Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Monday, October 29, 2012

Download Rekaman Kajian (Galangan Kapal Makassar) "Kitab Al-Qaulus Sadid Syarah Kitabut Tauhid" Oleh : Ust. Khidir M Sunusi Hafizhahullah

Download Rekaman Kajian & Kitab
"Al-Qaulus Sadid Syarh Kitabut Tauhid
karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Si’di"
Oleh :
Al-Ustadz Khidir Bin Muhammad Sunusi hafizhahullah

1. Download Kitab disini : Format PDF atau Format Word
2. Download Audio Kajian : Klik Disni

Sumber : http://aasiraj.wordpress.com/2012/10/29/rekaman-kajian-kitab-al-qaulus-sadid-syarh-kitabut-tauhid-oleh-ust-khidir-m-sunusi-di-jalan-galangan-kapal-makassar-beserta-kitab/#comment-355


Sunday, October 28, 2012

Download Rekaman Kajian Boyolali "Motivasi Untuk Bersatu & Meninggalkan Perpecahan" Oleh : Ust. Abdul Mu'thi Al-Maidani Hafizhahullah


Download Rekaman Kajian Boyolali
"MOTIVASI UNTUK BERSATU & MENINGGALKAN PERPECAHAN"
Oleh :
Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidani Hafizhahullah

Klik Link Di bawah Ini :


Sumber : http://aasiraj.wordpress.com/2012/10/28/rekaman-motivasi-untuk-bersatu-meninggalkan-perpecahan-ust-abdul-muthi-al-maidani-12-dzulhijjah-1433-h-28-okt-2012/


Saturday, October 27, 2012

Hidup Tanpa Tuduhan

              ditulis oleh Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai
 
            Pahit rasanya hidup ini saat dituduh melakukan ini dan itu. Dituduh telah mengucapkan kata yang bukan-bukan. Sesuatu yang tidak pernah diperbuat karena buruk dan cela,malah ditimpakan kepada kita. Prasangka-prasangka buruk seolah tiada pernah berakhir. Pernah dituduh? Pernah disangka ternyata keliru? Bersabarlah dan sikapi dengan positif,niscaya Anda tetap bahagia.

            Dahulu,pada masa Bani Israil,kaum laki-laki mandi bersama sambil telanjang. Tanpa ada rasa malu dan jijik,sama sekali tidak ada pelapis yang membalut tubuh. Satu sama lain bisa melihat dan menyaksikan aurat orang lain. Padahal ajaran para nabi,termasuk juga Islam,membimbing untuk menjaga aurat walau di hadapan sesama jenis.

            Berbeda dengan nabi Musa,beliau mandi seorang diri dengan bersembunyi dan menutup diri. Tidak ada seorang pun yang bisa menyaksikan nabi Musa yang sedang mandi.Seperti itulah seorang mukmin! Ia berani melawan arus kebatilan, ia tegar dalam kebenaran. Saat kebanyakan orang tenggelam dalam kemunkaran,ia serasa “terasing” di atas hidayah. Berbahagialah Anda,wahai orang yang terasing!

            Nabi Musa pun tak lepas dari tuduhan. Saat beliau bertekad menjaga kehormatan diri,orang-orang tersebut malah menuduh,”Tidak ada alasan lain yang dipunya Musa untuk tidak mandi bersama-sama kita kecuali karena Musa termasuk orang aadar![1]”. Allah pun membela Musa. Allah membela dengan menggunakan cara yang dipilih Nya. Di luar nalar dan bayangan kita. Masya Allah! Hamba yang beriman dan bertakwa pasti akan dibela oleh Dzat Yang Maha Kuasa.

            Suatu hari,nabi Musa mandi seorang diri.Beliau meletakkan seperangkat pakaian miliknya di atas sebuah batu. Lalu apa yang terjadi? Batu itu berlari dan sungguh-sungguh berlari.Ajaib dan benar-benar ajaib! Batu itu terus berlari,melarikan pakaian milik Musa.

            Dari arah belakangnya,Musa akhirnya pun berlari mengejar. Sambil bersuara memanggil,Musa terus mengejar,”Wahai batu,berikan pakaianku! Wahai batu,berikan pakaianku!”. Terjadilah peristiwa kejar-kejaran antara sebuah batu dengan seorang nabi mulia.Peristiwa luar biasa!
            Aksi kejar-kejaran itu pun akhirnya disaksikan oleh orang-orang Bani Israil dan terjadi di hadapan mata orang-orang yang menuduh nabi Musa sebagai seorang aadar.Mereka pun melihat aurat nabi Musa.Akhirnya mereka pun sadar dan berujar,”Demi Allah,ternyata Musa tidak memiliki cacat! Ternyata,Musa sempurna fisiknya!”

            Batu itu pun berhenti dan diam.Nabi Musa segera meraih dan menggunakan pakaiannya. Lalu Musa memukul batu tersebut hingga terpecah menjadi enam atau tujuh bagian.[2]

            Saudaraku,hidup tidak mungkin bebas dari tuduhan.Itulah kehidupan dunia! Tiada yang sempurna.Bagi seorang mukmin,kala datang tuduhan-tuduhan,ia akan berpikir positif. Mudah-mudahan menjadi kaffarah (pembersih) atas dosa yang ada. Semoga menjadi sebab untuk meraih derajat mulia.Dan semoga lulus sebagai hamba yang teruji.

