Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Thursday, August 30, 2012

Tentang Acara Syukuran

Pertanyaan:
Ana mau menanyakan bolehkah kita mengadakan tasyakuran dengan mengundang para kerabat untuk membaca surat yasiin bersama yang biasanya diadakan dalam rangka kelulusan ujian atau sedang mendapat suatu nikmat bahkan dalam rangka kita menempati rumah baru? kalau tidak boleh, lantas bagaimana cara kita untuk mengekspresikan rasa syukur kita? Mohon dijawab, dan syukron sebelumnya.

Jawaban:
Untuk pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan:

Pertama
kegiatan/acara kegembiraan yang dilakukan dalam rangka kelulusan, kenaikan jabatan, penempatan rumah baru, dan semisalnya tidaklah mengapa selama maksud pelaksanaannya sekadar kegembiraan akan suatu nikmat yang Allah berikan kepadanya, bukan dengan maksud ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Kalau dengan maksud ibadah, pelaksanaan kegiatan/acara tersebut tentu akan tergolong ke dalam bentuk bid’ah dalam agama. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak dibangun di atas tuntunan kami, amalan tersebut tertolak.” [1]

Kedua
pengkhususan pembacaan surah Yâsîn pada acara seperti ini adalah hal yang tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan penganjuran hal tersebut, sementara suatu ibadah tidaklah boleh dilakukan, kecuali berdasarkan dalil Al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan membaca Yasin pada acara hajatan dan selainnya, tetapi seluruh hadits tersebut lemah, tidak boleh dijadikan sebagai sandaran hukum[2].

Ketiga
apabila kegiatan/acara diselenggarakan dalam rangka kegembiraan atau kesyukuran, kita harus memperhatikan beberapa hal:
  1. Kegiatan tersebut bukan suatu hal yang berulang. Hal ini karena suatu kegiatan kegembiraan yang berulang-ulang -dalam sepekan atau setahun- dianggap sebagai bid’ah. Dimaklumi bahwa hari raya menurut Islam hanyalah tiga hari: hari Jum’at, hari Idul Fitri, dan hari Idul Adha. Selain ketiga hari itu adalah perayaan yang dianggap bid’ah dalam agama.
  2. Tidak boleh berlebihan dan mubadzir dalam kegiatan kegembiraan tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan, sementara syaithan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.[Al-Isrâ`: 26-27]
  1. Dilakukan dalam kadar dan jumlah yang wajar, bukan seperti pesta yang menghadirkan ratusan orang.
Keempat,  
seorang hamba yang mendapat suatu nikmat punya banyak cara untuk mengekspresikan kesyukurannya. Pada dasarnya, seorang hamba dikatakan bersyukur dengan lima pondasi[3]:
  1. Ketundukan hamba kepada Rabb-nya, yang untuk-Nya segala kesyukuran.
  2. Kecintaan hamba kepada Rabb-nya, yang berasal dari-Nya segala nikmat.
  3. Pengakuan dalam hati bahwa segala nikmat datang dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan milik Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
  4. Pujian hamba dengan lisannya terhadap segala nikmat yang dia dapatkan.
  5. Penggunaan nikmat-nikmat tersebut pada hal-hal yang Allah ‘Azza wa Jalla cintai dan ridhai.
Dengan berpijak di atas pondasi-pondasi tersebut, seorang hamba semakin banyak mendekatkan dirinya kepada Allah pada setiap nikmat yang dia dapatkan. Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertutur,
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Sesungguhnya Nabi Allah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qiyamul lail sampai kedua kaki beliau pecah-pecah maka saya bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau pun menjawab, ‘Tidak (bolehkah) saya suka menjadi hamba yang bersyukur?’.” [4]

Demikian jawaban untuk pertanyaan ini, dengan mengingat bahwa tiga poin pertama jawaban tersebut kami sarikan dari fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatâwâ Nûrun ‘Alâ Ad-Darb.
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.


[1] Diriwayatkan oleh Muslim.
[2] Bacalah tulisan kami perihal hadits-hadits lemah seputar keutamaan surah Yâsin pada Majalah An-Nashihah vol. 06 hal. 49-59.
[3] Bacalah Madârij As-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim rahimahullâh.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah dari hadits Al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallâhu ‘anhu.

Sumber :  http://dzulqarnain.net/tentang-acara-syukuran.html




Tuesday, August 28, 2012

Download Kajian "Mengaku Cinta Kpd Allah Namun Meninggalkan Syari'atnya" Oleh : Ust. Muhammad Na'im, Lc hafizhahullah

Download Kajian
"Mengaku Cinta Kpd Allah Namun Meninggalkan Syari'atnya"
Oleh :
Al-Ustadz Muhammad Na'im, Lc hafizhahullah




Wednesday, August 22, 2012

Download Khutbah 'Ied 1 Syawal 1433 H "Wasiat-Wasiat Berharga dari Merenungi Nikmat Allah" Oleh : Ust. Dzulqarnain Hafizhahullah

Download Khutbah 'Ied 1 Syawal 1433 H
Dengan Tema :
"Wasiat-Wasiat Berharga dari Merenungi Nikmat Allah"
Oleh :
Al-Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Hafizhahullah


Tuesday, August 21, 2012

Download Kajian "Pengagungan Terhadap Sunnah" Oleh : Ust. Muhammad Umar As-Sewed hafizhahullah


Download Kajian
"Pengagungan Terhadap Sunnah"
Oleh :
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed hafizhahullah




Monday, August 20, 2012

Kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)

Salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa kesabaran yang dimiliki seorang hamba ketika menghadapi sebuah musibah, akan senantiasa menghasilkan kebaikan. Karena memang sudah menjadi kepastian dari Allah I bahwa ketika seorang hamba mampu bersikap sabar atas sebuah musibah yang menimpanya, maka Allah akan memberikan banyak kebaikan kepadanya. Sebagaimana Nabi Ayyub u yang ditimpa penyakit kulit yang demikian hebat, namun beliau senantiasa bersabar dan ridha dengan apa yang menimpanya. Akhirnya Allah  pun menyembuhkannya dan mengganti musibah itu dengan berbagai kenikmatan.

