Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wednesday, February 29, 2012

Rahmat dan Kemurahan Islam

Diantara rahmat Allah yang sangat agung kepada manusia, dijadikannya syari’at Islam ini sebagai syari’at yang penuh dengan rahmat, kemurahan, dan kemudahan. Dan hal ini nampak jelas pada seluruh aturannya dan mewarnai prinsip-prinsip dasar dan cabang-cabang tuntunannya. Sepanjang perjalanan kehidupan manusia, Islam dikenal dengan sifat rahmat ini, dan Islam tetap akan menjadi rahmat bagi manusia pada segala keadaan, di setiap waktu dan tempat.
Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan obat bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrô` : 82)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)

Islam Adalah Penegak Keamanan

Keamanan adalah suatu hal yang dituntut dalam kehidupan, dimana seluruh makhluk sangat membutuhkannya dalam memenuhi hal-hal yang berkaitan dengan mashlahat kepentingan mereka, baik yang sifatnya keduniaan maupun keagamaan.

Dan tiadalah seorang insan yang hidup di muka bumi ini kecuali ia pasti mencari sebab-sebab keamanan untuk dirinya dan mencurahkan segenap kemampuannya guna menjauhi sebab-sebab ketakutan yang boleh jadi akan mendatangkan ancaman bahaya dalam perjalanan hidupnya.
Bagaimanapun seorang manusia meraih keselamatan badan dan keluasan rizki, maka hal tersebut tidaklah bernilai dan tiada terasa manfaatnya kecuali dengan keamanan dan ketentraman. 

Betapapun manusia diberikan sebab-sebab kemajuan dan segala unsur keberhasilan, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaannya dan tidak pula dapat menuai kehidupan yang indah kecuali dengan tuntunan dan syari’at yang Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Pencipta manusia ridhoi untuk mereka.

Islam Menentang Sikap Ekstrim

Dinul Islam adalah syari’at yang pertengahan di atas jalan yang lurus. Tidaklah dikenal dalam syari’at Islam pembenaran terhadap sikap ekstrim dan tidak pula ada sikap menyepelekan tuntunan maupun aturan syari’at.
Rabb kita telah menjelaskan ciri umat Islam ini dalam firman-Nya,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang wasathan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Wasathan dalam ayat di atas, ada penafsiran di kalangan para ulama :
Pertama : Umat wasathan bermakna umat yang adil dan pilihan. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama tafsir.
Kedua : Umat wasathan bermakna pertengahan antara dua kutub; kutub ekstrim dan kutub menyepelekan.[1]
Sifat pertengahan Islam sangatlah jelas pada seluruh aspek dan bidang yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam masalah ‘ibadah, mu’âmalat, pemerintahan, perekonomian, hukum, pernikahan, dan sebagainya. Bahkan dalam masalah cara membelanjakan harta, Islam juga telah mengaturnya di atas dasar pertengahan tersebut,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqôn : 67)

Keadilan Dalam Syari'at Islam

Berlaku adil adalah salah satu prinsip Islam yang dijelaskan dalam berbagai nash ayat maupun hadits. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam, sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ` : 58)

Anjuran Untuk Melakukan Perbaikan Di Muka Bumi

Telah merupakan hal yang dimaklumi dari kaidah agama kita bahwa syari’at Islam ini datang untuk mewujudkan segala mashlahat atau menyempurnakannya, menghilangkan segala madharat atau menguranginya. Hal ini adalah karakteristik Islam yang sangat agung dan penuh dengan keistimewaan.
Anjuran untuk berbuat perbaikan dan larangan dari berbuat kerusakan di muka bumi telah ditekankan dalam berbagai ayat, di antaranya adalah firman-Nya,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’râf : 56)
“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’arô` : 151-152)
Menyeru manusia kepada prinsip ini adalah salah satu tugas para nabi dan rasul. Nabi Sholih ‘alaihissalâm menyeru kaumnya,
“Dan ingatlah olehmu di waktu Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 74)

