Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).
Dimanakah Roh Para Nabi.?
Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?
Qurban, Keutamaan dan Hukumnya
Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Serba Serbi Air Alam
Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)
Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku
Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wednesday, February 29, 2012
Rahmat dan Kemurahan Islam
Diantara rahmat
Allah yang sangat agung kepada manusia, dijadikannya syari’at Islam ini
sebagai syari’at yang penuh dengan rahmat, kemurahan, dan kemudahan. Dan
hal ini nampak jelas pada seluruh aturannya dan mewarnai
prinsip-prinsip dasar dan cabang-cabang tuntunannya. Sepanjang
perjalanan kehidupan manusia, Islam dikenal dengan sifat rahmat ini, dan
Islam tetap akan menjadi rahmat bagi manusia pada segala keadaan, di
setiap waktu dan tempat.
Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan obat bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan Kami
turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrô` : 82)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)
Islam Adalah Penegak Keamanan
Keamanan adalah
suatu hal yang dituntut dalam kehidupan, dimana seluruh makhluk sangat
membutuhkannya dalam memenuhi hal-hal yang berkaitan dengan mashlahat
kepentingan mereka, baik yang sifatnya keduniaan maupun keagamaan.
Dan tiadalah
seorang insan yang hidup di muka bumi ini kecuali ia pasti mencari
sebab-sebab keamanan untuk dirinya dan mencurahkan segenap kemampuannya
guna menjauhi sebab-sebab ketakutan yang boleh jadi akan mendatangkan
ancaman bahaya dalam perjalanan hidupnya.
Bagaimanapun
seorang manusia meraih keselamatan badan dan keluasan rizki, maka hal
tersebut tidaklah bernilai dan tiada terasa manfaatnya kecuali dengan
keamanan dan ketentraman.
Betapapun
manusia diberikan sebab-sebab kemajuan dan segala unsur keberhasilan,
maka ia tidak akan mencapai kebahagiaannya dan tidak pula dapat menuai
kehidupan yang indah kecuali dengan tuntunan dan syari’at yang Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Pencipta manusia ridhoi untuk mereka.
Islam Menentang Sikap Ekstrim
Dinul Islam
adalah syari’at yang pertengahan di atas jalan yang lurus. Tidaklah
dikenal dalam syari’at Islam pembenaran terhadap sikap ekstrim dan tidak
pula ada sikap menyepelekan tuntunan maupun aturan syari’at.
Rabb kita telah menjelaskan ciri umat Islam ini dalam firman-Nya,
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang
wasathan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Wasathan dalam ayat di atas, ada penafsiran di kalangan para ulama :
Pertama : Umat wasathan bermakna umat yang adil dan pilihan. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama tafsir.
Kedua : Umat wasathan bermakna pertengahan antara dua kutub; kutub ekstrim dan kutub menyepelekan.[1]
Sifat pertengahan Islam sangatlah jelas pada seluruh aspek dan bidang yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam masalah ‘ibadah, mu’âmalat,
pemerintahan, perekonomian, hukum, pernikahan, dan sebagainya. Bahkan
dalam masalah cara membelanjakan harta, Islam juga telah mengaturnya di
atas dasar pertengahan tersebut,
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqôn : 67)
Keadilan Dalam Syari'at Islam
Berlaku adil
adalah salah satu prinsip Islam yang dijelaskan dalam berbagai nash ayat
maupun hadits. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang
sangat ditekankan dalam syari’at Islam, sehingga wajar kalau tuntunan
dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh
lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi
kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ` : 58)
Anjuran Untuk Melakukan Perbaikan Di Muka Bumi
Telah
merupakan hal yang dimaklumi dari kaidah agama kita bahwa syari’at
Islam ini datang untuk mewujudkan segala mashlahat atau
menyempurnakannya, menghilangkan segala madharat atau menguranginya. Hal
ini adalah karakteristik Islam yang sangat agung dan penuh dengan
keistimewaan.
Anjuran
untuk berbuat perbaikan dan larangan dari berbuat kerusakan di muka
bumi telah ditekankan dalam berbagai ayat, di antaranya adalah
firman-Nya,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’râf : 56)
“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’arô` : 151-152)
Menyeru manusia kepada prinsip ini adalah salah satu tugas para nabi dan rasul. Nabi Sholih ‘alaihissalâm menyeru kaumnya,
“Dan
ingatlah olehmu di waktu Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang
berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi.
Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian
pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat
kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 74)
Haromnya Perbuatan Zholim, Khianat dan Melanggar Janji
Nilai-nilai
Islam yang agung nan suci sangat tidak sejalan dengan perbuatan zholim,
khianat dan melanggar janji. Karena kezholiman adalah meletakkan sesuatu
bukan pada tempatnya, dan khianat adalah tidak memenuhi amanah, dan
melanggar janji adalah akhlak yang tercela menurut kesepakatan
orang-orang yang berakal.