Al-Imam Al-Qurthubi t dalam tafsirnya menukilkan dari Ibnu ‘Abbas  bahwa Nabi Ayyub  dinamakan demikian karena beliau selalu kembali (dari kata ) kepada Allah  segenap keadaannya.
Beliau u termasuk nabi dari keturunan Bani Israil dan hamba Allah yang pilihan. Allah I menyebut namanya dalam Kitab-Nya dan memuji dengan pujian yang baik, terutama terhadap kesabarannya dalam menghadapi ujian yang beliau alami.

Ujian Nabi Ayyub 
 Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Rabbnya: ‘(Ya Rabbku), sesung-guhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’. Maka Kamipun memper-kenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (Al-Anbiya`: 83-84)

Dalam dua ayat yang mulia ini, Allah U memerintahkan Nabi-Nya n agar mengingat Nabi Ayyub u ketika beliau berdoa kepada Rabbnya:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”

Doa tersebut dikabulkan oleh Allah I yang kemudian melepaskan beliau dari semua musibah yang menimpa beliau. Allah I berfirman:
“Hantamkanlah kakimu!”1
Beliaupun menghantamkan kakinya, lalu memancarlah mata air yang segar. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Minumlah dari air itu dan mandilah!”

Setelah itu Allah I memberikan keluarga beliau kepada beliau dan yang seperti mereka sebagai rahmat serta peringatan bagi orang-orang yang mengabdikan diri kepada Allah I, karena hanya merekalah yang dapat memetik manfaat dari semua peringatan ini.

Makna ini pula yang disebutkan oleh Allah I dalam ayat lain. Firman Allah I:
“Dan ingatlah hamba Kami Ayyub, ketika ia menyeru Rabbnya: ‘Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan’.” (Shaad: 41)

Ibnu Katsir t menceritakan dalam tafsirnya, Nabi Ayyub u diuji melalui tubuhnya. Ada yang menyebut-kan berupa pe-nyakit lepra yang menyerang selu-ruh tubuhnya tan-pa menyisakan seujung jarumpun dari tubuhnya. Tidak ada yang selamat dari ang-gota tubuhnya kecuali hati dan lisannya, yang dengan keduanya beliau berdzikir mengingat Allah U. Akhirnya se-mua orang merasa jijik dan mengasingkan beliau di tempat terpencil, jauh dari keramaian manusia. Tidak ada harta dunia yang tersisa pada beliau kecuali isterinya, yang dengan setia masih mencintai dan merawat beliau. Namun beliau sempat merasakan satu hal yang tidak menyenangkan dari isterinya sehingga beliau bersumpah untuk mencam-buknya seratus kali.

Setelah Allah I menyembuhkan beliau, Allah I merahmati keduanya. Kemudian Allah I perintahkan beliau untuk mengambil seratus batang rumput, lalu memukul isterinya dengan rumput tersebut sebagai pelaksanaan sumpahnya. Allah I berfirman:
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.”2

Dalam kejadian ini, terdapat dalil bahwa kaffaratul yamin (tebusan sumpah) belum disyariatkan dalam agama-agama sebelum kita. Dan kedudukan sumpah ini sama seperti nadzar bagi mereka, artinya harus ditunaikan secara sempurna. Dalam peristiwa ini juga terdapat dalil bahwa orang yang tidak sanggup untuk mene-rima hukuman had karena kelemahan atau hal-hal lainnya (sakit dan sebagainya), boleh mengganti dengan sesuatu yang setara nilainya. Sebab, tujuan diberlakukannya hukuman had itu bukanlah untuk meru-sak atau membina-sakan.

Demikianlah penderitaan Nabi Ayyub u. Dan ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash :
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Kata beliau: “Para Nabi, kemudian yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien (keimanannya). Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang dirasakannya; kalau diennya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya. Dan seseorang akan senantiasa ditimpa ujian demi ujian hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi)


Asy-Syaikh Asy-Syinqithi t dalam tafsirnya (4/514) menerangkan bahwa dalam ayat-ayat tersebut muncul satu pertanyaan, bagaimana bisa dikatakan Nabi Ayyub u sebagai orang yang sabar sebagaimana dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar.”3

Padahal beliau mengatakan, sebagai-mana dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”

Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.”