Haromnya Perbuatan Zholim, Khianat dan Melanggar Janji

Nilai-nilai Islam yang agung nan suci sangat tidak sejalan dengan perbuatan zholim, khianat dan melanggar janji. Karena kezholiman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan khianat adalah tidak memenuhi amanah, dan melanggar janji adalah akhlak yang tercela menurut kesepakatan orang-orang yang berakal.
Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Yang menciptakan seluruh makhluk, telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Nya. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Qudsi, Allah berfirman,
يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظَّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوْا
“Wahai segenap hambaku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Ku dan Aku telah menjadikan hal tersebut sebagai perkara yang haram antara sesama kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi.” [1]
Dan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ mengingatkan,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzholimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshulit : 46)

Terangnya Jalan Islam

Syari’at Islam telah menerangkan jalan yang sangat jelas dan terang. Tiada kewajiban atas kaum muslimin kecuali hanya sekedar mengikuti jalan Islam, mencontoh dan menjalankan tuntunannya. Karena jelasnya jalan Islam ini, sehingga Allah Jalla wa ‘Azza memerintah Nabi-Nya untuk menyatakan kepada manusia apa yang tertera dalam firman-Nya,
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah ke (jalan) Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf : 108)
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma`idah : 15-16)

Thursday, February 23, 2012

Daurah Sulawesi Ke-2 (se-Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat) di Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat.

InsyaAllah akan dilaksanakan 
Daurah Sulawesi Ke-2 (se-Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat) di Pasangkayu, Mamuju Utara, Sulawesi Barat.

   Waktu: 3-4 Maret 2012/9-10 Rabi’uts Tsani 1433 H
Tempat: Masjid Agung Nurul Huda, Pasangkayu
InsyaAllah akan diisi oleh Asaatidz AhlusSunnah se-Sulutenggobar

Majelis Ilmu Depok Selama 3 Hari Bersama 4 Asatidzah

HADIRILAH...
MAJELIS MUKADDIMAH ILMU-ILMU SYARIAT -PERTAMA-
- 4 Kaidah Dalam Islam
- Pembatal-pembatal Keislaman
- Adab Menuntut Ilmu
- Sumber Hukum Islam

Wednesday, February 22, 2012

Kajian Ahlussunnah Banjarbaru : Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary

Hadirilah 
Pengajian Ahlussunnah Waljama'ah
Bersama :
Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary
(Pengasuh Ponpes Adwa'us Salaf Bandung - Alumni Darul Hadits Dammaj Yaman)

Kajian Islam Semarang : Ust. Ruwaifi Bin Sulaimi, Lc


Hadirilah 
majelis ilmiah Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Bersama:Al Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc

Kajian Islam Ilmiah JAKARTA : Ust. Muhammad Afifuddin

Bismillah. 
Dengan mengharap RidhoNya, Hadirilah majelis ilmiah
Dengan Tema:
MENYIMPANG TANPA SADAR
Bersama:
Al Ustadz Muhammad ‘Afifuddin As Sidawi 
(Pengasuh Ma’had Al Bayyinah Kec.Sidayu Kab.Gresik )

Pengajian Umum Banyumas , JATENG : Ust. Qomar Suaidi, Lc

Hadirilah Pengajian Umum
Dengan Tema:
MUTIARA HIKMAH DIKALA FITNAH
Bersama:
Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc
(Pengasuh Ma’had Da’rul AtsarTemanggung)

Tuesday, February 21, 2012

Download EBOOK

Monday, February 20, 2012

Kajian Islam Ilmiah Grogol, Sukoharjo : Ustadz Usamah Faishol Mahri, Lc.

Bismillaah..
Dengan mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, hadirilah kajian Islam Ilmiyyah 
dengan tema:

"AKHLAK PARA ULAMA SALAF TERDAHULU"

Pembicara: 
Al-Ustadz Usamah Faishol Mahri, Lc. 
(Alumni Universitas Islam Madinah & Pengasuh Ma’had As-Sunnah Malang)

UPDATE : Download Kajian (ceramah) Ust. Musaddad

Download Kajian (ceramah)
Ust. Abu Abdirrohman Musaddad
di bawah ini :

