahan. Allah I telah menegaskan di dalam kitab-Nya yang mulia,
"Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran Ini kepadamu agar kamu menjadi susah; Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)". (QS.Thohaa :1-3)
Allah I berfirman
"Allah tidak menghendaki menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur."(QS. : Al-Maidah: 6)
Namun sangat disayangkan kalau kemudahan ini, justru ditinggalkan. Malah mencari-cari sesuatu yang sukar dan susah sehingga memberikan dampak negatif dalam menghalangi kebanyakan orang untuk menikah, baik dari kalangan lelaki, maupun para wanita, dengan meninggikan harga uang pernikahan dan maharnya yang tak mampu dijangkau oleh orang yang datang melamar. Akhirnya seorang pria membujang selama bertahun-tahun lamanya, sebelum ia mendapatkan mahar yang dibebankan. Sehingga banyak menimbulkan berbagai macam kerusakan dan kejelekan, seperti menempuh jalan berpacaran. Padahal pacaran itu haram, karena ia adalah sarana menuju zina. Bahkan ada yang menempuh jalan yang lebih berbahaya, yaitu jalan zina !!
Di sisi yang lain, hal tersebut akan menjadikan pihak keluarga wanita menjadi kelompok materealistis dengan melihat sedikit banyaknya mahar atau uang nikah yang diberikan. Apabila maharnya melimpah ruah, maka merekapun menikahkannya dan mereka tidak melihat kepada akibatnya; orangnya jelek atau tidak yang penting mahar banyak !! Jika maharnya sedikit, merekapun menolak pernikahan, walaupun yang datang adalah seorang pria yang diridhoi agamanyadan akhlaknya serta memiliki kemampuan menghidupi istri dan anak-anaknya kelak. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-telah mamperingatkan,
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِيْنَهُ فَزَوِّجُوْهُ . إِلَّا تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِيْ الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
"Jika datang seorang lelaki yang melamar anak gadismu, yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah (musibah) dan kerusakan yang merata dimuka bumi "[HR.At-Tirmidziy dalam Kitab An-Nikah(1084 & 1085), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah(1967). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1022)]
Jadi, yang terpenting dalam agama kita adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan sekedar kekayaan dan kemewahan. Sebuah rumah yang berhiaskan ketaqwaan dan kesholehan dari sepasang suami istri adalah modal surgawi, yang akan melahirkan kebahagian, kedamaian, kemuliaan, dan ketentraman. Namun sangat disayangkan sekali, realita yang terjadi di masyarakat kita, jauh dari apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hanya karena perasaan "malu" dan "gengsi" hingga rela mengorbankan ketaatan kepada Allah; tidak merasa cukup dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan dalam syari’at-Nya. Mereka melonjakkan biaya nikah, dan mahar yang tidak dianjurkan di dalam agama yang mudah ini. Akhirnya pernikahan seakan menjadi komoditi yang mahal, sehingga menjadi penghalang bagi para pemuda untuk menyambut seruan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang telah mampu, maka menikahlah, karena demikian (nikah) itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa akan menjadi perisai baginya". [HR. Al-Bukhoriy (4778), dan Muslim (1400), Abu Dawud (2046), An-Nasa'iy (2246)]
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah menganjurkan umatnya untuk mempermudah dan jangan mempersulit dalam menerima lamaran dengan sabdanya,
مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَسْهِيْلُ أَمْرِهَا وَقِلَّةُ صَدَاقِهَا
"Diantara berkahnya seorang wanita, memudahkan urusan (nikah)nya, dan sedikit maharnya". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (24651), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2739), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14135), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4095), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3/158), Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (469). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (2231)]
Oleh karena itu, pernah seseorang datang kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- seraya berkata,"Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita." Beliau bersabda, "Engkau menikahinya dengan mahar berapa?" orang ini berkata:"empat awaq (yaitu seratus enam puluh dirham)". Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