Ucapan beliau  (Aku telah ditimpa penyakit), bukanlah keluhan, karena Allah sudah menyatakan beliau adalah orang yang sabar:  (Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar). Bahkan ucapan beliau ini tidak lain adalah doa. Karena mengeluhkan sesuatu yang dirasakan itu dilakukan kepada makhluk bukan kepada Allah I, sedangkan doa tidaklah menggugurkan rasa ridha terhadap musibah yang dialami. Apalagi Allah I menyatakan:  (Maka Kami perkenankan seruannya itu).4 Dan ijabah terjadi karena adanya suatu doa, bukan keluhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menerangkan (Al-Fatawa, 22/382): “Doa itu tidak disyariatkan kosong begitu saja, tetapi harus disertai pujian. Adapun pujian atau sanjungan dengan hanya semata-mata menyebutkan sanjungan adalah disyariatkan, tidak makruh. Dan sanjungan atau pujian itu sendiri mengandung tujuan atau maksud suatu doa. Maka apabila seseorang yang berdoa memuji atau menyanjung yang diserunya dengan sesuatu yang mengandung tercapainya tujuannya, berarti dia telah sempurna dalam menyebutkan apa yang diinginkannya.

Hal ini seperti yang diucapkan oleh Nabi Ayyub u, sebagaimana firman Allah I:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”

Ucapan beliau itu lebih indah dan sempurna daripada kalimat  (Rahmatilah aku).
Doa beliau:
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”, datang dalam bentuk berita yang mengandung permintaan. Dan ini merupakan salah satu etika dalam berdoa dan meminta. Menerangkan keadaan dan kebutuhan adalah permintaan yang tampak melalui keadaan lahiriah. Ini lebih sempurna dalam menerangkan dan lebih jelas dalam hal maksud dan keinginan.”
(diambil dari Taisir Al-Lathifil Mannan fi Khulashah Tafsiril Qur’an karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t)

1 Al Qur`an surat Shaad ayat 42.
2 Al Qur`an surat Shaad ayat 44.
3 Al Qur`an surat Shaad ayat 44.
4 Al Qur`an surat Al-Anbiya` ayat 84.


 

Kisah Nabi Hud ‘alaihissalam

Al-Ustadz Idral Harits

Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut, ketika semakin bertambah kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah. Mereka berkata:
مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)

Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah dan kedustaan terhadap para rasul. Maka, Allah mengutus Nabi Hud ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar menyerahkan semua ibadah hanya untuk Allah satu-satunya dan melarang dari perbuatan syirik dan kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah. Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara dan mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rizki dan kekuatan tubuh. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud. Mereka bahkan mengatakan:
يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)

Mereka telah melakukan kedustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi-pun, melainkan pasti telah Allah berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama bahwasanya ajaran agama ini adalah dari sisi Allah. Di samping kokoh dan sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan situasi dan kondisi. Kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.

Nabi Hud sendirian dalam berdakwah, menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud dengan sesembahan mereka. Bila beliau tidak berhenti, niscaya Nabi Hud –menurut ancaman mereka- akan ditimpa penyakit kegilaan dan kejelekan. Namun Nabi Hud justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka, dan berkata:
إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
مِن دُونِهِ ۖ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم ۚ مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku, dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab itu jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54-56)

Maka ayat mana lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah melampaui batas, Nabi Hud meninggalkan dan mengancam mereka dengan turunnya adzab Allah. Maka datanglah adzab tersebut menyebar di seluruh cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang parah dan sangat membutuhkan siraman air hujan. Di saat mereka dalam keadaan bergembira dan berkata:
هَٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَا
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (Al-Ahqaf: 24)
Allah pun berfirman:
بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُم بِهِ ۖ
“(Bukan)! Bahkan itulah adzab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (Al-Ahqaf: 24)
Yaitu, kalian minta disegerakan dengan ucapan kalian: “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami kalau engkau orang yang benar.”
Allah berfirman:
رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ
“(Yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (Al-Ahqaf: 24-25)

Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah berfirman:
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Yang Allah timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (Al-Haqqah: 7)

فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Maka jadilah mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-Ahqaf: 25)

Semua itu terjadi di saat mereka dahulunya senantiasa tertawa gembira, kemuliaan yang baligh (nyata), kemewahan dunia yang berlimpah, dan seluruh kabilah dan daerah-daerah di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah kirimkan kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal sungguh adzab akhirat itu lebih menghinakan sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.
وَأُتْبِعُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّعَادٍ قَوْمِ هُودٍ
“Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini, dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)

Allah menyelamatkan Nabi Hud serta orang-orang yang beriman bersama beliau. Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah dan pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka, pertolongan Allah kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). Juga ayat tentang batilnya kesyirikan, dan kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan, dan juga di dalamnya terdapat ayat atau bukti atas kehidupan sesudah mati dan dikumpulkannya seluruh manusia. Beberapa pelajaran penting dari kisah Nabi Hud Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh, di dalam kisah ini terdapat beberapa faedah yang sama pada semua rasul. Faedah-faedah itu antara lain:

1. Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya mengisahkan kepada kita berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya.

Al Qur’an telah menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain yang lebih jauh dari kita, di Timur atau di Barat, telah Allah utus seorang Rasul kepada mereka. Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah utus kepada mereka seorang Rasul.

Sangat bermanfaat bagi kita untuk mengingat keadaan daerah-daerah di sekitar kita serta apa yang kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat kita saksikan dari peninggalan mereka ketika kita melewati (bekas-bekas) tempat kediaman mereka setiap saat dan kitapun memahami bahasa mereka, dan tabiat mereka lebih dekat kepada tabiat yang ada pada kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar, dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah ceritakan kepada kita. Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibanding yang lain.