Allah Yang Maha
Kuat lagi Maha Perkasa, Yang menciptakan seluruh makhluk, telah
mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Nya. Sebagaimana diterangkan
dalam hadits Qudsi, Allah berfirman,
يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظَّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوْا
“Wahai
segenap hambaku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zholim
atas diri-Ku dan Aku telah menjadikan hal tersebut sebagai perkara yang
haram antara sesama kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi.” [1]
Dan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ mengingatkan,
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri
dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri;
dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzholimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshulit : 46)
Terangnya Jalan Islam
Syari’at Islam
telah menerangkan jalan yang sangat jelas dan terang. Tiada kewajiban
atas kaum muslimin kecuali hanya sekedar mengikuti jalan Islam,
mencontoh dan menjalankan tuntunannya. Karena jelasnya jalan Islam ini,
sehingga Allah Jalla wa ‘Azza memerintah Nabi-Nya untuk menyatakan kepada manusia apa yang tertera dalam firman-Nya,
“Katakanlah:
“Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah
ke (jalan) Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf : 108)
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan
kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya
ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang
dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma`idah : 15-16)
Thursday, February 23, 2012
Daurah Sulawesi Ke-2 (se-Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat) di Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat.
InsyaAllah akan dilaksanakan
Daurah Sulawesi Ke-2 (se-Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat) di Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat.
Waktu: 3-4 Maret 2012/9-10 Rabi’uts Tsani 1433 H
Tempat: Masjid Agung Nurul Huda, Pasangkayu
InsyaAllah akan diisi oleh Asaatidz AhlusSunnah se-Sulutenggobar
Waktu: 3-4 Maret 2012/9-10 Rabi’uts Tsani 1433 H
Tempat: Masjid Agung Nurul Huda, Pasangkayu
InsyaAllah akan diisi oleh Asaatidz AhlusSunnah se-Sulutenggobar
Wednesday, February 22, 2012
Tuesday, February 21, 2012
Monday, February 20, 2012
UPDATE : Download Kajian (ceramah) Ust. Musaddad
Download Kajian (ceramah)
Ust. Abu Abdirrohman Musaddad
Ust. Abu Abdirrohman Musaddad
Pembahasan Tauhid :
Nikmat Ilmu
Download Sesi. 1
Download Sesi. 2
Bagaimana Kita mendidik Anak
Pendahuluan
Wasiat Luqman. 1
Wasiat Luqman. 2
Wasiat Luqman. 3
Tanya Jawab
Sunday, February 19, 2012
Download Kajian Mamuju Selama 2 Hari bersama Ust. Khidir M. Sunusi
Download Kajian Mamuju Selama 2 Hari
bersama :
Al-Ustadz Abu 'Abdillah Khidir Bin Muhammad Sunusi
(Alumnus Daarul Hadits, Yaman - Pimpinan Pondok Tahfidzul Qur'an, Parappa, Takalar Sul-Sel).
Dengan Tema :
Download Kajian Ba'da Maghrib
"MENITI JALAN KESELAMATAN DENGAN KEMURNIAN AQIDAH"
Download Sesi. 1
Download Sesi. 1
Friday, February 17, 2012
Pembagian dan Hukum Istighatsah
Istighatsah artinya memohon keselamatan dari kesulitan dan kebinasaan. Istighatsah ada 4 macam :
1. Istighatsah kepada Allah Azza wa Jalla.
Amalan ini termasuk di antara amalan yang paling utama dan paling sempurna, serta merupakan sunnah para rasul dan pengikut mereka. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ الْمَلآئِكَةِ مُرْدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfal: 9)
2. Istighatsah kepada orang-orang yang telah mati atau kepada
orang yang masih hidup tetapi tidak hadir dan tidak sanggup untuk
memenuhi permohonannya.
Pembagian dan Hukum Isti'anah
Isti’anah ada 5 macam:
1. Isti’anah kepada Allah Ta’ala yaitu isti’anah yang mengandung kesempurnaan sikap merendahkan diri dari seorang hamba kepada Rabbnya, dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya, serta meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberi kecukupan kepadanya.
Isti’anah seperti ini tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allah Ta’ala. Dan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Karenanya, memalingkan isti’anah jenis ini kepada selain Allah Ta’ala merupakan perbuatan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama.
Pembagian dan Hukum Isti'adzah
Isti’adzah (permintaan perlindungan) ada 4 macam :
1. Isti’adzah kepada Allah Ta’ala.
Yaitu isti’adzah yang mengandung kesempurnaan rasa butuh kepada Allah, bersandar kepada-Nya, serta meyakini penjagaan dan kesempurnaan pemeliharaan Allah Ta’ala dari segala sesuatu, baik di zaman sekarang maupun di zaman yang akan datang, baik pada perkara yang kecil maupun yang besar, baik yang berasal dari manusia maupun selainnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Falaq dan surah An-Naas, dari awal sampai akhir.