            Sisi yang lain.Selama seorang hamba beriman dan bertakwa,Allah yang akan membelanya. Allah tidak rela dan tidak akan membiarkan hamba Nya disakiti. Allah pasti akan menghiburnya. Itu pasti!  Salah satu buktinya adalah kisah nabi Musa di atas. Apakah sebab gerangan,Allah membela Musa? Jawabnya ada di dalam firman Nya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَكُونُوا كَالَّذِينَ ءَاذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِندَ اللهِ وَجِيهًا
            Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat disisi Allah. (QS. 33:69)

            Kunci sukses untuk menghadapi semua tuduhan adalah menjadi hamba yang terhormat di sisi Allah.Dengan memiliki kunci sukses semacam ini,Allah yang akan membela dan membersihkan nama baik seorang hamba. Dengan cara yang dipilih Nya!

            Keajaiban yang terjadi pada Musa juga terjadi pada Maryam bintu ‘Imran. Pada saat Maryam menyerahkan diri dan menghabiskan hidup untuk Allah dalam kekhsuyu’an ibadah,malaikat Jibril datang dalam sosok seorang manusia. Jibril memberitakan tentang keputusan Allah,”Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci”.

           Maryam pun mengandung. Setelah mengalami masa-masa sulit,lahirlah Isa bin Maryam.Kemudian,Maryam menggendong Isa untuk menemui kaumnya. Di sanalah muncul tuduhan keji terhadap Maryam ‘alaihas salaam.Dan siapakah orangnya yang bebas dari tuduhan? Hidup tak akan mungkin bebas dari tuduhan.Hanya bagaimanakah kita bersikap?

                Orang-orang itu mengatakan,”
يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina”. (QS. 19:27-28)

            Kembali Allah menampakkan kekuasaan Nya. Allah pun membela Maryam.Allah membela dengan menggunakan cara yang dipilih Nya. Di luar nalar dan bayangan kita.Masya Allah! Hamba yang beriman dan bertakwa pasti akan dibela oleh Dzat Yang Maha Kuasa. Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata:”Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan??”

            Berkata Isa:
إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia manjadikan aku seorang nabi. Dan dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup,dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS. 19:30-32)

            Subhanaallah! Bayi bisa berbicara.Bayi yang masih berada dalam buaian ibunya mampu menjelaskan kenyataan dan kejadian yang sesungguhnya. Subhaanallah! Bayi itu berbicara untuk membebaskan ibunya dari tuduhan-tuduhan keji. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk nabi Isa bin Maryam. Apakah sebab gerangan,Allah membela Maryam? Jawabnya ada di dalam firman Nya,
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. (QS. 66:12)

            Kunci sukses untuk menghadapi semua tuduhan adalah menjadi hamba yang taat. Dengan memiliki kunci sukses semacam ini,Allah yang akan membela dan membersihkan nama baik seorang hamba. Dengan cara yang dipilih Nya!

            Said bin Zaid adalah sahabat Rasulullah.Pernah ada seorang wanita menuduh beliau telah merampas tanah miliknya.Apa yang dilakukan oleh Said?

            Said menanggapi,”Bagaimana mungkin aku melakukannya? Sementara aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ طُوِّقَهُ فِي سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
            “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah tanpa alasan yang benar,akan dikalungkan kepadanya pada hari kiamat setujuh lapis bumi”[3]

            Said juga mengatakan,”Biarkan saja dia menuduh! Ya Allah,jika wanita ini berdusta,butakanlah matanya! Jadikanlah tanah itu sebagai kuburnya!”

            Selanjutnya,wanita itu pun menjadi buta,berjalan sambil merayapkan tangan di dinding-dinding.Suatu hari,ia terjatuh ke dalam sumur rumahnya.Dan sumur itu pun menjadi kuburnya.

            Subhaanallah!
            Maka dari itu,janganlah mudah menuduh.Jangan cepat mengikutkan perasaan! Berbicara dan bersikaplah di atas bukti kuat dan data yang akurat. Selalulah berprasangka baik! Barangkali,selama ini kita lah yang menjadi pihak penuduh. Sudah berapa banyak orang yang pernah obyek tuduhan dari lisan kita? Mungkin,orang-orang yang tertuduh itu pernah mendoakan kejelekan untuk kita.
Allahumma sallim
Solo,3 Dzulqa’dah 1433 H

[1] Dua biji pelirnya besar (Syarah Nawawi)
[2] Hadits Abu Hurairah riwayat Bukhari dan Muslim
[3] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

Sumber :  http://www.salafy.or.id/hidup-tanpa-tuduhan/


Thursday, October 25, 2012

Apabila Hari Raya ‘Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at

oleh: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan : 
Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?

Jawab : 
Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘id berjama’ah bersama imam gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at, dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat zhuhur. Ini berlaku bagi selain imam.

Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali. (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44)

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta` Fatwa no. 2358

Pertanyaan : 
Pada tahun ini bertemu dalam sehari dua hari raya, yaitu : Hari Jum’at dan ‘Idul Adh-ha. Manakah yang benar : Kita tetap melaksanakan shalat zhuhur jika kita tidak shalat Jum’at, ataukah kewajiban shalat zhuhur gugur apabila kita tidak shalat Jum’at?

Jawab : Barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jum’at bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jum’at, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id. Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jum’at darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur.

(Para ‘ulama yang berpendapat demikian) berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata :

« شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال: أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل، »
Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Bagaimana yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan, Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” [1]

Juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
« قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون »
Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id). [2]

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa rukhshah (keringanan) tersebut untuk shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘Id pada hari tersebut.

Sekaligus diketahui bahwa tidak berlaku rukhshah bagi imam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut, “Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id).” Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma :

« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat Jum’at bagi yang telah menunaikan shalat ‘Id, maka tetap wajib atasnya untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`,Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Wakil Ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan, Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud.

