Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Thursday, June 28, 2012

Umamah Bintu Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anha

Bagaimana takkan bahagia merasakan kasih sayang seorang yang begitu mulia, menjadi panutan seluruh manusia. Kisah buaian sang kakek dalam shalat menyisakan faedah besar bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

Zainab, putri sulung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunting pemuda Quraisy, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi mereka dua orang anak, Umamah dan ‘Ali.

Sepanjang masa kecilnya, Umamah bin Abil ‘Ash benar-benar merasakan kasih sayang sang kakek, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga suatu kali, para shahabat tengah duduk di depan pintu rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau muncul dari pintu rumahnya sembari menggendong Umamah kecil. Beliau shalat sementara Umamah tetap dalam gendongannya. Jika beliau ruku’, beliau letakkan Umamah. Bila beliau bangkit, beliau angkat kembali Umamah. Begitu seterusnya hingga beliau menyelesaikan shalatnya.

Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapatkan hadiah. Di antaranya berupa seuntai kalung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungutnya. “Aku akan memberikan kalung ini pada seseorang yang paling kucintai di antara keluargaku,” kata beliau waktu itu. Para istri beliau pun saling berbisik, yang akan memperoleh kalung itu pastilah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Umamah, sang cucu. Beliau pakaikan kalung itu di leher Umamah. “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku!” kata beliau. Lalu beliau usap kotoran yang ada di hidung Umamah.

Ketika Abul ‘Ash meninggal, dia wasiatkan Umamah pada Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Tahun terus berganti. Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meminang Umamah. Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu pun menikahkan ‘Ali dengan Umamah. Namun dalam pernikahan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang anak pun kepada mereka.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah meminta Al-Mughirah bin Naufal Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi radhiyallahu ‘anhu agar bersedia menikah dengan Umamah bila dia telah wafat. ‘Ali pun berpesan pula kepada Umamah, bila dia meninggal nanti, dia ridha jika Umamah menikah dengan Al-Mughirah.

Subuh hari, 17 Ramadhan, 40 tahun setelah hijrah. Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan Umamah harus berpisah dengan suaminya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, terbunuh oleh seorang Khawarij bernama ‘Abdurrahman ibnu Muljam dengan tikaman pedangnya.

Selesai masa iddahnya, Umamah mendapatkan pinangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma. Umamah pun segera mengutus seseorang untuk memberitahukan hal ini kepada Al-Mughirah bin Naufal. “Kalau engkau mau, kau serahkan urusan ini padaku,” jawab Al-Mughirah. Umamah pun mengiyakan. Lalu Al-Mughirah meminang Umamah pada Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma yang kemudian menikahkan Al-Mughirah dengan Umamah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan pada mereka seorang anak, Yahya ibnul Mughirah namanya. Namun tidak lama hidup bersisian dengan Al-Mughirah, Umamah bintu Abil ’Ash meninggal di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma.

Umamah bintu Abil ‘Ash, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.



Wednesday, June 27, 2012

Ilmu Bejana

Buletin mungil Al-Atsariyyah kali ini akan menurunkan tulisan tentang "Ilmu Bejana", namun ilmu ini tidak ada kaitannya dengan ilmu kimia !! Tapi dia adalah ilmu yang berkaitan dengan dunia dan akhirat seseorang. Ilmu bejana adalah ilmu yang amat urgen alias penting di zaman ini, sebab seseorang mesti butuh kepada bejana untuk makanan dan minuman yang mereka butuhkan. Ibu rumah tangga, butuh bejana; Penjual bakso dan warung-warung makanan, butuh bejana; keluarga ketika ingin mandi, butuh bejana; seorang muslim yang mau sholat, butuh bejana wudhu’. Pokoknya, semua orang butuh bejana. Tanpa bejana, maka seorang akan kesusahan untuk melakukan aktifitas hariannya. 

Lantas apa itu bejana ? Bejana adalah wadah yang digunakan untuk menyimpan dan meletakkan makanan dan minuman berupa piring, gelas, cerek, ember, baskom, timba, lesung, dan lainnya; entah ia terbuat dari besi, tembaga, kaca, kayu, kulit binatang, dan segala sesuatu yang cocok untuk dijadikan wadah, sekalipun ia mahal, seperti permata-permata berharga, dan zamrud. [Lihat Taudhih Al-Ahkam (1/121) karya Syaikh Al-Bassam] 

Bejana –pada asalnya- boleh dan halal kita gunakan berdasar firman Allah -Ta’ala-,
  "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS.Al-Baqoroh:29). 

Firman Allah ini adalah prinsip yang agung; menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan ini berupa kebiasaan, mu’amalah, produksi, dan discovery (penemuan baru), dan segala sesuatu yang sering digunakan berupa pakaian, kasur, karpet, bejana, dan lainnya; Semua ini pada asalnya adalah mubah secara muthlaq. Barang siapa yang mengharamkan sesuatu dari hal-hal itu –sedang Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkannya-, maka ia adalah ahli bid’ah (orang yang mengada-ada dalam agama Allah sesuatu yang tidak ada tuntunannya). Jadi, bejana -misalnya- tidak boleh kita haramkan, kecuali Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, yaitu bejana emas, dan perak sebagaimana yang akan datang penjelasannya, insya’ Allah -Ta’ala- . Jika seseorang mau mengharamkannya, maka harus ada dalilnya. Berbeda dengan ibadah, maka hukum asalnya semua ibadah haram dilakukan, kecuali ada dalilnya. [Lihat As-Sail Al-Jarror (3/277), Asy-Syarh Al-Mumti' (1/56-57), dan Taudhih Al-Ahkam (1/121)] 

Dari naungan cahaya penjelasan tadi, maka kita telah mengetahui bahwa bejana-bejana yang suci boleh digunakan seluruhnya, kecuali bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak, maka bejana ini secara khusus haram digunakan untuk makan dan minum. Adapun selain makan dan minum, maka bejana emas dan perak itu boleh digunakan, seperti dijadikan perhiasan bagi wanita, tempat celak, dan lainnya.
  • Haramnya Emas dan Sutra bagi Kaum Lelaki !!
Namun tentunya haram bagi kaum lelaki untuk memakai emas berdasar hadits Ali bin Tholib -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengambil sutra dengan tangan kirinya, dan emas dengan tangan kanannya. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dengan (memegang) keduanya seraya bersabda,
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ حِلٌّ لِإِنَاثِهِمْ
"Sesungguhnya keduanya (sutra dan emas) adalah haram bagi kaum laki-laki ummatku; halal bagi wanitanya" . [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/96/no. 750), Abu Dawud dalam As-Sunan (4057), An-Nasa'iy dalam As-Sunan (5144-5147), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan (3595). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Takhrij Al-Misykah (4394)] 

Muhaddits Negeri India, Syaikh Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy-rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, "Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama’ yang menyatakan pengharaman sutra, dan emas bagi laki-laki, dan penghalalan keduanya bagi wanita". [Lihat Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud (11/73)] 

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniyAl-Atsariy-rahimahullah- berkata, "Emas bagi wanita adalah halal, kecuali bejana emas, dan perak, maka mereka sama dengan kaum laki-laki dalam pengharaman emas dan perak (bagi mereka dalam hal itu)".[Lihat As-Silsilah Ash-Shohihah (4/481), cet. Maktabah Al-Ma'arif ] 

Jadi, memakai emas bagi kaum laki-laki adalah haram hukumnya. Karenanya, kami sesalkan adanya sebagian kaum laki-laki yang minim ilmu agamanya dengan bangga ia memakai dan memamerkan cincin emas yang melingkar di jarinya. Padahal memakai emas bagi kaum laki-laki adalah haram !!
  • Haramnya Bejana Emas dan Perak bagi Wanita & Pria
Sekalipun bejana –pada asalnya- adalah mubah dan halal digunakan, namun perlu diketahui bahwa disana ada bejana yang haram digunakan oleh kaum pria dan wanita, yaitu bejana emas, dan perak. Bejana ini haram bagi mereka jika digunakan untuk makan, dan minum. Khusus laki-laki, memakai emas adalah haram bagi mereka sebagaimana telah berlalu penjelasannya. 