Berlindung Kpd Alloh Dari Kejelekan Diri
Download disini

Sunday, February 19, 2012

Download Kajian Mamuju Selama 2 Hari bersama Ust. Khidir M. Sunusi

Download Kajian Mamuju Selama 2 Hari
bersama :
Al-Ustadz Abu 'Abdillah Khidir Bin Muhammad Sunusi
(Alumnus Daarul Hadits, Yaman - Pimpinan Pondok Tahfidzul Qur'an, Parappa, Takalar Sul-Sel).
Dengan Tema :
"MENITI JALAN KESELAMATAN DENGAN KEMURNIAN AQIDAH"
Download Sesi. 1
Download Kajian Ba'da Maghrib

"KESABARAN DI ATAS KEBENARAN DIANTARA SEBAB DATANGNYA 
PERTOLONGAN ALLAH"

Friday, February 17, 2012

Pembagian dan Hukum Istighatsah

Istighatsah artinya memohon keselamatan dari kesulitan dan kebinasaan. Istighatsah ada 4 macam :

1.    Istighatsah kepada Allah Azza wa Jalla.
Amalan ini termasuk di antara amalan yang paling utama dan paling sempurna, serta merupakan sunnah para rasul dan pengikut mereka. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ الْمَلآئِكَةِ مُرْدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfal: 9)

2.    Istighatsah kepada orang-orang yang telah mati atau kepada orang yang masih hidup tetapi tidak hadir dan tidak sanggup untuk memenuhi permohonannya.

Pembagian dan Hukum Isti'anah

Isti’anah ada 5 macam:

1.    Isti’anah kepada Allah Ta’ala yaitu isti’anah yang mengandung kesempurnaan sikap merendahkan diri dari seorang hamba kepada Rabbnya, dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya, serta meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberi kecukupan kepadanya.
Isti’anah seperti ini tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allah Ta’ala. Dan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Karenanya, memalingkan isti’anah jenis ini kepada selain Allah Ta’ala merupakan perbuatan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

Pembagian dan Hukum Isti'adzah

Isti’adzah (permintaan perlindungan) ada 4 macam :

1.    Isti’adzah kepada Allah Ta’ala.
Yaitu isti’adzah yang mengandung kesempurnaan rasa butuh kepada Allah, bersandar kepada-Nya, serta meyakini penjagaan dan kesempurnaan pemeliharaan Allah Ta’ala dari segala sesuatu, baik di zaman sekarang maupun di zaman yang akan datang, baik pada perkara yang kecil maupun yang besar, baik yang berasal dari manusia maupun selainnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Falaq dan surah An-Naas, dari awal sampai akhir.

2.    Isti’adzah dengan salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti sifat kalam-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan semacamnya.

Fenomena Ketindihan dan Solusinya

Tanya:
assalamu’alaykum
afwan ana mau tanya, apakah tindihan itu disebabkan oleh gangguan jin? jika ada orang yang sering tindihan itu apa sebabnya?
jazakumulloh khoir
ummu anas
mmuftiatul@yahoo.com

Jawab:
Ketindihan saat tidur disebabkan oleh banyak hal. Ada banyak hal yang berkaitan dengan kejiwaan dan kesehatan. Juga ada hal yang berkaitan dengan perbuatan Jin.
Cara terbaik untuk mengobati hal tersebut adalah melaksanakan etika-etika sebelum tidur yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti berwudhu sebelum tidur dan membaca doa-doa tidur.

Thursday, February 16, 2012

Derajat Hadits Sholat Tasbih

Ustadz Luqman Jamal

PERTANYAAN
Sering terdengar, bahkan pernah terlihat, bahwa ada kaum muslimin yang melakukan shalat tasbih pada malam-malam tertentu, khususnya malam Jum’at. Apakah hal ini ada dasarnya dari Al-Qur`ân dan sunnah?

JAWABAN
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang shalat tasbih:
Hadits Pertama
Hadits Ibnu ‘Abbâs,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وِسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقُرْاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشَرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ

Hukum Qunut Subuh

Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi 

PERTANYAAN
Salah satu masalah kontroversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid’ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya.?


JAWABAN
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur`an maupun As-sunnah yang shahih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar, hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu tertolak.” Dan dalam riwayat Muslim, “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) tertolak.”