2. Isti’adzah dengan salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala,
seperti sifat kalam-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya,
dan semacamnya.
Fenomena Ketindihan dan Solusinya
Tanya:
assalamu’alaykum
afwan ana mau tanya, apakah tindihan itu disebabkan oleh gangguan jin? jika ada orang yang sering tindihan itu apa sebabnya?
jazakumulloh khoir
ummu anas
mmuftiatul@yahoo.com
assalamu’alaykum
afwan ana mau tanya, apakah tindihan itu disebabkan oleh gangguan jin? jika ada orang yang sering tindihan itu apa sebabnya?
jazakumulloh khoir
ummu anas
mmuftiatul@yahoo.com
Jawab:
Ketindihan saat tidur disebabkan oleh banyak hal. Ada banyak hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan kesehatan. Juga ada hal yang berkaitan dengan perbuatan Jin.
Ketindihan saat tidur disebabkan oleh banyak hal. Ada banyak hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan kesehatan. Juga ada hal yang berkaitan dengan perbuatan Jin.
Cara terbaik untuk mengobati hal tersebut adalah melaksanakan
etika-etika sebelum tidur yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, seperti berwudhu sebelum tidur dan membaca doa-doa tidur.
Thursday, February 16, 2012
Derajat Hadits Sholat Tasbih
Ustadz Luqman Jamal
PERTANYAAN
Sering terdengar, bahkan pernah terlihat, bahwa ada kaum muslimin
yang melakukan shalat tasbih pada malam-malam tertentu, khususnya malam
Jum’at. Apakah hal ini ada dasarnya dari Al-Qur`ân dan sunnah?
JAWABAN
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang shalat tasbih:
Hadits Pertama
Hadits Ibnu ‘Abbâs,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ
أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ
فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ
سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ
رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وِسُوْرَةً
فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقُرْاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ
قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ
فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشَرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ
الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا
وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ
السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا
ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ
وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ
فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ
مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ
Hukum Qunut Subuh
Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Salah satu masalah kontroversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid’ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya.?
JAWABAN
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur`an maupun As-sunnah yang shahih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar, hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini
(dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu
tertolak.” Dan dalam riwayat Muslim, “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) tertolak.”Wednesday, February 15, 2012
Kajian Ahlussunnah Jogjakarta: Ust Dzulqarnain M.Sunusi: Kitab MANZHUMAH AL-HAIYYAH karya: Abu Bakr Ibnu Abi Dawud: Sabtu-Ahad, 2-3 Rabiuts Tsani 1433 H25-26 Februari 2012
Hadirilah Daurah/Kajian Ahlussunnah 2 hari di Jogjakarta
bersama :
Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
(Murid
Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i; Mujaddid Negeri Yaman dan
Redaktur Ahli
Jurnal Asy Syifa: asysyifa.com),
yang InsyaAllah acara akan diadakan
pada :
Tgl 2 & 3 Rabiuts Tsani 1433 H / 25-26 Februari 2012.
Hukum Ta'ziyah untuk Keluarga Mayit
Oleh Ustadz Mustamin Musaruddin
PERTANYAAN
Sudah sekian lama berkembang, di berbagai tempat, suatu acara yang
dinamakan dengan ta’ziyah, yang bentuknya adalah tuan rumah (yang
merupakan keluarga orang yang meninggal) mengundang kerabat, tetangga
dan handai taulan untuk menghadiri acara, yang pada acara tersebut
diadakan ceramah (yang disebut dengan ceramah ta’ziyah) dan disediakan
suguhan (makanan dan minuman). Acara ini diadakan pada hari-hari
tertentu setelah kematian seseorang, yakni pada hari ke-3, ke-7 dan
selainnya. Kebiasaan ini sudah lama menjadi pertanyaan di dalam hati,
apakah amalan tersebut memiliki dasar di dalam agama ini atau tidak.
Kalau memang acara ta’ziyah tersebut disyariatkan, bagaimana sebenarnya
aturan-aturannya, mana yang boleh dan sesuai dengan sunnah dan mana yang
bertentangan dengannya? Mohon dijelaskan dengan gamblang, terima kasih!
Hukum Memandang dan Berjabat Tangan dengan Selain Mahram
Oleh : Al-Ustadz Shobaruddin bin Muhammad Arif
PERTANYAAN
Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontroversi
tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan
selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya
analisis ilmiah tentang hal tersebut?
JAWABAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka
tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia,
termasuk di dalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan
wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya
kita simak uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah tentang masalah ini, agar
hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.