Di antara dalil yang mengharamkan bejana emas bagi pria dan wanita, sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
وَلَا تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِيْ الدُّنْيَا وَلَنَا فِيْ الآخِرَةِ
"Janganlah kalian minum pada bejana emas, dan perak, dan jangan makan pada keduanya, karena itu adalah bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kita di akhirat". [HR. Al-Bukhoriy (5110) dan Muslim (2067)] 

Al-Imam Muhammad bin Isma’il Ash-Shon’aniy-rahimahullah- berkata, "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan pengharaman makan dan minum pada bejana emas dan perak serta piring-piring emas dan perak; sama saja bejana itu adalah emas murni ataukah bercampur dengan perak, karena ia dicakup oleh istilah bejana emas dan perak". [Lihat Subul As-Salam Al-Mushilah ilaa Bulugh Al-Maram (1/135), tahqiq Muhammad Shubhiy Hasan Hallaq, cet. Dar Ibnil Jauziy]

Dalam sebuah hadits, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الَّذِيْ يَشْرَبُ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ
"Orang yang minum pada bejana perak hanyalah meneguk api neraka dalam perutnya". [HR. Al-Bukhoriy (5311), Muslim (2065), dan Ibnu Majah (3413)] 

Sejumlah ulama’, seperti Al-Wazir Ibnu Hubairoh, dan Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan) para ulama’ tentang haramnya seseorang makan dan minum pada bejana yang terbuat dari emas dan perak. [Lihat Al-Ifshoh 'an Ma'ani Ash-Shihhah (1/83) cet. Markaz Fajr, dan Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab (1/249-250), cet. Dar Al-Fikr]

Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa pengharaman bejana emas dan perak, bukan Cuma ketika digunakan sebagai wadah untuk makan dan minum, bahkan mencakup segala bentuk penggunaan. Lebih dari itu, ada diantara ulama’ yang mengharamkan seseorang untuk mengambil (seperti, membeli, menyimpan, dan lainnya). Namun pendapat-pendapat ini tentunya lemah !!! 

Ulama’ Negeri Yaman, Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata dalam membantah pendapat ini, "Tak ragu lagi, semua hadits-hadits yang ada dalam bab ini menunjukkan pengharaman makan dan minum (pada bejana emas dan perak)!! Adapun penggunaan-penggunaan lain, maka tidak demikian!!! Penganalogian makan dan minum (dengan yang lainnya) adalah qiyas ma’al fariq (analogi batil), karena sebab adanya larangan makan dan minum (pada bejana emas & perak) adalah menyerupai penduduk surga, sebab akan digilirkan pada mereka bejana perak, dan piring emas. Itu adalah sebab hukum yang dipandang dalam syari’at…Walhasil, pada asalnya adalah halal. Maka tak akan tetap keharamannya, kecuali berdasarkan dalil yang bisa diterima oleh lawan. Sedangkan tak ada dalil dalam permasalahan ini dengan gambaran seperti ini. Berpijak pada prinsip (halal) yang dikuatkan oleh al-baro’ah al-ashliyyah (pada asalnya boleh) adalah tugas seorang yang adil yang tidak goyah karena wibawa jumhur". [Lihat Nail Al-Author min Asror Muntaqo Al-Akhbar (1/121-122)] 

Jadi, yang haram adalah menjadikan emas dan perak sebagai wadah untuk makan, dan minum. Adapun penggunaan emas dan perak pada selain hal itu, maka boleh. Khusus laki-laki, memakai emas adalah haram bagi mereka sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Ini diperkuat oleh hadits-hadits yang ada.
Adapun memakai perak untuk selain makan dan minum, seperti menjadikannya tempat rambut, celak, dan lainnya; atau dijadikan cincin, maka ini boleh. Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَرَادَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى بَعْضِ الْأَعَاجَمِ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهُمْ لَايَقْرَءُوْنَ كِتَابًا إِلَّا بِخَاتَمٍ فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ وَنَقَشَ فِيْهِ : مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
"Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ingin menulis surat kepada sebagian orang-orang ajam. Lalu beliau diberitahu bahwa mereka tak mau membaca suatu surat, kecuali (dibubuhi) dengan stempel. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengambil (membuat) cincin dari perak, dan mengukir padanya, "Muhammad Rasulullah". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Libas (5537), dan Abu Dawud dalam Kitab Al-Khotam (4214)] 

Utsman bin Abdullah bin Mauhab berkata,
أَرْسَلَنِيْ أَهْلِيْ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ مِنْ فِضَّةٍ فِيْهِ شَعْرٌ مِنْ شَعْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Keluargaku telah mengutusku kepada Ummu Salamah membawa sebuah gelas perak berisi air. Di dalamnya terdapat rambut diantara rambut-rambut Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-". [HR. Al-Bukhoriy (5557)] 

Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy , "Sungguh sekelompok ulama’ telah membolehkan untuk menggunakan bejana perak yang kecil untuk selain makan dan minum". [Lihat Fath Al-Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (10/353)]
  • Menutup Bejana Ketika Malam Tiba
Bejana yang kita pakai untuk menyimpan air dan makanan, hendaknya ditutup sambil membaca nama Allah (yakni, membaca bismillah), demi menjaga makanan dari kotoran binatang, dan penyakit yang turun pada sebagian malam. 

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا اسْتَنْجَحَ اللَّيْلُ أَوْ كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ فَكُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ تَنْتَشِرُ حِيْنَئِذٍ فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةً مِنَ الْعِشَاءِ فَخَلُّوْهُمْ وَأَغْلِقْ بَابَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ وَأَطْفِئْ مِصْبَاحَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ وَأَوْكِ سِقَاءَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ وَخَمِّرْ إِنَاءَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ وَلَوْ تَعْرِضُ عَلَيْهِ شَيْئًا
"Jika malam mulai gelap, maka tahanlah anak-anak kecilmu, karena setan bertebaran ketika itu. Jika waktu Isya’ telah lewat, maka lepaskan mereka, tutuplah pintumu, dan sebutlah nama Allah (baca bismillah); matikan lampu, dan sebut nama Allah (baca bismillah); ikat (tutup) botol minumanmu, dan sebut nama Allah (baca bismillah); tutuplah bejana-bejanamu, dan sebut nama Allah (baca bismillah), walaupun engkau membentangkan sesuatu di atasnya". [HR. Al-Bukhoriy (3106), Muslim (2012), dan Abu Dawud (3731)] 

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam riwayat lain,
غَطُّوْا الْإِنَاءَ وَأَوْكُوْا السِّقاَءَ فَإِنَّ فِيْ السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيْهَا وَبَاءٌ لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٌ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلَّا نَزَلَ فِيْهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ
"Tutuplah bejana, ikatlah botol air, karena dalam setahun ada suatu malam, wabah (penyakit) turun padanya. Wabah itu tidak lewat pada suatu bejana yang tak ada penutup padanya atau botol air yang tak ada ikatan padanya, kecuali akan turun sebagian wabah itu padanya". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2014)] 

Inilah ilmu dan petunjuk Nabi kita -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang bejana. Seyogyanya kita pelihara, dan jaga dalam amalan kita. Ilmu ini banyak dilalaikan orang pada zaman kita, padahal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkannya sejak 14 abad yang silam !!! Ilmu syar’i ini mengandung kemaslahatan yang tinggi, sebab ia berkaitan dengan kebersihan, keselamatan, kesehatan, dan ketaatan yang mendatangkan kebaikan dunia, dan akhirat. 