Wednesday, February 15, 2012

Kajian Ahlussunnah Jogjakarta: Ust Dzulqarnain M.Sunusi: Kitab MANZHUMAH AL-HAIYYAH karya: Abu Bakr Ibnu Abi Dawud: Sabtu-Ahad, 2-3 Rabiuts Tsani 1433 H25-26 Februari 2012

Hadirilah Daurah/Kajian Ahlussunnah 2 hari di Jogjakarta 
bersama :
Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
 (Murid Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i; Mujaddid Negeri Yaman dan 
Redaktur Ahli Jurnal Asy Syifa: asysyifa.com),  
yang  InsyaAllah acara akan diadakan pada : 
Tgl 2 & 3  Rabiuts Tsani 1433 H / 25-26 Februari 2012.

Kajian Islam Surabaya: FENOMENA AL-WALA WAL BARA’ DI MASA KINI: Ust Muhammad Afifuddin As-Sidawi: Ahad, 26 Robi’ul Awwal 1433 | 19 Pebruari 2012

InsyaAllah, akan dilaksanakan acara kajian ISLAM, 
dengan tema:
FENOMENA AL WALA WAL BARO’ DI MASA KINI
Pemateri :
Al-Ustadz Muhammad Afifuddin As Sidawi 
(Pengasuh Ma’had Al Bayyinah Kec.Sidayu Kab.Gresik)

Hukum Ta'ziyah untuk Keluarga Mayit

Oleh Ustadz Mustamin Musaruddin

PERTANYAAN
Sudah sekian lama berkembang, di berbagai tempat, suatu acara yang dinamakan dengan ta’ziyah, yang bentuknya adalah tuan rumah (yang merupakan keluarga orang yang meninggal) mengundang kerabat, tetangga dan handai taulan untuk menghadiri acara, yang pada acara tersebut diadakan ceramah (yang disebut dengan ceramah ta’ziyah) dan disediakan suguhan (makanan dan minuman). Acara ini diadakan pada hari-hari tertentu setelah kematian seseorang, yakni pada hari ke-3, ke-7 dan selainnya. Kebiasaan ini sudah lama menjadi pertanyaan di dalam hati, apakah amalan tersebut memiliki dasar di dalam agama ini atau tidak. Kalau memang acara ta’ziyah tersebut disyariatkan, bagaimana sebenarnya aturan-aturannya, mana yang boleh dan sesuai dengan sunnah dan mana yang bertentangan dengannya? Mohon dijelaskan dengan gamblang, terima kasih!

Hukum Memandang dan Berjabat Tangan dengan Selain Mahram

Oleh : Al-Ustadz Shobaruddin bin Muhammad Arif 
 
PERTANYAAN
Sungguh agama telah mengatur segala aspek kehidupan dan menatanya dengan keimanan dan ketundukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Perbedaan begitu banyak terjadi dalam kehidupan, termasuk kontroversi tentang haram dan tidak haramnya memandang dan berjabat tangan dengan selain mahram. Fenomena ini terus mencuat, lalu bagaimanakah sebenarnya analisis ilmiah tentang hal tersebut?

JAWABAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.