Tentunya lebih pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu dan kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat lari dari dakwah atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat. Allah telah mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُم مِّنَ الْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا الْآيَاتِ
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (Al-Ahqaf: 27)

Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (Al-Ahqaf: 27)
Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.
2. Menjadikan bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan dan kesombongan serta perhiasan dan menindas hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang adalah perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas sebagaimana diterangkan Allah dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh Nabi Hud:
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main.” (Asy-Syu’ara: 128)

Secara umum bangunan untuk istana, benteng, rumah dan bangunan lainnya, mungkin saja dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (jalan) kepada kebaikan apabila disertai dengan niat yang lurus. Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah atau manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh. Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba Allah, atau pemborosan harta yang sebetulnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah pada bangsa ‘Aad atau yang lainnya.

Faedah yang lain, bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau pengaruh yang ditimbulkan. Betapapun besar dan luasnya tetap tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia mengimbangi dengan keimanan kepada Allah dan para rasul-Nya. Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah, mendustakan para rasul Allah, walaupun dia mendapatkan kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikitpun jika datang keputusan Allah. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam kisah ‘Aad:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاهُمْ فِيمَا إِن مَّكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُم مِّن شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (Al-Ahqaf: 26)

Dalam ayat lain:
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مِن شَيْءٍ لَّمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ ۖ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena itu tidaklah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Rabb-mu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)



Friday, August 17, 2012

Puasa 6 Hari Pada Bulan Syawwal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam pada bulan Syawwal, maka jadilah seperti puasa setahun.”
(HR. Muslim 782, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)

Dengan berlalunya Ramadhan, tidak berarti berlalu pula amal ibadah. Justru, di antara tanda seorang berhasil meraih kesuksesan selama bulan Ramadhan adalah tampaknya pengaruh yang terus ia bawa pasca Ramadhan.

Di antara syari’at yang Allah tuntunkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam pasca bulan Ramadhan adalah puasa selama 6 hari pada bulan Syawwal. Puasa ini sebagai kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan. Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan sebulan penuh, kemudian dilanjutkan berpuasa 6 hari dalam bulan Syawwal, maka dia mendapat pahala puasa selama setahun.

Mari kita ikuti berbagai rincian dan pernik hukum terkait puasa 6 hari bulan Syawwal ini bersama dua ‘ulama international terkemuka abad ini, Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam jawaban dan fatwa yang beliau berdua sampaikan menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau berdua :

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah :

Bulan Syawwal semuanya merupakan waktu yang diizinkan untuk berpuasa 6 hari padanya [1]:
Pertanyaan : Bolehkah bagi seseorang memilih hari-hari tertentu pada bulan Syawwal untuk ia melaksanakan puasa 6 hari. Ataukah puasa tersebut memiliki watu-waktu khusus?dan apakah jika menjalankan puasa tersebut menjadi wajib atasnya?

Jawab : Telah pasti riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka menjadi seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari kitab Ash-Shahih.

6 hari tersebut ditentukan selama satu bulan (Syawwal). Boleh bagi seorang mukmin untuk memilih dari bagian bulan Syawwal tersebut. Jika mau ia boleh berpuasa pada awal bulan, atau pertengahan bulan, atau pada akhirnya. Kalau mau ia boleh berpuasa secara terpisah-pisah, kalau mau boleh ia berpuasa berturut-turut. Jadi sifatnya longgar/bebas, bihamdillah. Kalau ia bersegera melaksanakannya secara berturut-turut pada awal bulan (Syawwal), maka yang demikian afdhal (lebih utama). Sebab yang demikian termasuk bersegera kepada kebaikan. Dan dengan itu bukan menjadi kewajiban atasnya. Boleh baginya tidak mengerjakannya pada tahun kapanpun. Namun senantiasa melaksanakan puasa Syawwal (setiap tahunnya) adalah afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang pelakunya kontinyu/terus-menerus dalam melaksanakannya meskipun sedikit.” Wallahul Muwaffiq
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/390-391)

Tidak Dipersyaratkan Berturut-turut dalam Melaksakan Puasa 6 Hari Syawwal
Pertanyaan : Apakah dalam melaksanakan puasa 6 hari pada bulan Syawwal harus dikerjakan secara berturut-turut? Ataukah boleh berpuasa secara terpisah-pisah selama bulan Syawwal?

Jawab : Puasa 6 hari Syawwal merupakan sunnah yang pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengerjakannya secara berturut-turut, dan boleh juga terpisah-pisah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan puasa 6 hari secara mutlak, tidak menentukan secara beturut-turut ataupun secara terpisah, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Wallahul Muwaffiq (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/391)

Yang Disyari’atkan adalah Mendahulukan Qadha’ (hutang Puasa Ramadhan) sebelum puasa 6 hari Syawwal
Pertanyaan : Apakah boleh berpuasa 6 hari Syawwal sebelum melaksanakan kewajiban mengqadha’ (membayar hutang) puasa Ramadhan?

Jawab : Para ‘ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Pendapat yang benar adalah bahwa yang disyari’at mendahulukan qadha’ sebelum puasa 6 hari Syawwal dan puasa-puasa sunnah lainnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Barangsiapa yang mendahulukan puasa 6 hari Syawwal sebelum mengqadha` maka dia belum memenuhi syarat mengikutkan puasa 6 hari Syawwal dengan puasa Ramadhan, tapi baru mengikutkannya dengan sebagian puasa Ramadhan.