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 64 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) 

Sumber Nukilan : http://almakassari.com

Shalat Tanpa Penutup Kepala

Sholat bukanlah permainan, tapi ia adalah tanda ketundukan, keseriusan, ketawadhuan, dan kerendahan diri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Seyogyanya seorang hamba saat ia menghadap, ia mengenakan pakaian yang layak digunakan; jangan asal-asalan dalam melaksanakan sholat !! Pilihlah pakaian yang layak, sebab sebagian orang ada yang tidak memperhatikan pakaian dan kondisi dirinya, seperti ia masuk ke dalam sholat, tanpa mengenakan penutup kepala, semisal surban, songkok, dan lainnya. Seakan-akan ia adalah seorang pekerja kuli yang mengenakan pakaian seadanya, padahal ia menghadap Allah Robbul Alamin. 

Allah -Ta’ala- berfirman,
"Hai anak Adam, pakailah perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf: 31). 

Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga (dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta (menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang paling utama adalah pakaian putih". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/281)] 

Diantara perhiasan seorang mukmin adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah (surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka ini adalah kebiasaan orang di luar Islam. 

Amr bin Huroits -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ
"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1104 & 3584)] 

Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,
كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ
"Dahulu kaum itu (para sahabat) bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr (1/150) secara mu'allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf (1566)] 

Abdullah bin Sa’id-rahimahullah- berkata,
رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً
"Aku lihat pada Ali bin Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (24855)] 

Inilah beberapa hadits dan atsar yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi Islam, hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !! Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin, dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar, dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan

Jadi, disunnahkan bagi setiap orang yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah (sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah. Boleh melakukan shalat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun tentunya jangan dijadikan kebiasaan seorang masuk ke dalam sholat ataupun di luar sholat tanpa mengenakan surban atau songkok. 

Seorang yang tidak memakai penutup kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah. [Lihat As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy]. 

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ
"Jika salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma'aani Al-Atsar (1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi di dalamAs-Sunan Al-Kubra (2/236) dengan sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalamAl-Majma' Az-Zawa'id (2/51). Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1369] 

Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala. 

Adapun argumentasi yang membolehkan membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya. 

Seandainya kias yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [Lihat Tamamul Minnah fit Ta'liq 'ala Fiqhis Sunnah (hal. 164-165)]. 

Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah ketika shalat -selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. [Lihat Ad-Dinul Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi'ah an Al-Masa'il Al-Waqi'ah (hal.110)] 

Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, dan sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’ (2/51). 

Anggapan orang awam bahwa menjadi makmum di belakang imam yang tidak memakai tutup kepala adalah tidak boleh. Ini adalah tidak benar. Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan shalat, dan mengikuti semua sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 75 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)


 

Monday, June 25, 2012

Tabligh Akbar Bone (Sul-Sel) selama 2 Hari Bersama : Ust. Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari Hafizhahullah


Hadirilah, dengan mengharap Ridha Allah Ta'ala
Tabligh Akbar Bone (Sul-Sel) selama 2 Hari
Bersama :
Al-Ustadz Abu Abdillah As-Sarbini Al-Makassari Hafizhahullah

Hari Pertama :
Sabtu, 24 Sya'ban 1433 H / 14 Juli 2012 M
Pukul : 09.00 - 15.00 Wita
Tema : "Hukum-hukum Seputar Bulan Ramadhan"

Hari Kedua :
Ahad, 25 Sya'ban 1433 H / 15 Juli 2012 M
Pukul : 09.00 - 15.00 Wita
Tema : "Nasehat Untuk Para Penuntut Ilmu dan Kokoh Di Atas Sunnah"

Tempat :
di Masjid Nurul Islam (Jl. Jenderal Sudirman Depan PLN Kab. Bone)
Informasi :
082187920003
081355292277


Tabligh Akbar Balikpapan 12 Sya'ban 1433 H / 02 Juli 2012 bersama Syaikh Abdullah Al-Mar'ie hafizhahullah

Hadirilah...Tabligh Akbar 
Bersama : 
Asy-Syaikh Abdullah Bin Umar Al-Mar'ie Al-Adeni hafizhahullah
(Ulama Ahlussunnah Asal Hadramaut, Yaman)

Dengan Tema :
"INDAHNYA ISLAM"
(Terjemah : Al-Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah)

InsyaAllah dilaksanakan pada :
Hari SENIN, 12 Sya'ban 1433 H / 02 Juli 2012
Pukul : 18.30 s/d 21.00 WITA
Tempat : Masjid Besar Al-Ula (Kampung barat) Balikpapan

Penyelenggara :
Pon-Pes Ibnul Qoyyim balikpapan
Info kontak : 
0542-861712 / 081350178107
InsyaAllah disiarkan langsung di www.salafybpp.com

Sunday, June 24, 2012

Download Rekaman Dauroh Bantul Bersama Masyaikh Ahlussunnah Wal Jama’ah 1433 H / 2012 M



1. Pembukaan oleh Pemerintah, Al Ustadz Ayip Syafrudin & Asy Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri : Download file

2. Asy Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdillah Al-Jabiri (Penerjemah Al-Ustadz Ruwaifi’ Lc.) – Tingkatan Dalam Memerangi Jiwa (Sesi 1) : Download File

3. Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri (Penerjemah Al-Ustadz Usamah Mahri Lc.) – Pembatal-Pembatal Keislaman (Sesi 1) : Download File

4. Asy-Syaikh Muhammad Ghalib Al-’Umari (Penerjemah Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc.) – Buah Dari Berpegang Teguh Diatas Sunnah (Sesi 1) : Download File

5. Asy Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri (Terjemah Ust.Qomar Suaidi) – Pembatal-Pembatal Keislaman (Sesi 2) : Download File

6. Asy Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdillah Al Jabiri (Terjemah Ust.Usamah Mahri) – Tingkatan Dalam Memerangi Jiwa (Sesi 2) : Download File

7. Asy Syaikh Muhammad Ghalib Al ‘Umari (Terjemah Ust.Ruwaifi) – Buah Dari Berpegang Teguh Diatas Sunnah (Sesi 2) : Download File

8. Asy Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh Zhafiri (Terjemah Ust.Usamah Mahri) – Tuntunan Puasa Ramadhan (Sesi 1) : Download File

9. Asy Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh Zhafiri (Terjemah Ust.Usamah Mahri) – Tuntunan Puasa Ramadhan (Sesi 2) : Download File




Thursday, June 21, 2012

Nakhoda Dalam Bahteraku

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Al-Atsariyyah)

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum pria) di atas sebagian yang lain (kaum wanita) dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka…” (An-Nisa: 34)

Demikian indahnya tuturan kalam Ilahi di atas menetapkan tatanan hidup yang pasti mengantarkan kepada kebahagiaan. Namun manusia yang durjana ingin mengubah keindahan tatanan tersebut. Akibatnya musibah datang silih berganti dan malapetaka semakin meluas. Wanita yang seharusnya tunduk di bawah kepemimpinan pria menjadi sebaliknya, ia yang memimpin. Padahal Rasul yang mulia r jauh sebelumnya telah berpesan dalam sabdanya yang agung :
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (Shahih, HR. Al-Al-Bukhari no. 4425)

Pembaca yang mulia…
Kita tahu setiap rumah tangga butuh seorang pemimpin untuk mengatur keperluan rumah tersebut berikut penghuninya dan ia bertanggung jawab atas seluruh penghuni rumah. Karena begitu besar perannya maka ia harus didengar dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah I. Dan dengan hikmah-Nya yang agung, Allah I memilih pria untuk menjadi pemimpin tersebut!
“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (An-Nisa: 34)