Hukum Memandang Selain Mahram
Dalil dari Al-Qur`an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.’.” [ An- Nur: 31 ]
Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan baginya.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Kebanyakan para ulama
menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang
laki-laki selain mahramnya, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.” ( Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Imam Al-Qurthuby rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan, karena pandangan adalah pancaran hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan
pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu, tidak halal
bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain
mahramnya.” ( Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an 2/227).
Berkata Imam Asy-Syaukany rahimahullah, “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” ( Tafsir Fathul Qadir 4/32).
Berkata Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah, “Ayat ini
menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena
memandang hal-hal yang dilarang, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [ Ghafir: 19 ]
Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang.”
Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah berkata, “Makna dari ayat
(31 surah An-Nur) adalah memandang hal yang dilarang, karena hal itu
merupakan penghianatan mata dalam memandang.” ( Adhwa` Al-Bayan 9/190).
Dalil-Dalil dari Sunnah
Pertama , dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ
وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا
بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا
الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ
الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ
عَنِ الْمُنْكَرِ
“Berhati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari
majelis-majelis yang kami berbicara di dalamnya?’ Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam menjawab, ‘Apabila kalian tidak mau kecuali
harus bermajelis maka berikanlah bagi jalanan haknya,’ mereka bertanya,
‘Dan apa haknya?’ Rasulullah menjawab, ‘Menundukkan pandangan, menahan
diri dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar.’.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (11/11), “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati
dan fitnah dari memandang laki-laki ataupun wanita selain mahramnya.”
Berkata Syamsuddin Al-‘Azhim Al-Abady sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168), “Ghadhdhul bashar ‘menundukkan pandangan’ yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan.”
Kedua , dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ
زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam
bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata
zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan
zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki
zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal
tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya.”
Imam Bukhary, dalam menjelaskan hadits ini, menyatakan bahwa selain
kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau
sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya
dapat berzina.
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal bahwa beliau
berkata, “Mata, mulut, dan hati dinyatakan berzina karena asal
sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang
haram.” ( Fathul Bary 11/26).
Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah ‘jalan’ yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang hal itu termasuk dosa besar.
Ketiga ,dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
يَتَحَقَّقُ
رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما
جعل الاستئذان من أجل البصر
“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya,
maka beliau berkata, ‘Sekiranya saya tahu engkau memandang (ke kamarku)
maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu. Sesungguhnya diberlakukannya
meminta izin itu karena alasan pandangan.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya meminta izin disebabkan oleh hal memandang, dan adapun
larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya
karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram.” ( Fathul Bary 11/221).
Keempat ,dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam memberi perintah kepadaku, ‘Palingkanlah
pandanganmu.’.” (diriwayatkan oleh Muslim).
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhahullah berkata, “Hadits ini
menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara
tiba-tiba (tidak disengaja), akan tetapi wajib untuk memalingkan
pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa.” ( Bahjatun Nazhirin 3/146).
Imam An-Nawawy mengatakan, “Pandangan kepada selain mahram secara
tiba-tiba tanpa maksud tertentu, pada pandangan pertama, maka tak ada
dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya, maka hal itu
sudah terhitung sebagai dosa.” ( Syarh Shahih Muslim 4/197).
Pendapat Para Ulama
Dari uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah di atas, menunjukkan bahwa
hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Tidak terjadi khilaf
di antara para ulama akan hal itu.
Al-Imam An-Nawawy telah menukil kesepakatan para ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. ( Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawy 6/262).
Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka
terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsir -nya, “Kebanyakan para
ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya, baik
dengan syahwat maupun tanpa syahwat, dan sebagian lagi dari mereka
menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa
syahwat maka hal itu boleh.” ( Tafsir Ibnu Katsir 3/354).
Adapun dalil pendapat Jumhur ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah:
Pertama , Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman agar hendaknya mereka menundukkan pandangannya”. [ An- Nur: 31 ]
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. ( Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al-Andalusy dalam Tafsir -nya ( Tafsirul Bahrul Muhit 6/411), dan Imam Asy-Syaukany ( Fathul Qadir 4/32), “Bahwa surah An-Nur ayat 31 ini sebagai taukid ‘penguat’
ayat sebelumnya, yaitu An-Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang
kepada selain mahram adalah haram secara mutlak, maka begitupun hukum
wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula.”
Kedua , hadits Ummu Salamah,
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ
مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا
مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا
وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
“Saya pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum, dan
pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Berhijablah kalian
darinya!’ Maka kami mengatakan, ‘Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak
melihat dan tidak mengenal kami?’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam berkata, ‘Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua
dapat melihatnya?’.”
Diriwayatkan olehAbu Daud no. 4112, At-Tirmidzy no. 2778, An-Nasa`i dalam Al-Kubra no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnad -nya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 5575-5576, Al-Baihaqy 7/91, Ath-Thabarany 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 8/175,178, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh -nya 3/17-18, 8/338, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/155.