Adapun dalam fatwo 2140, Al-Lajnah menyatakan sebagai berikut :

Apabila ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugur kewajiban menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Id. Kecuali bagi imam, kewajiban shalat Jum’at tidak gugur darinya. Terkecuali apabila memang tidak ada orang yang berkumpul/hadir (ke masjid) untuk shalat Jum’at.

Di antara yang berpendapat demikian adalah adalah : Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam An-Nakha’i, Al-Imam Al-Auza’i. Ini adalah madzhab shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan : 
Apa hukum shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari ‘Id, apakah wajib menegakkannya atas seluruh kaum muslimin, ataukah hanya wajib atas sekelompok tertentu saja? Karena sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at berarti tidak ada shalat shalat Jum’at.

Jawab : Tetap wajib atas imam dan khathib shalat Jum’at untuk menegakkan shalat Jum’at, hadir ke masjid, dan shalat berjama’ah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat Jum’at pada hari ‘Id, beliau ‘alahish shalatu was salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jum’at sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al-Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang shahih dari beliau dalam kitab Shahih (Muslim).

Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjama’ah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.

Apabila dia melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jum’at, karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa, namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjama’ah. Wallahu Waliyyut Taufiq
(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XII/341-342)

Dalam fatwanya yang lain, ketika beliau mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur sekaligus, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :
“Ini juga merupakan kesalahan yang sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas hamba-hamba-Nya shalat 5 waktu dalam sehari semalam, dan kaum muslimin telah berijma’ atas kewajiban tersebut. Yang kelima pada hari Jum’at adalah kewajiban shalat Jum’at. 

Hari ‘Id apabila bertepatan dengan hari Jum’at termasuk dalam kewajiban tersebut. Kalau seandainya kewajiban shalat Zhuhur gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan hal tersebut. Karena ini merupakan permasalahan yang tidak diketahui oleh umat. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan shalat ‘Id dan tidak menyebutkan gugurnya kewajiban shalat Zhuhur, maka diketahui bahwa kewajiban (shalat Zhuhur) tersebut masih tetap berlaku. Berdasarkan hukum asal dan dalil-dalil syar’i, serta ijma’ (kaum muslimin) atas kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam.

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan shalat Jum’at pada (hari yang bertepatan dengan) hari ‘Id, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari shahabat An-Nu’man bin Basyir :

« أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما »
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Adapun apa yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id kemudian tidak keluar lagi baik untuk shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur, maka itu dibawa pada kemungkinan bahwa beliau memajukan shalat Jum’at, dan mencukupkan dengan itu dari mengerjakan shalat ‘Id dan shalat Zhuhur. Atau pada kemungkinan bahwa beliau berkeyakinan bahwa imam pada hari tersebut memiliki hukum yang sama dengan yang lainnya, yaitu tidak wajib keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, namun beliau tetap shalat Zhuhur di rumahnya. Kemungkinan mana pun yang benar, kalau pun taruhlah yang benar dari perbuatan beliau bahwa beliau berpendapat gugurnya kewajiban shalat Jum’at dan Zhuhur yang sudah shalat ‘Id maka keumuman dalil-dalil syar’i, prinsip-prinsip yang diikuti, dan ijma’ yang ada bahwa wajib shalat Zhuhur atas siapayang tidak shalat Jum’at dari kalangan para mukallaf, itu semua lebih dikedepankan daripada apa yang diamalkan oleh Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu. … .
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXX/261-262)
 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :

Kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwa ….

Kita katakan, Apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.

Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.

Ketiga, pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid).

Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil As-Sunnah. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb – Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

[1] HR. Ahmad (IV/372), Abu Dawud 1070, An-Nasa`i 1591, Ibnu Majah 1310. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Madini, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud – Al-Umm no. 981. (pent)

[2] HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud – Al-Umm no. 983.

Sumber :  http://www.mahadassalafy.net/2012/10/apabila-hari-raya-ied-bertepatan-dengan-hari-jumat.html#more-662


Daurah Aqidah Makassar “Kitab Tauhid” Karya Syaikh Muhammad At-Tamimy

Bismillah,
Dengan mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala semata,
Hadirilah!!!

Daurah Aqidah dengan mengkaji Kitab Tauhid
Karya Syaikh Muhammad At-Tamimy

Oleh Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi
(Pengasuh Mahad As-Sunnah Makassar)

Mulai 24 Dzulhijjah 1433 H hingga 4 Muharram 1434 H
9-18 November 2012 selama 10 hari.

Daurah ini dilaksanakan empat sesi setiap hari:
Sesi Pertama: 05.30-08.00
Sesi Kedua: 10.00-12.00
Sesi Ketiga: 16.30-18.00
Sesi Keempat: 19.30-21.00

Di Mahad As-Sunnah jln. Bajirupa No.8 Makassar
Terbuka Untuk Umum
Disiarkan Langsung di:
www.dzulqarnain.net
www.an-nashihah.com

Sumber :  http://dzulqarnain.net/daurah-aqidah-makassar-kitab-tauhid-karya-syaikh-muhammad-at-tamimy.html#.UIaCpAHzZp8.blogger


Wednesday, October 24, 2012

Download Rekaman Kajian "Tafsir Surah Al-Fajr" Oleh Ust. Salman Bin Mahmud Hafizhahullah

Tuesday, October 23, 2012

Disyari’atkannya Berpuasa 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Merupakan kenikmatan yang besar yang telah Allah ta'ala karuniakan kepada kaum muslimin, yaitu disaat mereka diberikan kesempatan untuk mendapati hari-hari yang telah dinyatakan oleh Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam sebagai hari-hari yang terbaik jikalau seorang hamba melakukan amalan-amalan keta'atan didalamnya.
 