Dan juga karena puasa qadha` adalah fardhu, sedangkan puasa 6 hari Syawwal adalah tathawwu’ (sunnah/tidak wajib). Yang fardhu lebih berhak untuk dipentingkan dan diperhatikan. Wabillahit Taufiq.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/392)

Hukum Mengqadha` Puasa 6 hari Syawwal setelah bulan Syawwal berlalu
Pertanyaan : Seorang wanita biasa berpuasa 6 hari Syawwal setiap tahun. Pada suatu tahun dia mengalami nifas karena melahirkan pada awal bulan Ramadhan, dan tidaklah ia suci/selesai dari nifasnya kecuali setelah keluar dari bulan Ramadhan. Kemudian setelah ia suci tersebut, ia melaksanakan Qadha’ puasa Ramadhan. Apakah harus baginya untuk mengqadha’ puasa 6 hari syawwal sebagaimana ia mengqadha’ Ramadhan, meskipun itu sudah di luar bulan Syawwal? Ataukah tidak ada wajib atasnya kecuali qadha` Ramadhan? Dan apakah puasa 6 hari Syawwal tersebut harus dilakukan terus menerus (setiap tahun) ataukah tidak?

Jawab : Puasa 6 hari Syawwal adalah sunnah, bukan fardhu. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak mengapa melakukan puasa 6 hari tersebut secara berturut-turut atau boleh juga secara terpisah-pisah, karena kemutlakan redaksinya.

Dan menyegerakan pelaksanaannya afdhal (lebih utama), berdasarkan firman Allah :
وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَىٰ
dan aku bersegera kepada-Mu. Wahai Rabb-ku, agar Engkau ridha (kepadaku)”. (Tha-ha : 84)

juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah yang menunjukkan keutamaan berlomba dan bersegera kepada kebaikan.

Dan tidak wajib terus-menerus dalam melaksanakan puasa 6 hari tersebut, namun jika dilaksanakan terus menerus itu lebih utama. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang dilakukan secara terus menerus oleh pelakunya meskipun sedikit.” Muttafaqun ‘alaihi.

Tidak disyari’atkan mengqadha` puasa 6 hari tersebut jika telah berlalu/lewat bulan Syawwal, karena itu adalah ibadah sunnah yang telah berlalu waktunya. Baik ia meninggalkannya karena udzur atau pun tidak karena udzur (sama-sama tidak ada qadha`).
Wallahu waliyyut Taufiq
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi`ah XV/388-389
* * *

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan : Apakah ada keutamaan shaum 6 hari Syawwal? Apakah melaksanakannya secara terpisah atau harus berturut-turut?

Jawab : Ya, ada keutamaan puasa 6 hari Syawwal. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Yakni seperti puasa setahun penuh.

Namun yang perlu diperhatikan bahwa keutamaan tersebut tidak akan terwujud kecuali apabila seseorang telah selesai dari melaksanakan puasa Ramadhan seluruhnya. Oleh karena itu, apabila seseorang berkewajiban mengqadha` Ramadhan, maka dia harus melaksanakan puasa qadha’ tersebut lebih dahulu, baru kemudian dia berpuasa 6 hari Syawwal. Kalau dia berpuasa 6 hari Syawwal namun belum mengqadha’ hutang Ramadhan, maka dia tidak memperoleh keutamaan tersebut, baik kita berpendapat dengan pendapat yang menyatakan sahnya puasa sunnah sebelum melakukan qadha` atau kita tidak perpendapat demikian.

[2] Yang demikian karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan … “

Adapun orang yang masih punya kewajiban mengqadha’ (membayar hutang puasa) Ramadhan, maka dia dikatakan ‘berpuasa sebagian Ramadhan‘, tidak dikatakan “berpuasa Ramadhan“

Dan boleh melaksanakannya secara terpisah-pisah atau pun secara berturut. Namun berturut-turut lebih utama, karena padanya terdapat sikap bersegera menuju kepada kebaikan, dan tidak terjatuh pada sikap menunda-nunda, yang terkadang menyebabkan tidak melakukan puasa sama sekali.

Pertanyaan : Apakah bisa diperoleh pahala puasa 6 hari Syawwal bagi barangsiapa yang masih memiliki tanggungan qadha’ Ramadhan, namun ia mengerjakan puasa tersebut sebelum melakukan puasa qadha`?

Jawab : Puasa 6 hari Syawwal tidak akan diperoleh pahala/keutamaanya kecuali jika seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Barangsiapa yang masih memiliki kewajiban mengqadha’ Ramadhan, maka dia jangan berpuasa 6 hari Syawwal kecuali melaksakan puasa qadha’ Ramadhan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan … “

Atas dasar itu, kita katakan kepada orang yang masih punya kewajiban qadha’, “Laksanakan puasa qadha’ terlebih dahullu, kemudian baru lakukan puasa 6 hari Syawwal.”

Bila telah selesai bulan Syawwal sebelum ia sempat berpuasa 6 hari, maka ia tidak bisa memperoleh keutamaan tersebut, kecuali apabila karena udzur.

Bila pelaksanaan puasa 6 hari Syawwal ini bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka dia dia bisa memperoleh dua pahala sekaligus dengan niat mendapatkan pahala puasa 6 hari Syawwal dan pahala puasa Senin – Kamis. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal-amal itu harus dengan niat. Dan bagi masing-masing orang akan mendapat apa yang ia niatkan.”.