Hukum Memandang Selain Mahram
Dalil dari Al-Qur`an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.’.” [ An- Nur: 31 ]
Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan baginya.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.” ( Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Imam Al-Qurthuby rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan, karena pandangan adalah pancaran hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu, tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya.” ( Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur`an 2/227).
Berkata Imam Asy-Syaukany rahimahullah, “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” ( Tafsir Fathul Qadir 4/32).
Berkata Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah, “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” [ Ghafir: 19 ]
Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang.”
Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah berkata, “Makna dari ayat (31 surah An-Nur) adalah memandang hal yang dilarang, karena hal itu merupakan penghianatan mata dalam memandang.” ( Adhwa` Al-Bayan 9/190).
Dalil-Dalil dari Sunnah
Pertama , dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Berhati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majelis-majelis yang kami berbicara di dalamnya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjawab, ‘Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajelis maka berikanlah bagi jalanan haknya,’ mereka bertanya, ‘Dan apa haknya?’ Rasulullah menjawab, ‘Menundukkan pandangan, menahan diri dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar.’.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (11/11), “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki ataupun wanita selain mahramnya.”
Berkata Syamsuddin Al-‘Azhim Al-Abady sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168), “Ghadhdhul bashar ‘menundukkan pandangan’ yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan.”
Kedua , dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya.”
Imam Bukhary, dalam menjelaskan hadits ini, menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththal bahwa beliau berkata, “Mata, mulut, dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram.” ( Fathul Bary 11/26).
Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah ‘jalan’ yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang hal itu termasuk dosa besar.
Ketiga ,dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya, maka beliau berkata, ‘Sekiranya saya tahu engkau memandang (ke kamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu. Sesungguhnya diberlakukannya meminta izin itu karena alasan pandangan.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya meminta izin disebabkan oleh hal memandang, dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram.” ( Fathul Bary 11/221).
Keempat ,dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memberi perintah kepadaku, ‘Palingkanlah pandanganmu.’.” (diriwayatkan oleh Muslim).
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja), akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa.” ( Bahjatun Nazhirin 3/146).
Imam An-Nawawy mengatakan, “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu, pada pandangan pertama, maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya, maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” ( Syarh Shahih Muslim 4/197).
Pendapat Para Ulama
Dari uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah di atas, menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.
Al-Imam An-Nawawy telah menukil kesepakatan para ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. ( Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawy 6/262).
Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh.” ( Tafsir Ibnu Katsir 3/354).
Adapun dalil pendapat Jumhur ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah:
Pertama , Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman agar hendaknya mereka menundukkan pandangannya”. [ An- Nur: 31 ]
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. ( Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al-Andalusy dalam Tafsir -nya ( Tafsirul Bahrul Muhit 6/411), dan Imam Asy-Syaukany ( Fathul Qadir 4/32), “Bahwa surah An-Nur ayat 31 ini sebagai taukid ‘penguat’ ayat sebelumnya, yaitu An-Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak, maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula.”
Kedua , hadits Ummu Salamah,
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
“Saya pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum, dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Berhijablah kalian darinya!’ Maka kami mengatakan, ‘Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami?’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihatnya?’.”
Diriwayatkan olehAbu Daud no. 4112, At-Tirmidzy no. 2778, An-Nasa`i dalam Al-Kubra no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnad -nya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 5575-5576, Al-Baihaqy 7/91, Ath-Thabarany 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 8/175,178, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh -nya 3/17-18, 8/338, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/155.
Tetapi ada kelemahan di dalam hadits ini, yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah. Ia adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu, hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1806.
Imam An-Nawawy berkata, “ Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat, dan yang rajih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil surah An-Nur ayat 31. dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau(?) berkata bahwa haditsnya hasan.”
(Lihat Syarh Muslim oleh An-Nawawy 6/262)
Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ
“Saya melihat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam di pintu kamarku, sedang orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. (Beliau pun) menghijabiku dengan rida`-nya supaya saya dapat melihat permainan mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Akan tetapi, tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka, dalam hadits ini, untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Penjelasan hal tersebut sebagai berikut.
Berkata Imam An-Nawawy ( Syarh Muslim 6/262), “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar ( Al-Fath 2/445), “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut, kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka, bukan wajah dan badan mereka, dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba, dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu.”
Kemungkinan lainnya, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid dari jarak jauh, karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya, sedangkan orang-orang Habasyah bermain di dalam masjid. Wallahu a’lam.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
  • Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majalah atau koran.
Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majalah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan ( Lajnah Fatawa oleh Syaikh Ibnu Bazz).