Karena sungguh telah datang riwayat yang shahih dari sabda Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Al Imam At Tirmidzi dari sahabat yang mulia 'Abdullah bin 'Abbas Radiyallahu 'anhu, bahwasanya beliau 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda : 

مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

"Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala, melainkan sepuluh hari ini. Maka para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, tidak pula jika seorang berjihad di jalan Allah?", maka beliau menjawab : "Walaupun dia berjihad di jalan Allah, kecuali jika seorang yang pergi untuk berjihad dengan membawa jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali lagi dengan sesuatu apapun darinya."
Maka dalam hadits diatas menunjukkan kepada kita betapa mulianya hari-hari yang kita berada diatasnya saat ini, karena yang dimaksudkan sabda beliau (Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini), yaitu sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah.

Begitu pula dalam hadits yang mulia ini, ketika Rasulullah 'alaihi asshalatu wa assalam menyatakan (yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih), maka yang demikian mencakup seluruh amalan shalih dan keta'atan yang telah Allah ta'ala syari'atkan kepada para hamba-Nya di muka bumi ini. Apakah hal tersebut direalisasikan dengan senantiasa berusaha melaksanakan perintah-perintah-Nya ataukah dengan menjauhi seluruh perbuatan yang telah dilarang oleh-Nya.
Dan diantara amalan shalih yang telah Allahu 'azza wa jalla anjurkan kepada segenap hambanya adalah berpuasa pada hari-hari yang mulia ini (sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah), maka dalam tulisan yang ringkas ini, kami ingin meluruskan sebahagian keyakinan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin yang meyakini bahwa puasa yg dilakukan dan dikhususkan pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah ini merupakan amalan baru yang tidak pernah di amalkan oleh Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam dan tidak pernah pula dianjurkan oleh beliau. Dan konsekwensi dari perkara baru yang ada di dalam agama ini jika diamalkan oleh seorang muslim, maka tertolak apa yang dia kerjakan dari amalan tersebut. Allahul Musta'an.
Dengan memohon petunjuk dan pertolongan dari sisi Allah subhanahu wa ta'ala, kami akan menyebutkan permasalahan ini dari beberapa sisi, yaitu :

1. Maksud dari puasa di sepuluh hari pertama pada bulan dzul hijjah.

Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah puasa yang dikerjakan mulai tanggal satu hingga tanggal sembilan dari bulan tersebut. Karena tanggal sepuluh dzul hijjah merupakan hari raya kaum muslimin ('iedul adha), yang diharamkan bagi mereka untuk berpuasa padanya dan pada tiga hari setelahnya, yang dikenal dalam bahasa syar'i dengan hari-hari tasyrik, kecuali bagi mereka yang dikecualikan oleh syari'at islam maka diperbolehkan berpuasa pada hari-hari tasyrik tersebut. Dan Al Imam An Nawawi telah menjelaskan maksud ini dalam kitab beliau "Syarh Shahih Muslim" (8/320/1176).

Al Imam Ibn Rajab Al Hanbali berkata : 
" Perkara ini telah dikenal dengan berpuasa pada sepuluh hari (pertama) di bulan dzul hijjah, padahal puasa yang dilakukan hanyalah sembilan hari. Oleh karena itu Al Imam Ibnu Siriin membenci ketika disebut dengan puasa sepuluh hari di bulan dzul hijjah, bahkan beliau rahimahullah mengatakan bahwa (yang sesuai) dalam penyebutan adalah puasa sembilan hari. Tetapi mayoritas dari kalangan para ulama tidak membenci hal tersebut, karena penyandaran sepuluh hari pada bulan dzul hijjah maksudnya adalah puasa yang mungkin dilakukan oleh seseorang, selain dari hari raya ('iedul adha) tentunya, dan penyebutan sepuluh hari tersebut adalah secara mutlak, karena hari-hari yang diperbolehkan untuk berpuasa padanya lebih banyak dari hari yang dilarang."
(Latha"if Ma'arif/279).

2. Derajat Hadits
Bahwasanya hadits ini merupakan hadits yang shahih, yang telah diriwayatkan dari beberapa jalur riwayat dengan beberapa lafadz yang telah datang pada masing-masing riwayatnya. Hadits ini pun telah di shahihkan oleh sejumlah para 'ulama hadits. Diantara yang menshahihkan hadits ini adalah Al Imam Muslim, Al Imam At Tirmidzi, Al Imam Ibnu Khuzaimah, Al Imam Ibn Hibban, Al Imam An Nawawi, Al Imam Ibnul Qayyim, Al Imam Ibn Katsir, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy Syaikh Al Albani, dan Asy Syaikh Ibn Utsaimin.

Adapun pendalilan yang diambil dari hadits ini adalah pada kalimat (العمل الصالح), yang artinya amalan shalih. Maka ketika disebutkan hal itu secara umum oleh Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam, tentu mencakup ibadah puasa. Karena puasa merupakan bagian dari amalan shalih tersebut.

3. Perkataan Sebagian Para 'Ulama Berkaitan Dengan Hadits Abdullah bin Abbas Radiyallahu 'anhu :

ويستحب صيام عشر ذي الحجة، لِما روى ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ... )).اهـ

“Berkata Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi : "Disunnahkan bagi seseorang untuk melakukan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan bulan dzul hijjah, karena disana telah datang satu riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda (yang artinya) : "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini." (Al Kafi Fi Fiqhil Imam Al Mubajjal Ahmad bin Hanbal : 1/362).