Tetapi ada kelemahan di dalam hadits ini, yaitu seorang rawi yang
bernama Nabhan maula Ummu Salamah. Ia adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu, hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1806.
Imam An-Nawawy berkata, “ Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat, dan yang rajih
dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil surah An-Nur ayat 31.
dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah
dan beliau(?) berkata bahwa haditsnya hasan.”
(Lihat Syarh Muslim oleh An-Nawawy 6/262)
Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita
memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ
يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ
إِلَى لَعْبِهِمْ
“Saya melihat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
di pintu kamarku, sedang orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. (Beliau pun)
menghijabiku dengan rida`-nya supaya saya dapat melihat permainan mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Akan tetapi, tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka, dalam hadits
ini, untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram
tanpa syahwat. Penjelasan hal tersebut sebagai berikut.
Berkata Imam An-Nawawy ( Syarh Muslim 6/262), “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar ( Al-Fath 2/445), “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut, kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka, bukan wajah dan badan mereka, dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba, dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu.”
Kemungkinan lainnya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat
orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid dari jarak jauh, karena
dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya,
sedangkan orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid. Wallahu a’lam.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
- Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majalah atau koran.
Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majalah
dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan
sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan ( Lajnah Fatawa oleh Syaikh Ibnu Bazz).
- Pandangan pertama adalah rahmat.
Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang
dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.
- Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.
Ibnu Taimiyah berkata, “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada
ciptaan Allah adalah ibadah, termasuk melihat kepada yang haram (yang
bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji
itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [ Al-A’raf: 28 ]
Catatan
Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini
berlaku umum, kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia
melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh
syariat, sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil
yang sangat banyak. Wallahu a’lam.
Hukum Berjabat Tangan dengan Selain Mahram
Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain:
Pertama , dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ
زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam
bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata
zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan
zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki
zinanya adalah berjalan, dan hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal
tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”
Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim
(16/316), menjelaskan, “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang
dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk
melakukan zina kemaluan.”
Kedua , Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu,
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum
besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya.” (diriwayatkan oleh Ar-Ruyany dalam Musnad -nya no. 1282, Ath-Thabrany 20/no. 486-487, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 226)
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar ( Nashihati Lin Nisa` hal. 123).
Berkata Asy-Syinqithy ( Adhwa` Al-Bayan
6/603), “Tidak ada keraguan, bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat
menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih
kuat dibanding fitnah memandang.”
Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy ( Az-Zawajir 2/4), “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar.”
Ketiga ,hadits Amimah bintu Raqiqah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (diriwayatkan oleh Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnad
-nya 4/90, ‘Abdurrazzaq no. 9826, Ath-Thayalisy no. 1621, Ibnu Majah
no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban
sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thabary dalam Tafsir -nya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsan y no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 8/5-6, Ath-Thabarany 24/no. 470,472,473, dan Al-Khallal dalam As-Sunnah no. 45. Dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 529 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )
Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid
yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183,
Ath-Thabarany 24/no. 417,456,459, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid
12/244. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab, dan ia
lemah dari sisi hafalannya, namun bagus dipakai sebagai pendukung)
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243, “Dalam perkataan beliau, ‘Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita,’
ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan
perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh
tangannya dan berjabat tangan dengannya.”
Keempat , hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata,
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah
menyentuh tangan wanita dalam berbai’at. Beliau hanya membai’at mereka
dengan ucapan .”
Berkata Imam An-Nawawy ( Syarh Muslim 13/16), “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita (dilakukan) dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”
Berkata Ibnu Katsir ( Tafsir Ibnu Katsir 4/60), “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita (dilakukan) dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”
Jadi, bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan, tidak dengan
menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara
menyentuh tangan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini
menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram
dalam berbai’at, apalagi, bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan
bai’at, tentu dosanya lebih besar lagi.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
Syubhat pertama , boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,
فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا
مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanjangkan
tangannya dari luar rumah, dan kami pun memanjangkan tangan kami dari
dalam rumah, kemudian beliau berkata, ‘Ya Allah, saksikanlah.’.”
Beliau juga berkata dalam riwayat Bukhary,
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا
وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا…
“Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam, maka beliau membacakan kepada kami ayat [Janganlah kalian
menyekutukan Allah dengan sesuatu pun] dan melarang kami dari meraung
(sewaktu kematian), maka wanita (itu pun) memegang tangannya ….”
Bantahan
Hadits pertama, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ath-Thabary, dan Ibnu Mardaway dari
jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman, dan Isma’il bin ‘Abdirrahman, menurut
Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah 2/65, laisa bimasyhur ‘tidak terkenal’, maka beliau menghukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy ‘tidak kuat’.