  • Pandangan pertama adalah rahmat.
Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.
  • Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.
Ibnu Taimiyah berkata, “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah, termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [ Al-A’raf: 28 ]
Catatan
Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum, kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syariat, sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu a’lam.
Hukum Berjabat Tangan dengan Selain Mahram
Adapun hukum berjabat tangan dengan selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain:
Pertama , dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah berjalan, dan hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”
Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim (16/316), menjelaskan, “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan.”
Kedua , Hadits Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu,
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (diriwayatkan oleh Ar-Ruyany dalam Musnad -nya no. 1282, Ath-Thabrany 20/no. 486-487, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 226)
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar ( Nashihati Lin Nisa` hal. 123).
Berkata Asy-Syinqithy ( Adhwa` Al-Bayan 6/603), “Tidak ada keraguan, bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang.”
Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy ( Az-Zawajir 2/4), “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar.”
Ketiga ,hadits Amimah bintu Raqiqah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (diriwayatkan oleh Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnad -nya 4/90, ‘Abdurrazzaq no. 9826, Ath-Thayalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thabary dalam Tafsir -nya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsan y no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 8/5-6, Ath-Thabarany 24/no. 470,472,473, dan Al-Khallal dalam As-Sunnah no. 45. Dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 529 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )
Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid yang diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thabarany 24/no. 417,456,459, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab, dan ia lemah dari sisi hafalannya, namun bagus dipakai sebagai pendukung)
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243, “Dalam perkataan beliau, ‘Aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita,’ ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”
Keempat , hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata,
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at. Beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan .
Berkata Imam An-Nawawy ( Syarh Muslim 13/16), “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita (dilakukan) dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan.”
Berkata Ibnu Katsir ( Tafsir Ibnu Katsir 4/60), “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita (dilakukan) dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”
Jadi, bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan, tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi, bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at, tentu dosanya lebih besar lagi.
Beberapa Syubhat dan Bantahannya
Syubhat pertama , boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,
فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanjangkan tangannya dari luar rumah, dan kami pun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berkata, ‘Ya Allah, saksikanlah.’.”
Beliau juga berkata dalam riwayat Bukhary,
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا…
“Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka beliau membacakan kepada kami ayat [Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu pun] dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itu pun) memegang tangannya ….”
Bantahan
Hadits pertama, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ath-Thabary, dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman, dan Isma’il bin ‘Abdirrahman, menurut Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah 2/65, laisa bimasyhur ‘tidak terkenal’, maka beliau menghukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy ‘tidak kuat’.
Berkata pula Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.
Kemudian, dalam hadits pertama ini, tidak ada kepastian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam hanya memanjangkan tangannya.
Lalu, pada hadits kedua, tangan yang dimaksud pada kalimat “yang memegang tangannya” adalah tangan wanita itu sendiri, bukan tangan Rasulullah.
Kemudian, kedua hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albany rahimahullah, bukan pernyataan yang sharih ‘tegas,jelas’ bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau, maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang menyatakan dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita, baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.
Syubhat kedua , boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’by radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika membai’at para wanita, diberi kain sutera, kemudian meletakkan kain tersebut di atas tangannya dan berkata, ‘Saya tidak berjabat tangan dengan wanita.’.”
Bantahan
Hadits ini mursal (dha’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An-Nakha’i dengan mursal. Lalu dari Ibnu Manshur, dari jalan Qais Abi Hazm, dengan jalan mursal. Karena hadits ini lemah, maka dikembalikan kepada hadits yang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, baik dengan memakai pelapis/pembatas maupun tidak. (Lihat Al-Fatawa Wa Ar-Rasa`il Lin-Nisa` hal. 10 karya Syaikh ‘Utsaimin dan Nashihati Lin-Nisa` hal. 14 oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy).
Syubhat ketiga , boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua.
Bantahan
Hal ini telah ditanyakan kepada Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini, baik orang yang dijabattangani sudah tua maupun belum, karena hadits-hadits, yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan, tidak membedakan keduanya. Kemudian, menurut Syaikh, batasan antara orang tua dan muda berbeda-beda menurut penilaian setiap orang. (Lihat Fatwa Syeikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin ).
Wallahu a’lam bishshawab .
Syubhat keempat , boleh berjabat tangan kepada selain mahram jika niatnya baik.
Bantahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih.” [ Al-Ashr: 1-3 ]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati-hati dan amalan-amalan kalian.” (diriwayatkan oleh Muslim)
Berkata Al-Imam Al-Ajurry dalam Asy-Syari’ah hal. 128, “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh adalah sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal, tidak dikatakan sebagai orang yang beriman, bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Wallahu A’lam bishshawab .
Kesimpulan
Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas, maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin
Sumber : http://an-nashihah.com/?p=92