فليس في صوم هذه التسعة كراهة، بل هي مستحبة استحباباً شديداً لاسيما التاسع منها، وهو يوم عرفة، وقد سبقت الأحاديث في فضله، وثبت في "صحيح البخاري" أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (( ما من أيام العمل الصالح فيها أفضل منه في هذه )) يعنى: العشر الأوائل من ذي الحجة.اهـ

Berkata Al Imam An Nawawi :
"Maka berpuasa sembilan hari (dzul hijjah) ini bukan perkara yang dibenci, bahkan sangat disunnahkan, terlebih lagi pada tanggal sembilan (dzul hijjah), yang merupakan hari arafah, dan telah dijelaskan apa-apa yang berkaitan dengan keutamaan hari tersebut. Dan telah diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidak ada hari-hari yang lebih utama ketika seorang beramal shalih didalamnya dibandingkan dengan hari-hari ini." Yaitu, sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah." (Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176).

"ما رأي سماحتكم في رأي من يقول صيام عشر ذي الحجة بدعة؟"
هذا جاهل يعلم، فالرسول صلى الله عليه وسلم حضَّ على العمل الصالح فيها، والصيام من العمل الصالح، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (( ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذلك بشيء )) رواه البخاري في الصحيح.اهـ
Telah ditanya Asy Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullah yang berkaitan dengan masalah ini ;
"Apa pendapat anda dengan mereka yang menyatakan bahwa berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah merupakan perkara bid'ah?",

Beliau menjawab :
"Ini adalah pendapat yang keliru yang harus diluruskan. Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini. Maka para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, tidak pula jika seorang berjihad di jalan Allah?", maka beliau menjawab : "Walaupun dia berjihad di jalan Allah, kecuali jika seorang yang pergi untuk berjihad dengan membawa jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali dengan sesuatu apapun darinya." (HR.Al Bukari)
(Majmu' Fatawa : 15/418-419).

وقد دل على فضل العمل الصالح في أيام العشر حديث ابن عباس المخرج في "صحيح البخاري"، وصومها من العمل الصالح، فيتضح من ذلك استحباب صومها.
Dan beliau rahimahullah berkata :
"Hadits Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari telah menunjukkan tentang keutamaan  beramal shalih pada sepuluh hari ini,dan berpuasa didalamnya termasuk dari amalan shalih yang disebutkan oleh beliau 'alaihi ashshalatu wa assalam. Maka jelas,berpuasa pada hari-hari ini merupakan perkara yang disunnahkan." (Majmu' Fatawa :15/418)

وهذا الحديث يعم الصيام والقراءة والتكبير
"Dan (amalan shalih) dalam hadits ini mencakup berpuasa, membaca (Al Quran), dan bertakbir."
(Ad Durarul Bahiyyah minal Fawaid Al Baziah : 1/91/2438).
4.  Penukilan dari sebagian ulama salaf dalam hal ini,

حدثنا معاذ بن معاذ عن ابن عون، قال: ( كَانَ مُحَمَّدٌ يَصُومُ الْعَشْرَ عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ كُلِّهِ )

Yang dinukilkan dari Al Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya beliau melaksanakan puasa pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah. ( Mushannaf Ibn Abi Syaibah : 9221).

عن جعفر بن سليمان عن هشام عن الحسن قال: ( صِيَامُ يَوْمٍ مِنَ الْعَشْرِ يَعْدِلُ شَهْرَيْنِ )

Penukilan dari Al Imam Hasan Al Bashri rahimahullah, bahwasanya beliau berkata :
"Berpuasa satu hari pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah setara dengan berpuasa selama dua bulan." (Mushannaf Abdir Razzaq : 8216). Dan sanadnya hasan insya Allah ta'ala.

5. Jawaban dari hadits Aisyah Radiyallahu 'anha,

(( مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ )).

"Sungguh aku tidak pernah melihat Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam berpuasa satu hari pun pada sepuluh (hari pertama bulan dzul hijjah)."

Telah dijelaskan maksud dari perkataan Aisyah diatas oleh para ulama, dan sebagian mereka menyebutkan bahwasanya perkataan tersebut memiliki beberapa kemungkinan, diantaranya adalah :

Pertama : Bahwa Rasul shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan ibadah puasa tersebut disebabkan karena sebab-sebab syar'i yang beliau miliki, seperti sakit, ataukah sakit, atau sebab lain yang menjadikan beliau tidak berpuasa. Dan diantara mereka yang menjelaskan hal ini adalah Al Imam Muslim dalam "Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176", dan Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam "Majmu' Fatawa: 15/418".
Kedua : Bahwa ibunda kita Aisyah radiyallahu 'anha tidak mengetahui puasa yang dilakukan oleh Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam, karena beliau memiliki waktu pembagian untuk bermalam di rumah-rumah istri beliau. Oleh karena itu, boleh jadi ketika bermalam di sisi Aisyah radiyallahu 'anha, beliau 'alaihi ash shalatu wa assalam tidak berpuasa pada hari tersebut. Dan kemungkinan ini telah disebutkan oleh beberapa Ahlul Ilm, diantaranya adalah Al Imam Abu Bakr Al Atsram dalam (Nasikhul Hadits Wa Mansukhih : 1176),dan Al Imam Ath Thabari dalam (Ghayatul Ihkam Fi Ahadits Al Ahkam : 4/472/8406).
Ketiga : Bahwa yang dimaksud oleh Aisyah radiyallahu 'anha adalah Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam tidak berpuasa pada sepuluh hari tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi beliau hanya mengerjakannya pada hari-hari tertentu saja. Dan yang menjelaskan hal ini adalah Al Imam Ahmad bin Hanbal dalam (Lathaiful Ma'arif : 368).
Dan pada akhirnya, kami cukupkan penjelasan yang ringkas ini yang berkaitan dengan disyari'atkannya berpuasa pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah dan puncak dari kemuliaan yang akan didapati oleh seorang muslim adalah ketika ia melaksanakan ibadah ini pada hari arafah yang jatuh pada tanggal sembilan dzulhijjah. Sungguh telah datang hadits yang shahih, ketika Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda :

عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال :" صيام يوم عرفه أحتسب على الله أنه يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده " [ رواه مسلم ]
"Berpuasa pada hari arafah, aku harapkan balasan dari Allah ta'ala berupa pengampunan dosa yang telah dilakukan setahun yang lalu, dan setahun yang akan datang." (HR.Muslim)

Maka apabila didalam tulisan yang ringkas ini terdapat kebenaran, sungguh hal tersebut datangnya dari Allah ta'ala dan pertolongan-Nya. Dan apabila disana terdapat kesalahan serta kekeliruan, sungguh hal tersebut dari kami sendiri yang hanya, merupakan manusia biasa yang tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kedhaliman.
Wallahu Ta'ala A'lam bi As Shawab Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina wa 'ala Alihi wa Ashabihi wa Man Tabi'ahum bi Ihsan ila Yaum Addin.
Ditulis Oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi bin Mugeni Karim Hafizhahumallohu.
Kota Madinah Al-Munawwarah 07-Dzulhijjah 1433 h
 
Sumber :  http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/135-disyari-atkannya-berpuasa-10-hari-pertama-bulan-dzulhijjah


Sunday, October 21, 2012

Hakikat Hati Manusia

Oleh Al Imam Ibnu Qudamah

Sesuatu yang paling mulia pada manusia adalah hati. Karena sesungguhnya hatilah yang mengetahui Allah I, yang beramal untuk-Nya, dan yang berusaha menuju kepada-Nya. Anggota badan hanya menjadi pengikut dan pembantu hati, layaknya seorang budak yang membantu raja. Barangsiapa mengetahui hakekat hatinya, ia akan mengetahui hakekat Rabb-Nya. Namun mayoritas manusia tidak mengetahui hati dan jiwanya.

Ketahuilah, bahwa hati, pada tabiat fitrahnya, mau menerima petunjuk. Tapi tetap ada syahwat dan hawa nafsu yang melekat padanya di mana hati juga akan cenderung kepadanya. Di sana, akan saling mengusir antara malaikat dan setan, terus berlangsung sampai hati itu membuka untuk salah satunya dan akhirnya menetap padanya. Sehingga pihak kedua tidak melewati hati itu kecuali sembunyi-sembunyi. Sebagaimana firman Allah :
“Dari kejahatan bisikan-bisikan yang tersembunyi”.

Yaitu yang jika disebut Allah I ia sembunyi, tapi kalau lalai ia merasa lega. Dan tidak ada yang mengusir setan dari hati kecuali dzikir kepada Allah I. Setan tidak akan tentram bersama dzikir.
Ketahuilah, permisalan hati seperti sebuah benteng, sedang setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. Dan orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu pula tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya.

Jalan-jalan masuk setan banyak jumlahnya, di antaranya hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik madzhab, berpikir sesuatu yang tidak dicapai akal, buruk sangka dengan kaum muslimin, dan lain-lain.

Seyogyanya seorang manusia menjaga dirinya dari sesuatu yang akan menjadikan orang berprasangka buruk kepadanya. Untuk mengobati kerusakan-kerusakan ini adalah dengan menutup pintu-pintu setan tersebut dengan membersihkan hati dan sifat-sifat jelek itu sehingga dengan bersihnya hati dari sifat-sifat itu berarti setan-setan hanya bisa lewat, tidak bisa menetap padanya. Untuk menghalangi lewatnya cukup dengan berdzikir kepada Allah I dan memenuhi hati dengan takwa.

Perumpamaan setan itu seperti anjing lapar yang mendekatimu. Kalau kamu tidak punya makanan dia akan pergi hanya diusir dengan kata-kata. Tapi kalau kamu punya makanan sedangkan dia lapar, dia tidak akan pergi hanya dengan ucapan. Begitupula hati yang tidak memiliki makanan untuk setan, setan itu akan pergi hanya dengan dzikir.

Sebaliknya hati yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, dia menjadikan dzikir itu hanya sambilan sehingga tidak mapan di tengahnya. Maka setanlah yang akhirnya menetap di tengahnya.

Jika kamu ingin tahu kebenarannya, perhatikan yang demikian ini pada shalatmu. Lihatlah bagaimana setan mengajak bincang-bincang dengan hatimu di saat semacam ini, dengan mengingatkan pasar, penghasilan/ gaji , urusan dunia, dan lain-lain.

Wallahu ta’ala a’lam.
(Diterjemahkan dan diringkas dari Mukhtasar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah hal. 193-195 oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Sumber :  http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?no=348


Wednesday, October 17, 2012

Tabligh Akbar Makassar Sabtu, 4 Dzulhijjah 1433 H / 20 Oktober 2012 M : "Mendulang Pahala Di Bulan Dzulhijjah" Bersama Ust. Ibnu Yunus Hafizhahullah

Bismillah...
  Alhamdulillah Kabar Gembira Bagi Warga Makassar & Sekitarnya!!!