Al-Imam Ath-Thabari t berkata menafsirkan ayat di atas: “Kaum pria merupakan pemimpin bagi para wanita dalam mendidik dan membimbing mereka untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan kepada suami-suami mereka. Karena Allah telah melebihkan kaum pria di atas istri-istri mereka dalam hal pemberian mahar dan infak (belanja) dari harta mereka guna mencukupi kebutuhan keluarga. Hal itu merupakan keutamaan Allah tabaraka wa ta’ala kepada kaum pria hingga pantaslah mereka menjadi pemimpin kaum wanita…”

Kemudian Al-Imam Ath-Thabari t menukilkan tafsiran Ibnu ‘Abbas c terhadap ayat di atas: “Pria (suami) merupakan pemimpin wanita (istri) agar wanita itu menaatinya dalam perkara yang Allah perintahkan dan menaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya dan menjaga hartanya. Bila si istri enggan untuk taat kepada Allah, boleh bagi suami untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak memberi cacat…”
Ibnu ‘Abbas juga menyatakan bahwa pria lebih utama dari wanita dengan nafkah yang diberikannya dan usahanya. (Lihat Tafsir Ath-Thabari, 5/57-58)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata setelah membawakan ayat ini dalam tafsir beliau: “Pria memimpin wanita dengan mengharuskan mereka menunaikan hak-hak Allah I seperti menjaga apa yang diwajibkan Allah dan mencegah mereka dari kerusakan. Mereka juga memimpin kaum wanita dengan memberi belanja/nafkah, memberi pakaian dan tempat tinggal.” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Al-Kalamin Mannan hal. 177)

Dari ayat Allah I yang telah lewat, dapatlah dipahami bahwa pria dijadikan pemimpin bagi wanita karena dua perkara:

Pertama, 
Allah telah melebihkan pria atas wanita dari berbagai sisi di antaranya pria secara khusus diberi wewenang untuk memimpin negara, sementara bila ada wanita yang memimpin negara maka ditujukan kepadanya sabda Nabi r:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Demikian pula dalam masalah kenabian dan kerasulan, khusus diangkat dari kalangan pria sebagaimana firman-Nya:
“Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelummu (wahai Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka.” (Al-Anbiya: 7)

Allah I mengkhususkan kaum pria dalam banyak ibadah seperti jihad, shalat Jum’at dan lainnya. Demikian pula Allah anugerahkan kepada mereka akal yang kuat, kesabaran dan keteguhan hati yang tidak dimiliki oleh wanita. (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Al-Kalamin Mannan hal. 177)

Kedua, 
Allah membebankan kepada pria (suami) untuk menafkahi istrinya.
Ibnu Katsir t ketika menafsirkan firman Allah I:
“…dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka…” (An-Nisa: 34)

Beliau menyatakan: (Harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan pada mereka seperti yang tersebut  dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya r. Maka pria lebih utama dari wanita dan ia memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita karena itu ia pantas menjadi pemimpin bagi wanita sebagaimana Allah I berfirman:
“Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri.” (Al-Baqarah: 228)

Ketika menafsirkan ayat di atas, beliau t menyatakan: “Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri yaitu dalam keutamaan, dalam penciptaan, tabiat, kedudukan, keharusan menaati perintahnya (yakni istri harus taat kepada suaminya selama tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah I), dalam memberikan infak/belanja…” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/278)

Nabi r dalam sabda-sabdanya juga banyak menyinggung kelebihan pria atau suami dibanding wanita. Di antaranya bisa kita baca berikut ini:
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi, dan dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 926: hasan shahih)

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Rabbnya hingga ia menunaikan hak suaminya seluruhnya. Sampai-sampai seandainya suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara dia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) dia tidak boleh menolaknya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa`ul Ghalil no. 1998)

Istri yang menolak ajakan senggama dari suaminya diancam oleh Rasulullah r dengan sabda beliau:
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no.1436)
Dalam riwayat Muslim (no. 1436):
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha padanya.”

Nabi r bersabda ketika ditanya kriteria istri yang baik:
“Istri yang menyenangkan ketika dipandang oleh suaminya, taat kepada suaminya ketika diperintah dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara yang tidak disukai suaminya baik dalam dirinya maupun harta suaminya.” (HR. Ahmad. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 3398, Al-Misykat no. 3272 dan Ash-Shahihah no. 1838)

Seorang istri tidak diperkenankan puasa sunnah ketika suaminya berada di rumah kecuali setelah mendapat izin darinya, sebagaimana sabda Nabi r:
“Tidak boleh seorang istri puasa sunnah sementara suaminya ada di rumah kecuali setelah mendapat izin dari suaminya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

Seorang istri diperkenankan keluar rumah untuk shalat di masjid bila telah mendapatkan izin suaminya. Nabi r menuntunkan:
“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)

Dari beberapa dalil yang telah disebutkan jelaslah bagaimana tingginya kedudukan seorang suami. Semua itu menunjukkan bahwa suamilah yang berhak memimpin keluarganya. Dialah yang pantas sebagai nahkoda bagi sebuah bahtera yang ingin pelayarannya berakhir dengan selamat ke tempat tujuan. Inilah pembagian Allah I yang Maha Adil, maka tidak pantas seorang hamba yang menaati-Nya untuk memprotes ketetapan-Nya. Bukankah Dia Yang Maha Tinggi telah berfirman:
“Dan janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Karena itu mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 32)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.


Wednesday, June 20, 2012

Keutamaan Bulan Sya'ban

Oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed Hafizhahullah

Masalah keutamaan bulan Sya’ban telah diriwayatkan dalam beberapa hadits, di antaranya dalam Shahih Muslim dari ‘Aisyah رضي الله عنها. Beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يَصُوْمُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطْ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامً فِي شَعْبَانَ. (رواه مسلم)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa hingga kami mengatakan beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah berbuka, dan beliau berbuka hingga kami mengatakan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah puasa. Namun Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah berpuasa sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat satu bulan yang paling banyak beliau berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها ditanya tentang puasa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Beliau رضي الله عنها menjawab:
كَانَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ صَامَ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ أَفْطَرَ وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطْ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً. (رواه مسلم)
Beliau صلى الله عليه وسلم berpuasa hingga kami mengatakan beliau selalu berpuas. Dan beliau tidak berpuasa sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat beliau berpuasa yang paling banyak seperti di bulan Sya’ban. Beliau صلى الله عليه وسلم berpuasa hampir seluruhnya. Beliau berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya kecuali sedikit.” (HR. Muslim)

Bid’ah-bid’ah pada Bulan Sya’ban

1. Bid’ah Shalat Bara’ah/Alfiyyah
Imam Al-Fatani رحمه الله berkata dalam kitabnya Tadzkiratul Maudhu’at: “Di antara hal-hal yang diadakan manusia pada malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) adalah shalat alfiyah (shalat seribu raka’at). Seratus raka’at dikerjakan sendiri dan sepuluh raka’at-sepuluh raka’at berikutnya dilakukan secara berjama’ah. Mereka membesar-besarkan malam nishfu Sya’ban melebihi hari Jum’at dan hari raya. Padahal tidak diriwayatkan satu dalil pun dari hadits atau ucapan para shahabat, kecuali dha’if atau maudhu’. Maka janganlah terpedaya dengan disebutkannya perayaan nishfu Sya’ban dalam kitab Quutul Quulub, Al-Ihya’ dan lain-lain.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 144)

Al-Iraqi رحمه الله berkata: “Hadits tentang shalat di malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits batil. Bahkan Ibnul Jauzi رحمه الله memasukkannya ke dalam hadits-hadits maudhu’ (palsu).”