Pertanyaan : Apakah boleh seseorang memilih melakukan puasa 6 hari Syawwal, ataukah 6 hari tersebut ada waktu tertentu? Dan apakah jika seorang muslim melaksakana puasa 6 hari tersebut kemudian menjadi kewajiban atasnya dan wajib melaksanakannya setiap tahun?

Jawab : telah sah riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.
6 hari tersebut bukanlah hari-hari tertentu/terbatas dari bulan Syawwal. Namun boleh bagi seorang mukmin untuk memilihnya. Jika mau dia boleh berpuasa pada awal bulan, jika mau boleh berpuasa pada pertengahan bulan, dan jika mau boleh berpuasa pada akhir bulan, jika mau boleh mengerjakannhya secara terpisah-pisah. Sifatnya longgar, bihamdillah.

Jika dia bersegera mengerjakannya secara berturut-turut pada awal bulan, maka yang dimikian afdhal (lebih utama) karena termasuk bersegera pada kebaikan. Namun tidak ada kesempitan dalam hal ini, bihamdillah, bahkan sifatnya longgar. Jika mau berturut-turut, jika mau maka boleh terpisah-pisah. Kemudian jika dia mengerjakannya pada sebagian tahun, dan tidak mengerjakannya pada sebagian tahun lainnya, maka tidak mengapa. Karena itu ibadah tathawwu’ (sunnah), bukan ibadah fadhu.
(Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin XX/5-8)

[1] Yakni selain tanggal 1 Syawwal (pentj)
[2] Yakni ada satu permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ‘ulama, apakah boleh/sah berpuasa sunnah sebelum mengqadha’Ramadhan. Namun permasalahan puasa 6 hari Syawwal sebelum mengqadha’ Ramadhan ini adalah permasalahan lain di luar permasalahan pertama. Karena masalah puasa 6 hari Syawwal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyarakat harus berpuasa Ramadhan secara penuh terlebih dahulu. (pentj)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=366#more-366)



Tuesday, August 14, 2012

Download Kajian "Nasehat Ramadhan" Oleh : Al-Ustadz Khidir Bin Muhammad Sunusi Hafizhahullah

Download Kajian
"Nasehat Ramadhan"
Oleh :
Al-Ustadz Khidir Bin Muhammad Sunusi Hafizhahullah



Catatan : Perubahan format file dari sumber aslinya, format amr menjadi mp3 dengan bitrate 24 kbps




Sunday, August 12, 2012

Tuntunan Hari Raya Di Dalam Islam

MERAIH PAHALA DIHARI PENUH BAHAGIA
 
Hari Raya, merupakan hari yang dinanti oleh seluruh kaum muslimin di mana saja, setelah mereka melangsungkan ibadah sebulan lamanya dibulan ramadhan,maka merekapun merasakan kebahagiaan dihari raya, yang merupakan hari yang dihalalkan oleh Allah Azza Wajalla kepada hamba-hamba-Nya untuk bergembira, bermain, dan menikmati berbagai jenis makanan dan minuman, dan melarang untuk berpuasa dihari tersebut. 
 
Tatkala Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam datang ke kota Madinah, dalam keadaan mereka memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main pada dua hari tersebut. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bertanya :
hari apakah ini? Mereka menjawab : ini adalah dua hari yang kami suka bermain-main padanya di jaman jahiliyah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
"Sungguh Allah Azza Wajalla telah menggantikan kalian dengan yang lebih baik darinya, yaitu idul fitr dan idul adha."
(HR. ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu )

Pada edisi kali ini, kami akan memaparkan secara ringkas beberapa hukum yang berkenaan tentang hari raya idul fitri.


HUKUM SHALAT IDUL FITRI
Shalat idul fitri hukumnya fardhu ain, wajib bagi laki- laki maupun wanita yang tidak memiliki udzur, menurut pendapat yang paling kuat dari para ulama. Dengan beberapa dalil, diantaranya :

- hadits Ummu Athiyah Radhiallahu Anha bahwa Beliau berkata :
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kami Pada hari idul fitri dan idul adha : Untuk mengeluarkan para gadis, wanita haid dan para wanita pingitan (menuju lapangan shalat ied), adapun wanita haid mereka menjauhi shalat , dan mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin". Aku bertanya: wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab?. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab: hendaknya saudaranya meminjamkan kepadanya jilbab."
(muttafaq Alaihi, lafazh ini dalam riyawat Muslim).

Sisi pendalilan hadits ini dimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kepada para wanita untuk keluar, dan bahkan wanita pingitan yang tidak biasa keluar rumahpun diperintahkan untuk keluar, dan wanita yang tidak memiliki jilbabpun, dianjurkan untuk meminjam milik saudaranya agar keluar menuju lapangan ied, dan perintah yang datang dari Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- hukum asalnya adalah wajib.
- jika waktu shalat ied bertepatan dengan hari jum'at, maka hal tersebut menggugurkan kewajiban shalat jum'at, dan tidak ada yang menggugurkan sebuah kewajiban melainkan sesuatu yang juga wajib hukumnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
"telah berkumpul bagi kalian dihari ini dua hari raya, maka siapa yang ingin (melaksanakan shalat ied), maka itu mencukupinya dari shalat jum'at, dan kami tetap melaksanakan shalat jum'at."
(HR.Al-Hakim)


Tempat Pelakasanaan Shalat Ied
Shalat ied dilaksanakan ditanah lapang, hal ini berdasarkan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, bahwa Beliau keluar menuju tanah lapang pada hari raya idul fitri dan idul adha.
(Muttafaq Alaihi dari Abu Said Al-Khudri)
Tujuan dari pelaksanaan shala ied di tanah lapang adalah menampakkan syiar agama yang mulia ini. Namun apabila ada halangan seperti hujan dan semisalnya, maka diperbolehkan melaksanakannya di masjid. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh mayoritas ulama.