InsyaALLAH akan dilaksanakan TABLIGH AKBAR pada :

Hari & Tanggal : Sabtu, 4 Dzulhijjah 1433 H / 20 Oktober 2012 M
Waktu : 09.00 AM - 03.00 PM WITA insyaALLAH
Tempat : AUDITORIUM AL-AMIEN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR, JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 59 MAKASSAR

Materi :  
"MENDULANG PAHALA DI BULAN DZULHIJJAH"

Adapun Pemateri adalah 
Al-Ustadz Ibnu Yunus Al-Makassari
(Mudir Ma’had Al-Ihsan, Kelurahan Bonto Manai, Kec Bontomarannu, Kab Gowa & Alumni Jamiah Al-Ulum Al-Atsariyyah, Pakistan)

Terbuka Untuk Umum (ikhwan & Akhwat)

Dengarkan Live -InsyaAllah- Di radio ABI (Ayo Belajar Islam) :http://radioabi.co.cc/

SUPPORTED BY : Binmas Makassar ( BADAN KOORDINASI MAHASISWA SALAFY)
Sumber : Al-Akh  Abu Zubair Bin Abdul Karim


Tuesday, October 16, 2012

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Definisi
Al-Imam Al-Jauhari menukil dari Al-Ashmu’i bahwa ada 4 bacaan pada kata
اضحية
1. Dengan mendhammah hamzah:
أُضْحِيَّةٌ
2. Dengan mengkasrah hamzah:
إِضْحِيَّةٌ
Bentuk jamak untuk kedua kata di atas adalah
أَضَاحِي
boleh dengan mentasydid ya` atau tanpa mentasydidnya (takhfif).
3.
ضَحِيَّةٌ
dengan memfathah huruf dhad, bentuk jamaknya
ضَحَايَا
4.
أَضْحَاةٌ
dan bentuk jamaknya adalah
أَضْحَى

Dari asal kata inilah penamaan hari raya
أَضْحَى
diambil. Dikatakan secara bahasa:
ضَحَّى يُضَحِّي تَضْحِيَةً فَهُوَ مُضَحٍّ
Al-Qadhi t menjelaskan: “Disebut demikian karena pelaksanaan (penyembelihan) adalah pada waktu
ضُحًى
(dhuha) yaitu hari mulai siang.”

Adapun definisinya secara syar’i, dijelaskan oleh Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq Al-‘Azhim Abadi   dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud (7/379): “Hewan yang disembelih pada hari nahr (Iedul Adha) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l.” (Lihat Al-Majmu’ 8/215, Syarah Muslim 13/93, Fathul Bari 11/115, Subulus Salam 4/166, Nailul Authar 5/196, ‘Aunul Ma’bud 7/379, Adhwa`ul Bayan 3/470).

Syariat dan Keutamaannya

Dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.

Adapun dari Al-Qur`an, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Menurut sebagian ahli tafsir seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, ‘Atha`, dan yang lainnya,  dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan qurban.

Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470) menegaskan: “Tidak samar lagi bahwa menyembelih hewan qurban masuk dalam keumuman ayat ”

Juga keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)

Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab Fathur Rabbil Wadud (1/370) berhujjah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat menyembelih hewan qurban. Beliau menjelaskan: “Kata ÇáúÈõÏúäó mencakup semua hewan sembelihan baik itu unta, sapi, atau kambing.”

Adapun dalil dari As-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda beliau adalah hadits Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 5545 dan Muslim no. 1961/7)

Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi leher kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5554 dan Muslim no. 1966, dan lafadz hadits ini milik beliau)

Adapun ijma’ ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Kabir (5/157) -Mughni-, Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (5/196) dan Asy-Syinqithi rahimahullahu dalam Adhwa`ul Bayan (3/470)1. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya.

Adapun keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Berqurban merupakan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Hajj ayat 36.

2. Berqurban merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan dan melaksanakannya. Maka setiap muslim yang berqurban seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang mulia ini.

3. Berqurban termasuk ibadah yang paling utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (Al-An’am: 162-163)

Juga firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Sisi keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”

Beliau mengatakan lagi: “Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan keduanya dalam firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’am: 162)

Walhasil, shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat.”

Hukum Menyembelih Qurban

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih qurban hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila masuk 10 hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih qurban maka janganlah dia mengambil (memotong) rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim 1977/39)

Sisi pendalilannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan ibadah qurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sedangkan perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapapun. Menyembelih hewan qurban berubah menjadi wajib karena nadzar, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah dia menaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari no. 6696, 6700 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Faedah: Atas nama siapakah berqurban itu disunnahkan?

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullahu menjawab: “Disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati. Oleh sebab itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berqurban atas nama seorangpun yang telah mati. Tidak untuk istrinya, Khadijah radhiyallahu ‘anha, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah radhiyallahu ‘anhu, paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari beliau. Beliau hanya berqurban atas nama diri dan keluarganya. Dan barangsiapa yang memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga), maka pendapatnya masih ditoleransi. Namun berqurban atas nama yang mati di sini statusnya hanya mengikuti, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itu, tidak disyariatkan berqurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak warid (datang) riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424 cet. Darul Atsar, lihat pula hal. 389-390)

Berqurban atas nama sang mayit hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:
 
1. Bila sang mayit pernah bernadzar sebelum wafatnya, maka nadzar tersebut dipenuhi karena termasuk nadzar ketaatan.

2. Bila sang mayit berwasiat sebelum wafatnya, wasiat tersebut dapat terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang mayit. (Lihat Syarh Bulughil Maram, 6/87-88 karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Hadits yang menunjukkan kebolehan berqurban atas nama sang mayit adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2790) dan At-Tirmidzi (no. 1500) dari jalan Syarik, dari Abul Hasna`, dari Al-Hakam, dari Hanasy, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dhaif karena beberapa sebab:

1. Syarik adalah Ibnu Abdillah An-Nakha’i Al-Qadhi, dia dhaif karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai qadhi (hakim).