Hukum Menikah Dalam Keadaan Hamil

Oleh: Al-Ustâdz Abû Muhammad Dzulqarnain

1. Bagaimanakah hukumnya pernikahan yang dilaksanakan ketika wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil?
2. Bila sudah terlanjur menikah, apakah yang harus dilakukan? Apakah harus cerai dulu, kemudian menikah lagi atau langsung menikah lagi tanpa harus bercerai terlebih dahulu?
3. Dalam hal ini apakah masih diperlukan mas kawin (mahar)?

Kami jawab -dengan meminta pertolongan dari Allah Al-’Alim Al-Hakim sebagai berikut:

1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam:
Satu: Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Dua: Perempuan yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘iyadzu billah- mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.

Sunday, February 12, 2012

Unduh/Download Kitab Al-Ushul min Ilmil Ushul (Materi yang Akan dibahas Pada Daurah Uhul Fiqih Makassar bersama Ust Dzulqarnain M.Sunusi , 25-29 Rabiul Awal 1433 H/ 17-21 Februari 2012)

Silakan Unduh/Download Kitab Al-Ushul min Ilmil Ushul
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).
(Materi yang Akan dibahas Pada Daurah Uhul Fiqih Makassar bersama Ust Dzulqarnain M. Sunusi, 25-29 Rabiul Awal 1433 H/ 17-21 Februari 2012).
Silakan unduh di tautan berikut :

Tabligh Akbar Cirebon: ISLAMKAH SYIAH? dengan Pemateri: Ust Muhammad Umar As-Sewed & Ust Luqman Baabduh: Ahad 26 Rabiul Awwal 1433 H

Hadirilah Kajian Islamiyah :   
ISLAMKAH SYIAH.?

Pembicara:
1. Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed 
(Penasehat Majalah Asy Syariah: asysyariah.com)
2. Al-Ustadz Luqman Ba’abduh 
(Penasehat Majalah Asy Syariah: asysyariah.com)

Daurah/Kajian Aqidah 7 Hari Semarang: Ust Dzulqarnain M.Sunusi – Ust Ja’far Shaleh – Ustadz Saifuddin Zuhri Lc : Rabiuts Tsani- 2 Jumadil Ula 1433 H / 19-25 Maret 2012


Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh
Dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa ta’ala Kami mengajak kaum muslimin untuk menghadiri kajian aqidah islamiyah secara intensif selama tujuh hari sebagai upaya nyata mensyukuri nikmatnya beragama islam dan sebagai realisasi firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surat Muhammad ayat 19 yang artinya :” Ketahuilah bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah” yang mana dalam ayat ini dengan jelas Allah memerintahkan hambanya untuk memiliki pengetahuan yang detail bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah. Dan juga sebagai upaya meneladani para ulama yang begitu perhatian terhadap masalah aqidah serta upaya membentengi diri dari pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam. Kemudian yang pasti ini adalah sebuah ibadah yang mulia karena merupakan realisasi perintah Allah untuk memperdalam ilmu agama.

Saturday, February 11, 2012

Hukum memakan Al-Jallalah.

Al-jallalah (الجلالة), dengan jim difathah dan lam ditasydid, berasal dari bangunan kata yang menunjukkan makna berlebihan. Dia adalah hewan pemakan tinja, baik dia adalah sapi atau kambing atau onta atau dari jenis unggas seperti ayam, angsa dan selainnya[1].
Ada dua pendapat di kalangan tentang hukum memakannya:
Pendapat pertama: Haram memakannya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad[2] dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah[3]. Mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah r melarang dari memakan jallalah dan meminum susunya.[4]
Hadits ini jelas menunjukkan pengharaman makan daging jallalah karena asal dalam hukum larangan adalah haram.

Bolehnya Tidur Terlentang di Dalam Masjid

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
Boleh Berbaring dengan posisi terlentang di dalam masjid. Berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini:
أنه رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ مُسْتَلْقِيًا وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى
“Bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidur terlentang di dalam masjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas kaki lainnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/446) (10/328) (11/68) dan dalam Al-Adab Al-Mufrad (172), Muslim (6/154), Malik (1/186) serta Abu Daud (2/297) dan An-Nasai (1/118) dari jalannya, Muhammad dalam kitabnya Muwaththa` (398), At-Tirmizi (2/127 -cet. Bulaq), Ad-Darimi (2/282), Ath-Thayalisi (hal. 148 no. 1101), dan Ahmad (4/38, 39, 40) dari beberapa jalan dari Az-Zuhri dia berkata: Abbad bin Tamim mengabarkan kepadaku dari pamannya (Abdullah bin Zaid, pent.) dengan lafazh di atas.
At-Tirmizi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits Abu Hurairah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Fath (11/68)