Berkata pula Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan
dari belakang hijab sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun
tidak berjabat tangan.
Kemudian, dalam hadits pertama ini, tidak ada kepastian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam hanya memanjangkan tangannya.
Lalu, pada hadits kedua, tangan yang dimaksud pada kalimat “yang
memegang tangannya” adalah tangan wanita itu sendiri, bukan tangan
Rasulullah.
Kemudian, kedua hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albany rahimahullah, bukan pernyataan yang sharih
‘tegas,jelas’ bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau, maka
tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits
Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang menyatakan dengan jelas
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita, baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.
Syubhat kedua , boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’by radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى
آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ
فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika
membai’at para wanita, diberi kain sutera, kemudian meletakkan kain
tersebut di atas tangannya dan berkata, ‘Saya tidak berjabat tangan
dengan wanita.’.”
Bantahan
Hadits ini mursal (dha’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An-Nakha’i dengan mursal. Lalu dari Ibnu Manshur, dari jalan Qais Abi Hazm, dengan jalan mursal.
Karena hadits ini lemah, maka dikembalikan kepada hadits yang secara
umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain
mahram, baik dengan memakai pelapis/pembatas maupun tidak. (Lihat Al-Fatawa Wa Ar-Rasa`il Lin-Nisa` hal. 10 karya Syaikh ‘Utsaimin dan Nashihati Lin-Nisa` hal. 14 oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy).
Syubhat ketiga , boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua.
Bantahan
Hal ini telah ditanyakan kepada Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah,
dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini, baik orang
yang dijabattangani sudah tua maupun belum, karena hadits-hadits, yang
menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan, tidak membedakan
keduanya. Kemudian, menurut Syaikh, batasan antara orang tua dan muda
berbeda-beda menurut penilaian setiap orang. (Lihat Fatwa Syeikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin ).
Wallahu a’lam bishshawab .
Syubhat keempat , boleh berjabat tangan kepada selain mahram jika niatnya baik.
Bantahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan
shalih.” [ Al-Ashr: 1-3 ]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan
harta-harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati-hati dan
amalan-amalan kalian.” (diriwayatkan oleh Muslim)
Berkata Al-Imam Al-Ajurry dalam Asy-Syari’ah
hal. 128, “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh adalah sebagai
pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak
beramal, tidak dikatakan sebagai orang yang beriman, bahkan meninggalkan
amalan adalah pendustaan terhadap keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Wallahu A’lam bishshawab .
Kesimpulan
Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas, maka telah
jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada
selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain
mahram adalah haram.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin
Sumber : http://an-nashihah.com/?p=92
Hukum Menikah Dalam Keadaan Hamil
Oleh: Al-Ustâdz Abû Muhammad Dzulqarnain
1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus
dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung
menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?
Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut:
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
Satu: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua: Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Sunday, February 12, 2012
Unduh/Download Kitab Al-Ushul min Ilmil Ushul (Materi yang Akan dibahas Pada Daurah Uhul Fiqih Makassar bersama Ust Dzulqarnain M.Sunusi , 25-29 Rabiul Awal 1433 H/ 17-21 Februari 2012)
Silakan Unduh/Download Kitab Al-Ushul min Ilmil Ushul
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).
(Materi yang Akan dibahas Pada Daurah Uhul Fiqih Makassar bersama Ust
Dzulqarnain M. Sunusi, 25-29 Rabiul Awal 1433 H/ 17-21 Februari 2012).
Silakan unduh di tautan berikut :
Silakan unduh di tautan berikut :
Daurah/Kajian Aqidah 7 Hari Semarang: Ust Dzulqarnain M.Sunusi – Ust Ja’far Shaleh – Ustadz Saifuddin Zuhri Lc : Rabiuts Tsani- 2 Jumadil Ula 1433 H / 19-25 Maret 2012
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh
Dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa ta’ala Kami mengajak kaum
muslimin untuk menghadiri kajian aqidah islamiyah secara intensif selama
tujuh hari sebagai upaya nyata mensyukuri nikmatnya beragama islam dan
sebagai realisasi firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat Muhammad
ayat 19 yang artinya :” Ketahuilah bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah”
yang mana dalam ayat ini dengan jelas Allah memerintahkan hambanya
untuk memiliki pengetahuan yang detail bahwa tidak ada yang berhak
disembah kecuali Allah. Dan juga sebagai upaya meneladani para ulama
yang begitu perhatian terhadap masalah aqidah serta upaya membentengi
diri dari pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep yang bertentangan dengan
Islam. Kemudian yang pasti ini adalah sebuah ibadah yang mulia karena
merupakan realisasi perintah Allah untuk memperdalam ilmu agama.
Saturday, February 11, 2012
Hukum memakan Al-Jallalah.