عَلَى أَرْبَعِ أَوَاقٍ ؟ كَأَنَّمَا تَنْحِتُوْنَ الْفِضَّةَ مِنْ عَرْضِ هَذَا الْجَبَلِ مَا عِنْدَنَا مَا نُعْطِيْكَ وَلَكِنْ عَسَى أَنْ نَبْعَثَكَ فِيْ بَعْثٍ تُصِيْبُ مِنْهُ
"Dengan empat awaq (160 dirham)? Seakan-akan engkau telah menggali perak dari sebagian gunung ini. Tidak ada pada kami sesuatu yang bisa kami berikan kepadamu. Tapi mudah-mudahan kami dapat mengutusmu dalam suatu utusan (penarik zakat) ; engkau bisa mendapatkan (empat awaq tersebut)". [HR, Muslim(1424)].
Al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy-rahimahullah- berkata tentang sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang kami huruf tebalkan, "Makna ucapan ini, dibencinya memperbanyak mahar hubungannya dengan kondisi calon suami".[Lihat Syarh Shohih Muslim (6/214)]
Perkara meninggikan mahar, dan mempersulit pemuda yang mau menikah, ini telah diingkari oleh Umar -radhiyallahu ‘anhu-. Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَلَا لَا تَغَالُوْا بِصُدُقِ النِّسَاءِ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرَمَةً فِيْ الدُّنْيَا أَوْ تَقْوًى عِنْدَ اللهِ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النََّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصْدَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أُصْدِقَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشَرَ أُوْقِيَةٌ
"Ingatlah, jangan kalian berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita karena sesungguhnya jika hal itu adalah suatu kemuliaan di dunia dan ketaqwaan di akhirat, maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang palimg berhak dari kalian. Tidak pernah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memberikan mahar kepada seorang wanitapun dari istri-istri beliau dan tidak pula diberi mahar seorang wanitapun dari putri-putri beliau lebih dari dua belas uqiyah (satu uqiyah sama dengan 40 dirham)" .[HR.Abu Dawud (2106), At-Tirmidzi(1114),Ibnu Majah(1887), Ahmad(I/40&48/no.285&340). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3204)]
Pembaca yang budiman, pernikahan memang memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya, karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi. Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganyanya kelak. Sebab pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari perilaku yang keji (zina), dan mengembangkan keturunan yang menegakkan tauhid di atas muka bumi ini.
Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- perkah bersabda,
ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُ الْغَازِيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ التَّعَفُّفَ
"Ada tiga orang yang wajib bagi Allah untuk menolongnya: Orang yang berperang di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang menikah yang ingin menjaga kesucian diri". [HR. At-Tirmidziy (1655), An-Nasa'iy (3120 & 1655), Ibnu Majah (2518). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3089)]
Orang tua yang bijaksana tidak akan tentram hatinya sebelum ia menikahkan anaknya yang telah cukup usia. Karena itu adalah tanggung-jawab orang tua demi menyelamatkan masa depan anaknya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran orang tua semua untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan. Ingatlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
"Agama adalah mudah dan tidak seorangpun yang mempersulit dalam agama ini, kecuali ia akan terkalahkan". [HR. Al-Bukhary (39), dan An-Nasa'iy(5034)]
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan umatnya untuk menerapkan prinsip islam yang mulia ini dalam kehidupan mereka sebagaimana dalam sabda Beliau,
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
"permudahlah dan jangan kalian mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari". [HR.Al-Bukhary(69& 6125), dan Muslim(1734)]
Syaikh Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, "Kalau sekiranya manusia mencukupkan dengan mahar yang kecil, mereka saling tolong menolong dalam hal mahar(yakni tidak mempersulit) dan masing-masing orang melaksanakan masalah ini, niscaya masyarakat akan mendapatkan kebaikan yang banyak, kemudahan yang lapang, serta penjagaan yang besar, baik kaum lelaki maupun wanitanya".[Lihat Az-Zawaaj]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 54 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) 

Copy dari : http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/jeritan-anak-muda.html#more-234
Share

 

by blogonol