2. Dzikir dan Shalat Khusus pada Malam Nishfu Sya’ban
Adapun dzikir dan shalat khusus pada malam nishfu Sya’ban tidak disunnahkan dan tidak diriwayatkan dalam satu hadits pun yang shahih.
Adapun riwayat yang berbunyi:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. (رواه ابن ماجه)
“Jika datang malam pertengahan di bulan Sya’ban, maka shalatlah pada malamnya dan berpuasalah dia siang harinya.” (HR. Ibnu Majah dari ‘Ali رضي الله عنه)

Hadits ini disebutkan dalam catatan kakinya: “Sanadnya dha’if, karena kelemahan rawi yang bernama Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan bahwa dia memalsukan hadits.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)

Syaikh Al-Albani رحمه الله menyebutkan hadits di atas palsu (maudhu’) dalam Dha’if Ibnu Majah, 1/294. (pent.)

Berkata Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi: Adapun shalat enam raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan niat tolak bala, memanjangkan umur, mencukupkan diri dari manusia; demikian pula membaca surat Yasin dan do’a di antara shalat tersebut tidak ragu lagi yang demikian adalah perkara baru (muhdats) dalam agama dan menyelisihi sunnah sayyidul mursalin. (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)

Berkata pensyarah kitab Al-Ihya’: “Shalat yang demikian (yakni 6 raka’at pada malam nishfu Sya’ban) sangat terkenal dalam kitab-kitab belakangan dari kitab-kitab sufi. Padahal aku tidak pernah melihat adanya sandaran yang shahih dari sunnah dalam masalah tersebut, demikian pula dalam masalah dzikir-dzikirnya.”

Berkata An-Najm Al-Ghaiti tentang menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berjama’ah: “Yang demikian diingkari oleh kebanyakan para ulama dari penduduk Hijaz seperti Atha’ ibnu Abi Rabah, Ibnu Abi Malikah dan lain-lain. Demikian pula fuqaha Madinah dan para pengikut Imam Malik. Mereka semua berkata: “Perkara tersebut semuanya bid’ah, tidak disebutkan dalam masalah menghidupkan malam nishfu Sya’ban sedikit pun dari hadits Nabi صلى الله عليه وسلم dan tidak pula dari para shahabatnya.”

Imam Nawawi رحمه الله berkata: “Shalat Rajab dan Sya’ban kedua-duanya adalah bid’ah yang mungkar dan jelek.” (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 145)

3. Do’a Yaa Dzal Manni
Demikian pula bid’ahnya doa khusus pada malam nishfu Sya’ban yang berbunyi:
اللّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلاَ يَمن عَلَيْهِ يَا ذَا لْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ
Ya Allah, wahai pemilik segala pemberian dan tidak pernah membutuhkan pemberian. Wahai Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi….
Telah diisyaratkan dalam ucapan pensyarah kitab Al-Ihya’ bahwa do’a tersebut tidak ada asalnya dan tidak ada sandarannya.

Demikian pula dikatakan oleh penulis kitab Asnal-Mathalib, bahwa doa itu disusun oleh beberapa orang shalih dari dirinya sendiri. Dikatakan dia adalah Al-Buni.

Tentunya walaupun kita boleh berdoa dengan apa pun yang kita minta kepada Allah, namun tidak boleh mengkhususkan satu doa untuk tanggal tertentu, bulan tertentu tanpa dalil dari hadits-hadits yang shahih.
Maka wahai hamba Allah, jika satu ibadah tidak diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak pula dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sunnah, bahkan tidak pula oleh para khalifah-khalifahnya dan seluruh para shahabatnya, maka janganlah kita beribadah dengannya.

Dalam Musnad Imam Syafi’i رحمه الله diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengucapkan talbiyah dengan kalimat:
لَبَّيْكَ إِلَهَ الْحَقّ لَبَّيْكَ
Dalam riwayat lain:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
Kemudian diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqash mendengar beberapa orang dari kaum kerabatnya membaca talbiyah:
يَا ذَا الْمَعَارِجِ
Maka Sa’ad bin Abi Waqash berkata:
إِنَّهُ لَذُوْ الْمَعَارِجِ، وَمَا هَكَذَا كُنَّا نَلْبِي عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Memang benar bahwa Allah memiliki Ma’arij, tetapi tidak demikian kita diajarkan talbiyah pada zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم.”
Atsar ini menunjukkan betapa besar kehati-hatian para shahabat dalam beribadah. Tidak berani merubah kalimat-kalimat apalagi menambahinya. Ketika mendengar sebagian kaum muslimin mengucapkannya dengan kalimat yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم -walaupun secara makna benar- mereka menegurnya, seperti apa yang dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash di atas.

Nishfu Sya’ban bukan Lailatul Qadar

Berkata Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi: Adapun pendapat yang mengatakan bahwa malam nishfu Sya’ban adalah malam lailatul qadar, maka itu adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan para ulama dari kalangan ahlul hadits dan para peneliti hadits.

Imam Ibnu Katsir رحمه الله juga menyatakan batilnya pendapat ini dalam tafsir beliau.
Imam Ibnul Arabi رحمه الله juga menyatakan -ketika mensyarah hadits Tirmidzi-: Telah disebutkan oleh sebagian penafsir bahwa ayat:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. (القدر: ١)
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar.” (Al-Qadr: 1)

Bahwa yang dimaksud adalah malam nishfu Sya’ban.
Ini adalah pendapat batil, karena Allah tidak menurunkan Al-Qur’an pada bulan Sya’ban. Hanya saja Allah سبحانه وتعالى katakan: “Kami turunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar.” Sedangkan malam lailatul qadar adalah pada bulan Ramadhan sebagaimana Allah katakan dalam ayat lain:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدى وَالْفُرْقَانِ… (البقرة: ١٨٥)
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan dan bathil)” (Al-Baqarah: 185) (As-Sunan wal Mubtada’at, hal. 146)

Berarti pendapat ini adalah pendapat yang menentang Al-Qur’an dan pendapat orang yang tidak mengerti apa yang dibicarakan di dalamnya.
Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi رحمه الله berkata:
Maka aku peringatkan kalian dari kebid’ahan ini, karena sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى juga menyatakan:
فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. (الدخان: ٤)
“Padanya diputuskan segala perkara-perkara dengan bijak.” (Ad-Dukhan: 4)

Ayat ini menerangkan tentang malam lailatul qadar yang diberkahi yang padanya diputuskan perkara-perkara taqdir dengan adil. Dan ini bukan terjadi pada malam nishfu Sya’ban.
Wallahu ‘alam

Catatan:
Perkataan-perkataan para ulama di atas dinukil dari kitab As-Sunan wal Mubtada’at oleh Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi, hal. 144-146; kitab ini ditaqdim oleh Muhammad Khalil Harras)

(Sumber: Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 114/Th. III/16 Rajab 1427H/11 Agustus 2006M, hal. 1-4. Judul: Keutamaan Bulan Sya’ban. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. Telp. (0231)222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu ‘Abdirrahman Arief Subekti, HP 081564690956. Dinukil untuk http://akhwat.web.id)

Sumber Nukilan : http://akhwat.web.id 

Tuesday, June 19, 2012

Download Dauroh Sengkang "Syarah Mandhumah Al-Haaiyyah" oleh ustadz Asykari hafizhahullah

Download Kitab Syarah Mandhumah Al-Haaiyyah (file *pdf)

- Hari Pertama 12 Rajab 1433 H / 2 Juni 2012 M

- Hari Kedua 13 Rajab 1433 H / 3 Juni 2012 M




Monday, June 18, 2012

Jangan Lupakan Adab Ketika Bercanda

Oleh : Redaksi Buletin Jum?at Al-Atsariyyah

Bercanda merupakan salah satu hal yang digemari masyakat Indonesia, baik itu anak-anak maupun orang tua;laki-laki maupun wanita; penarik becak maupun pedagang; pelajar maupun pegawai. Pokoknya segala lapisan gemar canda.