Waktu Pelasanaan Shalat Ied
Adapun waktu shalat ied adalah waktu dhuha, hal ini berdasarkan hadits abdullah bin Busr -Radhiallahu Anhu- bahwa tatkala beliau keluar untuk melaksanakan shalat idul fitri atau idul adha, Beliau mengingkari keterlambatan imam, dan berkata:
"Sesungguhnya kami dahulu diwaktu ini telah selesai melaksanakan shalat", dan itu diwaktu shalat dhuha.
(HR.Ahmad)
Berkata Ibnu Baththal: "Telah bersepakat para ahli fikih bahwa shalat ied tidak dikerjakan sebelum terbitnya matahari dan disaat sedang terbitnya, namun dibolehkan disaat telah dibolehkannya shalat sunnah." (fathul bari, Ibnu Hajar: 2/530)


Hal-hal yang dianjurkan sebelum shalat idul fitri
Ada beberapa amalan yang disyariatkan sebelum kita melaksanakan shalat idul fitri, diantaranya:
1) disunnahkan mandi, berhias dan memakai pakaian yang bagus - yang tidak menyelisihi syariat- , dan memaki wangi- wangian sebelum barangkat menuju shalat ied. Imam Bukhari menyebutkan bab dalam kitab shahihnya "bab: dua hari raya dan berhias padanya." lalu Beliau menyebutkan hadits Umar bin Khaththab -Radhiallahu Anhu-, disaat Beliau berkata kepada Nabi: "Belilah pakaian ini, engkau berhias dengannya dihari raya dan disaat para utusan datang mengunjungimu." (HR.Bukhari: 925)

Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar -Radhiallahu Anhu- bahwa Beliau memakai pakaiannya yang paling bagus Pada dua hari raya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dan Al-Baihaqi, Ibnu Hajar mensahihkan sanadnya dalam fathul Bari: 2/519)

Adapun bagi wanita, hendaknya menutup auratnya dengan jilbab yang syar'i, dan tidak dibolehkan memakai wangi-wangian ketika keluar rumah, berdasarkan sabda
Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- :
"Wanita yang mana saja jika dia memakai wangi-wangian lalu dia keluar rumah melewati suatu kaum sehingga mereka mencium baunya, maka dia pezina."
(HR.ahmad dan An-Nasaai, dari Abu Musa Al - Asy'ari -Radhiallahu Anhu-)
2) dihari raya idul fitri, disunnahkan makan sebelum berangkat menuju shalat ied, berbeda halnya pada hari idul adha, tidak dianjurkan makan sebelum berangkat menuju shalat.
Hal ini berdasarkan hadits Buraidah -Radhiallahu Anhu- berkata:

Adalah Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- tidak keluar dihari raya idul fitri hingga Beliau makan, dan Beliau tidak makan dihari raya idul adha hingga selesai shalat.
(HR.Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dengan sanad yang sahih)

Juga diriwayatkan dari Anas -Radhiallahu Anhu- berkata: "
Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- tidak berangkat menuju shalat idul fitri, hingga Beliau makan beberapa butir kurma, dan memakannya dalam hitungan ganjil."
(HR.Bukhari)

3) Disunnahkan berangkat menuju shalat ied dengan berjalan kaki jika hal tersebut memungkinkan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ali -Radhiallahu Anhu- bahwa Beliau berkata: termasuk dari sunnah, adalah keluar menuju shalat ied dengan berjalan kaki." (HR.tirmidzi)
4) disunnahkan berangkat menuju shalat melalui satu jalan, dan pulang melewati jalan yang berbeda. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir -Radhiallahu Anhu- berkata: bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- jika dihari raya, Beliau menyelisihi jalan ( berangkat lewat satu jalan, dan kembali lewat jalan yang lain)."
(HR.Bukhari)
5) dianjurkan memperbanyak takbir disaat keluar dari rumah menuju shalat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar -Radhiallahu Anhu- bahwa Beliau mengeraskan suara takbir disaat keluar dari rumahnya hingga tiba di tanah lapang, lalu Beliau terus bertakbir hingga datangnya imam.
(HR. daruquthni, Ibnu Abi Syaibah, Al-Faryabi, Al- baihaqi. Berkata Al-Albani: sanadanya bagus. Lihat: Irwa al-ghalil: 3/122)


TATA CARA PELAKSANAAN SHALAT IDUL FITRI

Shalat ied sebelum khutbah
Wajib hukumnya mendahulukan shalat ied, lalu diikuti dengan khutbah ied. Hal ini Berdasarkan hadits Ibnu Umar -Radhiallahu Anhu- berkata: Adalah Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- ,Abu Bakar dan Umar, mereka mengerjakan shalat Dua hari raya sebelum khutbah."
(muttafaq Alaihi)