Bolehnya Membaca Al-Qur`an Dalam Keadaaan Berjalan dan Berbaring

Dalil akan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
“Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring.“ (QS. Ali Imran: 191)
Dan firman Allah Ta’ala:
لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ. وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ.
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian telah duduk di atasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan: Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami hanya kembali kepada Rabb kami.“ (QS. Az-Zukhruf: 13 – 14 )

Thursday, February 9, 2012

Haramnya Musik dan Lagu

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Asykari Hafizhahullah 

Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
 
Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.

Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.

Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan. 

Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia, menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya, menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no. 2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah Ash-Shahihah, 1/322)

Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm rahimahulloh sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.

Oleh karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n, serta perkataan para ulama salaf.

Definisi Musik
Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa yang berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu, maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang tidak senang kepada mereka.

Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ ), dan disebut juga ‘azfun (عَزْفٌ ). Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai alat musik.

Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.
Al-Laits radiallohu anhu, berkata: Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik.” Al-Qurthubi rahimahulloh, meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah  suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahulloh, berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet (sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul Qayyim rahimahulloh berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul Lahafan, 1/260-261)

Mengenal Macam-Macam Alat Musik

Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:

Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah (gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.

Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti qanun dan qitsar (sejenis seruling).

Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.

Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama, atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu

Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim

1. Firman Allah Subhaanahu wata’aala, :
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Ayat Allah Subhaanahu wata’aala, ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:

Abdullah bin ‘Abbas radiallohu anhu, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).

Abdullah bin Mas’ud radiallohu anhu, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)

‘Ikrimah radiallohu anhu,. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
Mujahid bin Jabr radiallohu anhu,. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya shahih).

Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahulloh, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi rahimahulloh menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal. 144)

Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”

2. Firman Allah Subhaanahu wata’aala,:
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm: 59-61)

Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:

Ibnu Abbas radiallohu anhu,. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk Himyar).”  (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)

‘Ikrimah radiallohu anhu. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)

Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan: ‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong, dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas radiallohu anhu, berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’ Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai, luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)

3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud “menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu” adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal tersebut adalah:

Mujahid rahimahulloh, Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)

Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk bermaksiat kepada Allah Subhaanahu wata’aala,. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu wata’aala, telah mengatakan kepada Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya, kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada ketaatan kepada Allah Subhaanahu wata’aala,, maka termasuk dalam makna suara yang Allah Subhaanahu wata’aala, maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul Qayyim rahimahulloh berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)

Dalil-dalil dari As-Sunnah

1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛ فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah Subhaanahu wata’aala, membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata...”1 tidaklah memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh, tidak dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahulloh dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahulloh berkata setelah menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]

Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)

2. Hadits Anas bin Malik radiallohu anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)

Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah radiallohu anhu, dari Abdurrahman bin ‘Auf radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alahi wasallam bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69, dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)

An-Nawawi rahimahulloh berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)

3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas radiallohu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).

Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)

4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radiallohu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah Subhaanahu wata’aala, mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang), dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158, Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)

Atsar dari Ulama Salaf

1. Abdullah bin Mas’ud radiallohu anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)

2. Ishaq bin Thabba` rahimahulloh berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas rahimahulloh tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)

Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”

Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)

3. Al-Imam Al-Auza’i rahimahulloh berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahulloh menulis sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “... Dan engkau yang menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)

4. ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)

5. Ibrahim bin Al-Mundzir rahimahulloh –seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari rahimahulloh – ditanya: “Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah Subhaanahu wata’aala, . Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal. 100)

6. Ibnul Jauzi rahimahulloh berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahulloh mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.

Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal. 283-284)

7. Ibnu Abdil Barr rahimahulloh berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)

8. Ath-Thabari rahimahulloh berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)

9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh, berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari rahimahulloh di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)

Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan perkara ini.

Wallahu a’lam.

 

by blogonol