Saking tersebarnya kegemaran dan hobbi canda ini di masyarakat Indonesia Raya, sampai dijadikan propesi oleh sebagian orang. Nah, muncullah disana badut- badut, grup-grup lawak dan banyolan, ludruk, kelompok musik humoris, pantomin, film-film humoris, promosi dan media massa yang dihiasi dengan humor.Bukan Cuma lewat media audio-visual, bahkan juga lewat karya tulis, dan buku-buku. Lebih ironisnya lagi kegemaran bercanda ini digunakan oleh sebagian kiai dan ustadz untuk menarik massa, pemanis retorika dalam berceramah dan berkhutbah sehingga menjadi ciri khas bagi dirinya. Tak heran jika disana ada sebagian pelawak dan artis jadi ustadz.

Para Pembaca yang budiman, disana terdapat beberapa canda yang diharamkan, karena melampaui batas syari?at, seperti berikut ini:

* Menyinggung Allah, Rasul-Nya, dan Syari?at-Nya.
Diantara musibah terbesar yang banyak melanda umat manusia, dari dulu sampai sekarang. Yaitu menghina dan menyinggung Allah, para Rasul-Nya, dan syari?at yang dibawa oleh mereka karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.

Allah berfirman,

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ

"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin dari kaumnya:"Kami tidak melihat kamu , melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang yang hina-dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apapun atas kami. Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (QS. Huud : 27)

Ejekan seperti ini, sama dengan ejekan dan ocehan sebagian orang yang biasa mengejek orang-orang yang belajar agama seraya berkata, "Tak ada gunanya kamu belajar agama. Coba lihat orang yang belajar, tak ada di antara mereka yang kaya,semuanya kere dan miskin. Modelnya juga kayak orang kampungan dan bodoh-bodoh".

Parahnya lagi, ketika mereka diajak melaksanakan sunnah Rasul r seperti memanjangkan jenggot sesuai perintah Nabi r , mereka ngomel, "Wah, ngapain panjangkan jenggot, mirip orang tua aja. Lagian jorok dan ketinggalan zaman". Si miskin ini tak tahu, jika ia mencela masalah jenggot termasuk celaan terhadap Syari?at Islam sehingga membuat dirinya terancam kafir !!

Syaikh Abdul Aziz bin Baz-rahimahullah- berkata, "Barang siapa yang mengolok-olok suatu (ajaran) dari agama Rasul, atau pahalanya, atau siksaannya, maka sungguh ia telah kafir berdasarkan firman-Nya:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

"Katakanlah :"Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok". (QS.At-Taubah : 65-66) " . [Lihat Majmu? Fatawa wa Maqolat Mutanawwi?ah (1/131)]

Saudari-saudari kita yang yang berjilbab dan bercadar sering mendapatkan olokan dari masyakat disebabkan mereka memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuhnya, longgar, tebal dan berwarna hitam. Dimana-mana mereka mendapat olokan dari masyarakat. Digelarilah: Ninja, setan, kemah berjalan, Vampire, tukang copet dan kata-kata yang jorok lainnya.

Menanggapi masalah ini, Lajnah Da?imah berfatwa, "Barangsiapa yang mengolok-olok seorang wanita muslimah atau laki-laki muslim lantaran ia berpegang teguh dengan syari?at Islam, maka ia kafir. Sama saja apakah (olokan) itu karena berhijabnya seorang wanita muslimah dengan hijab syar?i atau karena masalah (syari?at) lainnya". Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da?imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta? (2/14 -15)

Wahai pembaca yang budiman, anda telah melihat bahayanya menyinggung syari?at Allah ketika bercanda dan humor. Janganlah kalian mengolok mereka lantaran mereka memanjangkan jenggot atau memendekkan celananya di atas mata kaki. Sebaiknya kalian diam dan mendoakan mereka agar tetap teguh di atas sunnah.

Diantara perkara yang masuk dalam masalah ini adalah menjadikan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasululllah r sebagai bahan anekdot. Hindarilah karena ini berbahaya.

* Merendahkan Orang Lain

Bercanda merupakan suatu hal yang memang mengasyikkan. Namun hal ini kadang mengantarkan pelakunya merendahkan orang lain.

Kalian akan melihat ada sebagian orang yang meniru gaya jalan kawannya, dan cara ngomongnya dengan alasan humor. Sekelompok lagi, ada sebagian yang memberikan gelar-gelar kepada kawan dan saudaranya. Andaikan gelar itu diberikan kepadanya, niscaya hatinya akan jengkel. Bahkan ada diantara manusia yang tak berperasaan, saat bercanda ia memukul temannya. Semua ini mereka lakukan dengan alasan humor.

Semua ini merupakan perendahan terhadap martabat orang lain, apalagi ia muslim. Penyakit ini muncul disebabkan karena penyakit sombong dan hilangnya rasa malu di hati pelakunya. Nabi -Shollallahu ?alaihi wasallam- pernah bersabda,

الْكِبْرُ: بَطْرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

"Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain". [HR.Muslim dalam Shohih-nya (91)]

Seseorang yang memiliki iman dan rasa malu di hadapan Allah, niscaya tak mungkin akan mengantarkan pemiliknya kepada sikap sombong dan merendahkan orang lain. Nabi -Shollallahu ?alaihi wasallam- bersabda,

الْحَيَاءُ وَالْإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِيْعًا فَإِذَا رَفَعَ أَحَدُهُمَا رَفَعَ الْآخَرُ

"Malu dan iman dikumpulkan bersama-sama. Jika yang satu hilang, maka yang lain pun akan hilang". [HR.Al-Hakim (58) dan Al-Baihaqy dalam Asy-Syu?ab (7727), dan Abu Nu?aim dalam Al-Hilyah (4/297). Lihat Jilbab Al-Mar?ah (hal.136)].

Ibnu Hajar Al-Haitamy-rahimahullah- memandang bahwa diantara dosa besar adalah mengejek para hamba Allah Ta?ala, tidak menghargai menghargai mereka, dan merendahkan mereka. Beliau berkata setelah itu, "Semua yang disebutkan tadi, prinsip dan dasarnya adalah keburukan akhlak dan rusaknya hati". [Lihat Az-Zawajir (1/141-142)]

Seorang yang memperbanyak canda dan tawa, hatinya akan rusak dan mati dengan perlahan-lahan disebabkan ia tak terasa telah melakukan dosa dan kekufuran yang menodai hati. Nabi r bersabda:

لَا تُكْثِرُوْا الضَّحْكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحْكِ تُمِيْتُ الْقَلْبِ

"Janganlah kalian memperbanyak tertawa karena memperbanyak tertawa bisa mematikan hati". [HR. At-Tirmidzy (2305), Ibnu Majah (4193). Lihat Shohih Al-Adab Al-Mufrod (253)]

* Berbicara Tentang Wanita
Berbicara tentang wanita merupakan salah satu bahan humoran bagi sebagian orang yang tipis imannya, dan rendah rasa malunya. Sampai kadang diantara mereka menjadikannya sebagai sebuah propesi dan adat kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Ironisnya lagi, jika kebiasaan ini menjangkit di kalangan agamawan. Karena pembicaraan tentang wanita dominannya mengarah kepada perkara tabu.