Tanpa Shalat sunnah sebelum dan sesudah
Tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan sebelum shalat ied, dan tidak pula setelahnya, tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah shalat ied dikerjakan di tanah lapang atau di masjid. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas -Radhiallahu Anhu-, bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengerjakan shalat ied dua rakaat, Beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya." (muttafaq alaihi)
Namun jika pulang ke rumah, diperbolehkan shalat dua rakaat. Hal ini berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri -Radhiallahu Anhu- bahwa Beliau berkata: Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mengerjakan shalat apapun sebelum shalat ied, dan bila Beliau kembali ke rumahnya, maka Beliau mengerjakan shalat dua raka'at."
(HR.Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)


Shalat ied tanpa azan dan iqamat
shalat ied dikerjakan tanpa azan,tanpa iqamat, tanpa ucapan "ash-shalaatu jami'ah", dan tanpa panggilan apapun. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas -Radhiallahu Anhu- berkata: Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melaksanakan dua shalat ied tanpa azan dan iqamat. (muttafaq Alaihi)
Berkata Jabir bin Samurah : Aku mengerjakan shalat ied bersama Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bukan sekali dan bukan pula dua kali, tanpa azan dan iqamat." (HR.Muslim)
Berkata Jabir bin Abdullah: tidak ada azan, tidak ada iqamat, tidak ada panggilan apapun, dan tidak ada sesuatu apapun." (HR.Muslim)


7 takbir rakaat pertama, 5 takbir rakaat kedua
Disyariatkan dalam pelaksaan shalat ied melakukan 7 kali takbir pada rakaat pertama, dan takbiratul ihram termasuk dalam hitungan tujuh , dan 5 kali takbir pada rakaat kedua, tidak termasuk takbir ketika bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu Anha bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- bertakbir pada shalat idul fitri dan idul adha, pada rakaat pertama tujuh kali, dan pada rakaat kedua lima kali."
(HR.Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya, dari Aisyah Radhiallahu Anha.Hadits ini sahih dengan beberapa jalur riwayat yang menguatkannya. Disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa: 3/639)
Demikian pula riwayat dari Atha' dari Ibnu Abbas -Radhiallahu Anhu- bahwa Beliau bertakbir pada shalat hari raya, pada rakaat pertama tujuh kali takbir dengan takbir pembuka (takbiratul ihram,pen), dan pada rakaat kedua enam kali takbir dengan takbir rakaat (yang dimaksud adalah takbir bangkit dari sujud), seluruhnya dilakukan sebelum bacaan."
(Diriwayatkan oleh Abu Bakar Bin Abi Syaibah dengan sanad yang sahih)

Dan disyariatkan untuk mengangkat tangan pada setiap kali takbir tersebut, menurut pendapat yang paling sahih dari para ulama, berdasarkan hadits Ibnu Umar -Radhiallahu Anhu- tatkala Beliau menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- , Beliau berkata: "....dan Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir yang Beliau ucapkan sebelum ruku' hingga selesai shalatnya."
(HR.Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya dari Ibnu Umar -Radhiallahu Anhu-)

Tidak ada dzikir tertentu yang diucapkan disela-sela takbir tambahan tersebut. Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah: " Tidak diketahui dari Beliau ( Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- ) ada zikir khusus diantara takbir- takbir tersebut, namun disebutkan dari Ibnu Mas'ud -Radhiallahu Anhu- bahwa Beliau memuji Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- ."
(zadul ma'ad,Ibnul Qayyim: 1/443, lihat pula Irwaul ghalil,Al-Albani: 3/114-115)


Bacaan surah dihari raya
Dalam shalat hari raya idul fitri dan idul adha, dianjurkan membaca pada rakaat pertama surah Qaaf, dan pada rakaat kedua surah Al-Qamar, atau pada rakaat pertama membaca surah Al-A'la, dan pada rakaat kedua membaca surah Al-Ghasyiyah. Diriwayatkan Imam Muslim dari hadits Abu Waqid Al-Laitsi -Radhiallahu Anhu- bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- membaca pada shalat idul fitri surah Qaaf dan "Iqtarabatis saa'ah (surah Al-Qamar).
Diriwayatkan pula oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dari sahabat Samurah bin Jundub -Radhiallahu Anhu- bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam membaca pada dua shalat ied dengan "sabbihisma rabbikal a'la" dan " hal ataaka haditsul ghasyiyah."


Nasehat dalam Khutbah
Hendaknya bagi para khatib idul fitri untuk mengisi khutbahnya dengan materi bahasan yang menambah ketaqwaan seorang hamba dalam beribadah kepada-Nya, dan menjauhkan diri dari membahas hal- hal yang mengandung unsur politik, dan yang semisalnya yang tidak sejalan dengan tujuan disyariatkannya khutbah tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dari hadits Jabir -Radhiallahu Anhu- bahwa Rasulullah -Shallallahu Alaihi Wasallam- dalam khutbahnya, memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah -Azza Wajalla-, dan menganjurkan untuk taat kepada-Nya, menasehati manusia dan memberi peringatan kepada mereka."

Semoga tuntunan ringkas ini memberi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, Amin.


Ditulis oleh:
Abu Muawiyah Askari bin Jamal
19 ramadhan 1433 H

Selesai ditulis di atas pesawat, dalam perjalanan umrah dari Abu Dabi menuju Jeddah.
Semoga Allah menerima amalan ibadah kita.


 

 

by blogonol