Al-jallalah (الجلالة), dengan jim difathah dan lam ditasydid,
berasal dari bangunan kata yang menunjukkan makna berlebihan. Dia
adalah hewan pemakan tinja, baik dia adalah sapi atau kambing atau onta
atau dari jenis unggas seperti ayam, angsa dan selainnya[1].
Ada dua pendapat di kalangan tentang hukum memakannya:
Pendapat pertama: Haram memakannya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad[2] dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[3]. Mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah r melarang dari memakan jallalah dan meminum susunya.[4]”
Hadits ini jelas menunjukkan pengharaman makan daging jallalah karena asal dalam hukum larangan adalah haram.
Bolehnya Tidur Terlentang di Dalam Masjid
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
Boleh Berbaring dengan posisi terlentang di dalam masjid. Berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini:
أنه رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ مُسْتَلْقِيًا وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى
“Bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidur terlentang di dalam masjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas kaki lainnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/446) (10/328) (11/68) dan dalam Al-Adab Al-Mufrad (172), Muslim (6/154), Malik (1/186) serta Abu Daud (2/297) dan An-Nasai (1/118) dari jalannya, Muhammad dalam kitabnya Muwaththa` (398), At-Tirmizi (2/127 -cet. Bulaq), Ad-Darimi (2/282), Ath-Thayalisi (hal. 148 no. 1101), dan Ahmad (4/38, 39, 40) dari beberapa jalan dari Az-Zuhri dia berkata: Abbad bin Tamim mengabarkan kepadaku dari pamannya (Abdullah bin Zaid, pent.) dengan lafazh di atas.
At-Tirmizi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Abu Hurairah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Fath (11/68)
Boleh Berbaring dengan posisi terlentang di dalam masjid. Berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini:
أنه رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ مُسْتَلْقِيًا وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى
“Bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidur terlentang di dalam masjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas kaki lainnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/446) (10/328) (11/68) dan dalam Al-Adab Al-Mufrad (172), Muslim (6/154), Malik (1/186) serta Abu Daud (2/297) dan An-Nasai (1/118) dari jalannya, Muhammad dalam kitabnya Muwaththa` (398), At-Tirmizi (2/127 -cet. Bulaq), Ad-Darimi (2/282), Ath-Thayalisi (hal. 148 no. 1101), dan Ahmad (4/38, 39, 40) dari beberapa jalan dari Az-Zuhri dia berkata: Abbad bin Tamim mengabarkan kepadaku dari pamannya (Abdullah bin Zaid, pent.) dengan lafazh di atas.
At-Tirmizi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Abu Hurairah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Fath (11/68)
Bolehnya Membaca Al-Qur`an Dalam Keadaaan Berjalan dan Berbaring
Dalil akan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
“Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring.“ (QS. Ali Imran: 191)
Dan firman Allah Ta’ala:
لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ. وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ.
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian telah duduk di atasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan: Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami hanya kembali kepada Rabb kami.“ (QS. Az-Zukhruf: 13 – 14 )
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
“Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring.“ (QS. Ali Imran: 191)
Dan firman Allah Ta’ala:
لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ. وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ.
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian telah duduk di atasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan: Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami hanya kembali kepada Rabb kami.“ (QS. Az-Zukhruf: 13 – 14 )
Thursday, February 9, 2012
Haramnya Musik dan Lagu
Kontroversi
tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra
masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in,
dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya
kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
Musik
dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat
penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir
tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian.
Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota
ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan
di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka
bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya
musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti
dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi
konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati
mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun
dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan
segudang tuduhan lainnya.
Namun
bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak
karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam. Kebenaran
harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan.
Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah
rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk
mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau
mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih
lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan
As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin
terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam
berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal
untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf
Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan
rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm rahimahulloh sebagai
tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.
Oleh
karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu
dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n, serta
perkataan para ulama salaf.
Definisi Musik
Musik
dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang
berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu,
maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang
‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila
dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang
tidak senang kepada mereka.
Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ ), dan disebut juga ‘azfun (عَزْفٌ ).
Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan
selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai alat musik.
Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.
Al-Laits radiallohu anhu, berkata: “Al-ma’azif
adalah alat-alat musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh
berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.” Al-Qurthubi rahimahulloh,
meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif
adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud
adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah
suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah
genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)
Al-Imam
Adz-Dzahabi rahimahulloh, berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap
alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet
(sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul
Qayyim rahimahulloh berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat
musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul
Lahafan, 1/260-261)
Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu
jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau
dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan,
ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan
sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik
jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah
(gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu
alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada
sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau
yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi
yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis
ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis
seruling).
Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu
alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau
bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat
dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari.
Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan,
dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya
seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu
alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat
elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau
dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia,
dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah Hukmu
‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu
Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim
1. Firman Allah Subhaanahu wata’aala, :
“Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat
Allah Subhaanahu wata’aala, ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf
bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang
menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
Abdullah
bin ‘Abbas radiallohu anhu, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat
ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan
Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah
(6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam
Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani
dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).
Abdullah
bin Mas’ud radiallohu anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini,
beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang
haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah,
Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya
shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani,
lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
‘Ikrimah
radiallohu anhu,. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada
‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau
menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya
(2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan
Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
Mujahid
bin Jabr radiallohu anhu,. Beliau mengucapkan seperti apa yang
dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167,
1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang
sebagiannya shahih).
Dan
dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari
Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut,
beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya
tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari
Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahulloh, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi
rahimahulloh menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan
menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku
belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal.
144)
Oleh
karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441):
“Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah
nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua
orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan
mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
2. Firman Allah Subhaanahu wata’aala,:
“Maka
apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian
menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
Ibnu
Abbas radiallohu anhu,. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian.
Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan
bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain:
bahasa penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam
tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata:
“Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id,
7/116)
‘Ikrimah
radiallohu anhu. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian,
menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi
Syaibah, 6/121)
Ada
pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang
semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan
makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud
adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu
tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan:
‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong,
dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas radiallohu anhu, berkata tentang
ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata:
‘Sombong dan congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang
lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah
mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan,
1/258)
3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan
kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan
kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri
janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka
melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah
diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung
siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah
melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal
tersebut adalah:
Mujahid rahimahulloh, Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian
ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk
bermaksiat kepada Allah Subhaanahu wata’aala,. Ibnu Jarir berkata:
“Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu
wata’aala, telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan
Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia
tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang
dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya,
serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah Subhaanahu
wata’aala,, maka termasuk dalam makna suara yang Allah Subhaanahu
wata’aala, maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata tatkala menjelaskan ayat ini:
“Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara
nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis
suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah
k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul
Qayyim rahimahulloh berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa
nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.”
(Ighatsatul Lahafan, 1/255)
Dalil-dalil dari As-Sunnah
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ
عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛ فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ
الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
“Akan
muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera,
khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung
kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada
mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah
kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhaanahu wata’aala, membinasakan mereka
di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang
lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR.
Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits
ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad
hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata...”1 tidaklah memudaratkan
kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh, tidak
dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga
hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata: “(Tentang) alat-alat (musik)
yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
rahimahulloh dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm),
yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat
Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits
ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahulloh berkata setelah menyebutkan panjang lebar
tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha
melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan
hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia
termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna
hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap
halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram.
Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap
perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan
berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik radiallohu anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua
suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat
nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam
Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah,
6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat
yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga
dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah radiallohu anhu, dari
Abdurrahman bin ‘Auf radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallohu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّمَا
نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ:
صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ
عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku
hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara
ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling
setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara
setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi
rahimahulloh berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah
nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan
al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud
no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya
no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani,
lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata
al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin
Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radiallohu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah Subhaanahu wata’aala, mengharamkan khamr, judi, al-kubah
(gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan
setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad,
2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan
Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
Atsar dari Ulama Salaf
1. Abdullah bin Mas’ud radiallohu anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian
itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya
dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan
Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal.
10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)
2.
Ishaq bin Thabba` rahimahulloh berkata: Aku bertanya kepada Malik bin
Anas rahimahulloh tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan
nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang
yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr
Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis
Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)
Beliau
juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia
mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”
Beliau
menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa
enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau
dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur
atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)
3.
Al-Imam Al-Auza’i rahimahulloh berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz
rahimahulloh menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya:
“... Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah
perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu
Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 120)
4.
‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya
nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang
menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti
air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim
Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal.
148)
Diriwayatkan
pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari
Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan dan biduanita.”
(Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5.
Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahulloh –seorang tsiqah (tepercaya) yang
berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh
– ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku
berlindung kepada Allah Subhaanahu wata’aala, . Tidak ada yang
melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan
Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)
6.
Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahulloh mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka,
tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para
pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di
antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang
dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.
Lalu
beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang
yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam
hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta
didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para
pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang
biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal.
283-284)
7.
Ibnu Abdil Barr rahimahulloh berkata: “Termasuk hasil usaha yang
disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap),
mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku
mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala
permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8.
Ath-Thabari rahimahulloh berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai
negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi,
14/56)
9.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh, berkata: “Mazhab empat imam
menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau
menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari rahimahulloh di atas. (Majmu’
Fatawa, 11/576)
Masih
banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya
musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup
menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)