Seorang tabi?in, Al-Ahnaf bin Qois -rahimahullah- berkata, "Jauhkanlah majelis kita dari obrolan seputar wanita dan makanan karena aku benci seseorang yang suka membicarakan (masalah) farji dan perutnya".[Lihat Siyar A?lam An-Nubala? (4/94)]

Nabi -Shollallahu ?alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشَرُّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ منزلة يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِيْ إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يُنْشِرُ سَرَّهَا

"Diantara manusia yang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mendatangi istrinya, dan istrinyapun datang kepadanya, lalu ia menyebarkan rahasianya". [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1437), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4870)]

Imam An-Nawawiy?rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat (faedah) diharamkannya seseorang menyebarkan sesuatu yang terjadi antara dia dengan istrinya berupa perkara jimak, serta menggambarkan hal itu secara rinci dan sesuatu yang terjadi pada wanita di dalamnya berupa ucapan, perbuatan, dan sejenisnya". [Lihat Syarah Shohih Muslim (10/8)]

Seyogyanya seorang muslim -apalagi pelajar ilmu syar?i- selalu berusaha membersihkan lidahnya ketika ia berbicara di depan orang. Karena seorang yang mengotori mulutnya dengan kisah-kisah dan cerita tentang wanita yang bisa membangkitkan gejolak syahwat, akan merusak citra dirinya sendiri dan memberikan dampak buruk kepada teman duduknya .

Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma- berkata,

أَحَقُّ مَا طُهِّرَ الْعَبْدُ لِسَانَهُ

"Sesuatu yang paling pantas disucikan oleh seorang hamba adalah lisannya" . [HR.Ahmad dalam Az-Zuhd (26), Abu Dawud dalam Az-Zuhd (322),Ibnu Abi Ashim dalam Az-Zuhd (26),dan Abu Nu?aim dalam Al-Hilyah (1/307) dengan sanad yang shohih]

Para ulama kita melarang seseorang untuk berbicara tentang wanita, karena itu merupakan jalan tergelincirnya seseorang dan bisa mengantarkan untuk membicarakan perkara yang haram, berupa hal-hal yang berkaitan dengannya; entah itu dengan menggambarkan keelokan tubuh dan perangai seorang wanita, ataukah menyebarkan rahasia yang terjadi antara seorang suami dengan istrinya. Sedang ini merupakan seburuk-buruknya perbuatan yang diberikan ancaman keras bagi pelakunya sebagaimana dalam hadits di atas.

* Dusta Demi Canda
 
Ciri seorang mukmin adalah jujur dalam berbicara sebagaimana pribadi Nabi kita. Abu Hurairah berkata, "Ya Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?" Beliau bersabda,

إِنِّيْ لّا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًا

"Sesungguhnya aku tak akan mengucapkan sesuatu kecuali itu benar" . At-Tirmidzy dalam As-Sunan (1990). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albany dalam Ash-Shohihah (1726)]

Satu bentuk kebiasaan buruk jika seseorang berusaha untuk membuat orang lain senang dan tertawa, namun ia mengucapkan sesuatu yang dusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pelawak, dan pemain sandiwara atau orang yang cari-cari muka.

Jauhilah dusta dalam bercanda sebab ini akan meluputkan kalian dari suatu fadhilah dan balasan yang agung di sisi Allah pada hari kemudian. Nabi bersabda:

أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ ربض الْجَنَّةِ لَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًا وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ

"Aku akan memberikan jaminan sebuah rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun ia bercanda, serta rumah di bagian atas surga bagi orang yang akhlaknya bagus". [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (4800). Lihat Ash-Shohihah (494)]

Inilah sebagian canda dan humor yang dilarang dalam Islam sengaja kami sampaikan di hadapan saudara-saudara sekalian agar kita bisa mengenal dan menjauhinya. Sebab berapa banyak orang masuk dalam neraka Cuma karena salah dalam mengucapkan sesuatu.

Menghidupkan Sunnah, Kenikmatan Tiada Tara

Oleh Ustadz Abu Abdirrahman Abdul Aziz As Salafy

Sesungguhnya kepatuhan seorang muslim kepada syariat Allah dan kecintaannya dalam mencontoh jejak Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam (baik berupa ucapan, perbuatan dan lain-lain), merupakan suatu bukti cintanya kepada Allah ?Azza wa Jalla. Apabila seorang hamba menjalankan agama sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam maka hatinya akan tenang dan lapang. Semakin kuat rasa cintanya kepada Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam maka akan terjalin kuat pula rasa cintanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu sebagai wujud rasa cinta kita kepada Allah Azza wa Jalla, mari kita hidupkan Sunnah Rasulullah yang telah dianggap asing di tengah-tengah ummat ini.

Al Qur?an membimbing kita untuk bersikap tengah-tengah dan sederhana dalam menjalankan ajaran agama Allah. Dan mencela sikap ekstrim (melampaui batas) serta sikap meremehkan agama-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan kebaikan.? (An Nahl : 90)

Dan firman-Nya :
Katakanlah ; Rabbku memerintahkan untuk berbuat adil. (Al A?raf : 29)

Ayat-ayat di atas memerintahkan kita untuk berlaku adil dan bersikap tengah-tengah dalam segala perkara. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, adab, akhlak maupun muamalah sehari hari. Serta melarang dari lawannya, yaitu bersikap ekstrim dan meremehkannya pada banyak ayat.

Di dalam beribadah kepada Allah, kita diperintahkan untuk berlaku adil. Yaitu berpegang teguh dengan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah dan dilarang melampaui ajaran-ajaran beliau shallallahu?alaihi wasallam. Tentunya dilandasi dengan niat ikhlas semata mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla dan mutaba?ah (mencontoh) sunnah Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam.

Bisa jadi tidak semua dari ajaran-ajaran Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam mampu untuk kita melaksanakannya, disebabkan kelemahan dan ketidakberdayaan kita. Namun hal tersebut bukan menjadi pemicu untuk kita mencerca ajaran beliau dan orang-orang yang menghidupkan ajaran-ajarannya. Justru dengan bukti kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam menjadikan kita senantiasa senang mengikuti ajaran-ajaran beliau, walaupun dalam perkara-perkara yang dianggap remeh.

Berikut ini adalah beberapa contoh perkara, yang mana kita diperintah untuk berlaku adil dan bersikap tengah-tengah di dalam mengamalkannya. Yakni sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam :

Dalam Perkara Sholat
Nabi shallallahu?alaihi wasallam bersabda :
  لِيَصَلِّي أَحَدُكُمْ نَشَاطُهُ, فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُد
Sholatlah salah seorang diantara kalian dengan berdiri, maka apabila merasa lelah hendaknya dia duduk.? (Riwayat Bukhori dan Muslim dari hadits Anas radhiyallahu?anhu).

Suatu ketika Nabi shallallahu?alaihi wasallam masuk ke masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali yang terikat diantara dua tiang. Lantas beliau bertanya : ?milik siapa tali ini?? mereka menjawab : ?tali ini milik Zainab. Apabila dia lelah, maka dia mengikatkan tubuhnya dengan (tali tersebut).? Maka Nabi shallallahu?alaihi wasallam bersabda : ?tidak, lepaskan (ikatan tali tersebut). Sholatlah salah seorang diantara kalian dengan berdiri, maka apabila merasa lelah hendaknya dia duduk.?

Demikian pula Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam bersabda :

عَلَيْكُمْ مِنْ الأَعْمَالِ مَا تُطِيْقُوْنَ, فَوَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَمِل حَتَّى تَمِلوا
Hendaklah kalian beramal semampu kalian, demi Allah sesungguhnya Allah tidak akan menyusahkan kalian hingga kalian menyusahkan diri kalian sendiri.? (Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim)

Demikian pula tatkala datang beberapa sahabat Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam, lalu mengatakan : ?Adapun saya, saya akan melaksanakan sholat malam dan tidak akan tidur.? Maka beliau bersabda : ?Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut dan lebih bertaqwa kepada Allah daripada kalian. Akan tetapi aku?.. tetap melaksanakan sholat malam dan tidur.? (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Dan juga Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam bersabda :
وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ, وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ, وَيَنَامُ سُدُسَهُ
Sholat yang paling disukai Allah adalah sholatnya Nabi Daud ?alaihis salam. Beliau tidur di pertengahan malam, lalu bangun disepertiga malam dan tidur diseperenamnya.? (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Dalam Shohih Muslim dari hadits Aisyah radhiyallahu?anha, bahwasanya Nabi shallallahu?alaihi wasallam bersabda : ?Apabila salah seorang diantara kalian dihinggapi rasa kantuk di dalam sholat maka hendaknya dia tidur hingga hilang rasa kantuknya?. (Riwayat Muslim)

Dan dalam hadits Abu Hurairoh, dia berkata : Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam bersabda : ?Apabila salah seorang diantara kalian hendak melaksanakan sholat malam lalu terasa berat melafadzkan ayat-ayat Al Qu?ran (karena rasa kantuk), sehingga dia tidak lagi mengetahui bacaannya. Maka hendaklah dia berbaring.? (Riwayat Muslim)

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmat. Tidaklah agama ini diturunkan melainkan memberi kemudahan dan keringanan kepada seorang hamba dalam menjalankannya. Sungguh benar firman Allah Ta?ala : ?Tidaklah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.? (Al Anbiya : 107)

Di dalam hadits-hadits tersebut juga mengandung makna bahwa Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam tidak memerintahkan seseorang untuk tetap sholat dalam keadaan berdiri ketika mendapati dirinya lelah dan letih. Akan tetapi beliau justru memerintahkan untuk duduk. Dan hal ini sebagai wujud kasih sayang beliau terhadap ummat ini.

Dalam Perkara Puasa
Nabi shallallahu?alaihi wasallam bersabda : ?Berpuasalah dan berbukalah.? (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Dan beliau bersabda : ?Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, karena sesungguhnya hal tersebut adalah puasa yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla.? (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Hal ini juga merupakan kasih sayang Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam kepada ummatnya. Beliau memerintahkan kepada ummat ini untuk berpuasa seperti yang dicontohkan beliau shallallahu?alaihi wasallam. Karena tidaklah beliau memerintahkan suatu perkara melainkan akan mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan yang banyak. Seperti dalam hadits di atas, beliau memerintahkan untuk berpuasa dan demikian berbuka. Beliau tidak memerintahkan untuk berpuasa secara bersambung. Karena hal ini telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam, sebagaimana sabda Beliau : ?Tidak ada puasa bagi orang yang melaksanakan puasa Al Abad (puasa terus menerus tanpa berbuka).? (Dikeluarkan Bukhori dan Muslim).

Dalam Perkara Tilawah Al Qur?an
Telah datang dari hadits Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu?anhu, dia berkata : ?Dulu aku pernah puasa Ad Dahr (terus menerus tanpa berbuka). Dan aku membaca Al Qur?an setiap malam. Maka beliau shallallahu?alaihi wasallam bertanya kepadaku : ?Apakah engkau berpuasa Ad Dahr dan membaca Al Qur?an setiap malam?? lalu aku menjawab : ?Wahai Nabi Allah! Tidaklah aku menginginkan hal tersebut melainkan hanya kebaikan.? Lalu beliau bersabda : ?Sesungguhnya cukup bagimu untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya.? Aku katakan : ?Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.? Lalu beliau bersabda : ?Sesungguhnya istrimu memiliki hak atas dirimu, tamu-tamumu juga memiliki hak, dan jasadmu memiliki hak.? Lantas beliau melanjutkan : ?Berpuasalah seperti puasa Daud Nabi Allah alaihis salam, karena dia adalah seorang hamba yang sangat banyak beribadah.? Kemudian aku katakan : ?Wahai Nabi Allah! Apakah puasa Daud itu?? Beliau menjawab : ?(yaitu) berpuasa sehari dan berbuka sehari.? Lalu beliau melanjutkan : ?Dan bacalah Al Qur?an setiap bulannya.? Aku katakan : ?Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.? Kemudian beliau berkata : ?Bacalah setiap dua puluh hari.? Aku katakan : ?Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.? Kemudian beliau berkata : ?Bacalah setiap sepuluh puluh hari.? Aku katakan : ?Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku bisa lebih daripada itu.? Lantas beliau bersabda : ?Bacalah pada setiap tujuh hari, dan jangan engkau tambah setelahnya, karena sesungguhnya istrimu memiliki hak atas dirimu, tamu-tamumu memiliki hak, dan jasadmu memiliki hak.? Lalu aku berkata : ?Maka aku pun membebani diriku sendiri, sehingga teramat berat bagiku.? Nabi shallallahu?alaihi wasallam mengatakan kepadaku : ?Sesungguhnya engkau tidak mengetahui, semoga umurmu panjang.?

Dalam sebuah riwayat disebutkan : ?Sesungguhnya kedua matamu memiliki hak, dirimu dan keluargamu juga memiliki hak.?

Riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan betapa nikmatnya menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam. Tidak ada beban berat sedikitpun bila kita telah mengetahui ilmunya. Alhamdulillah agama ini mudah dan memberikan kemudahan setiap hamba di dalam melaksanakannya.

Dalam Perkara Infaq
Lihatlah betapa indahnya hikmah syariat yang hanif ini, sebagaimana Allah Ta?ala berfirman : ?Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.? Demikian pula Alah berfirman : ?Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.? (Al Isro? : 26-27)

Demikian pula lihatlah kepada firman Allah Ta?ala : ?Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.? (Al A?raf : 31)

Sungguh ini adalah manhaj (metode) yang lurus, keadilan dan sikap tengah-tengah. Tidak bersikap boros dan tidak pula bakhil. Karena keduanya adalah prilaku yang tercela. Orang-orang yang boros merupakan teman-teman syaitan dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros. Demikian pula orang-orang yang berlaku bakhil, maka penyakit apakah yang paling parah daripada penyakit bakhil?

Barangsiapa yang mampu untuk mengekang kebakhilan yang ada pada dirinya, maka dia termasuk orang-orang yang beruntung.

Dan di sana masih terdapat lagi nash-nash dari Al Qur?an dan As Sunnah yang sudah sepatutnya diketahui oleh seorang hamba, diantaranya : sabda nabi shallallahu?alaihi wasallam : ?Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara : ??Dan seorang yang Allah memberinya harta, lalu dia membelanjakannya dalam kebenaran.? (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Demikian pula sabda nabi shallallahu?alaihi wasallam kepada Ka?ab bin Malik : ?Tahanlah untukmu sebagian dari hartamu.? (Dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim)

Dan Abu Bakar ra ketika menemui Rasulullah dengan seluruh hartanya, lalu nabi shallallahu?alaihi wasallam bertanya kepadanya : ?Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu wahai Abu Bakar?? lalu Abu Bakar menjawab : ?Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.? (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi)

Demikian juga Nabi shallallahu?alaihi wasallam mengatakan kepad Sa?ad bin Abi Waqqos : ?Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan untuk para pewarismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan susah lagi meminta-meminta kepada manusia.?

Demikianlah beberapa contoh dari sekian banyak contoh yang bisa kami sebutkan dalam lembaran terbatas ini. Mudahan Allah memberi kemudahan untuk kita menjalankan agamanya dan menggolongkan kita termasuk orang-orang yang senantiasa setia mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu?alaihi wasallam serta merasa nikmat di dalam menjalankannya. Wallahu a'lam bish showab


 

by blogonol