2. Abul Hasna` majhul (tidak dikenal).

3. Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir Ash-Shan’ani, pada haditsnya ada kelemahan walau dirinya dinilai shaduq lahu auham (jujur namun punya beberapa kekeliruan) oleh Al-Hafizh dalam Taqrib-nya.

Dan hadits ini dimasukkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (2/844) sebagai salah satu kelemahan Hanasy.

Adapun bila ada yang berqurban atas nama sang mayit, maka amalan tersebut dinilai shadaqah atas nama sang mayit dan masuk pada keumuman hadits:
“Bila seseorang telah mati maka terputuslah amalannya kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah….” (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Wallahul muwaffiq.

Footnote :
1 Juga Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam Fathur Rabbil Wadud (1/370).

Sumber : http://www.salafy.or.id/qurban-keutamaan-dan-hukumnya/

 

Adab-Adab Seorang Tholib Terhadap Dirinya

“Membersihkan hati dari kedengkian, dendam dan hasad serta
jeleknya keyakinan atau akhlak agar dengan itu dapat menerima
ilmu dan menghafalnya dengan baik.”

“Memiliki niat yang baik dalam tholabul ilmi dengan bertujuan
meraih keridhoan Alloh Ta’ala dan mengamalkanya serta
menghidupkan sunnah, menerangi hatinya dan mengisi
batinnya.”

“Bersegera untuk mencapai ilmu di waktu muda, jangan
terpengaruh dengan tipuan orang-orang yang mengulur-ngulur
(waktunya) karena setiap waktu yang telah lewat dari umur
tidak ada penggantinya.

“Merasa cukup dengan makanan yang didapat dan pakaian yang
dimiliki meski telah usang. Kesabaran atas kesulitan hidup akan
meraih keluasaan ilmu.”

“Membagi waktu malamnya dan siangnya, serta memanfaatkan
sisa umurnya, sebab umur yang tersisa itu tiada taranya.
Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur
(menjelang subuh), dan untuk mempelajari sesuatu adalah pagi-
pagi, adapun untuk menulis adalah pertengahan siang sedang
untuk menela’ah dan mengulang pelajaraan adalah malam hari.”

“Mengurangi waktu tidur selama tidak membahayakan badan
dan pikirannya, (hendaknya) waktu tidur tidak lebih dari
delapan jam sehari dan semalam.”

“Diantara sebab terbesar yang dapat membantu agar (selalu)
sibuk dengan ilmu dan tidak bosan ialah makan dengan kadar
yang ringan dari yang halal, karena banyak makan dapat
mendorong untuk banyak minum kemudian menyebabkan
banyak tidur dan kebodohan.”

“Menumbuhkan sikap waro’ dalam segenap urusannya dan
berusaha agar makanannya, minumannya, pakaiannya dan
tempatnya (senantiasa) halal.”

“Seorang tholabul ilmi sepatutnya tidak bergaul kecuali dengan
orang yang dapat memberinya faedah atau dapat mengambil
faedah darinya.”

“Menjauhi perkara yang sia-sia dan main-main serta majlis-
majlis yang dipenuhi dengan tertawa dan hal yang tiada guna.
Tidak mengapa untuk menghibur jiwa, hati dan pandangannya
dengan bertamasya ke suatu tempat, tidak mengapa pula
menyegarkan kaki dan berolah raga badan.”

Semoga bermanfaat..

Sumber : http://adhwaus-salaf.or.id/2012/09/30/adab-adab-seorang-tholib-terhadap-dirinya/#more-987


Monday, October 15, 2012

Sebab-sebab Usaha Dan Rizki Yang Halal

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول أمين، أما بعد

Perkara yang halal memiliki kedudukan yang besar dalam syari’at ini. Banyak ulama yang mengungkapan besarnya kedudukan halal dan banyaknya manfaat dengan berkata: “Halal itu kunci tatanan dunia”. Dan mereka berkata: “Dengan halal tegaklah dan luruslah kehidupan”. Dan mereka berkata: “Tidaklah baik mata pencaharian kecuali dengan perkara yang halal”.

Perkara yang halal adalah penolong akan tegaknya islam, tegaknya kehidupan dunia dan akhirat.
Perkara yang halal artinya semua perkara yang tidak diharamkan oleh syari’at Allah Ta’ala.
Perkara yang halal tidak akan diraih kecuali oleh orang yang menempuh sebab-sebabnya. Maka siapa yang telah menempuh sebab-sebabnya akan diharapkan untuk bisa meraih riziqi yang halal. Dan sebagian dari sebab-sebab tersebut adalah:

01. Memperbanyak do’a agar bisa mendapatkannya dan dipermudah baginya.
Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُواْ اللَّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kalian merasa iri terhadap apa yang dianugerahkan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. Bagi para lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunianya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Tahu terhadaap segala sesuatu.”
Seorang muslim hendaknya meminta kepada Rabbnya agar dipermudah dan ditolong dalam meraih yang halal. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdurrazaq dari Ummu Salamah dan dari Abu Ad-Darda’: “Rasulullah senantiasa berdo’a selepas shalat fajr:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً، وَرِزْقًا طَيِّبًا

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang baik (halal penuh barakah).”
Dan sungguh Allah Ta’ala telah memberikan kepada beliau rizqi yang paling baik, paling utama dan paling bermanfaat. Hadist tersebut dihasankan oleh Al-Hafizh dalam “Nata’ij Al-Adzkar”.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan kesepakatan ulama bahwa sebaik-baik rizqi dan usaha adalah yang di dapat dengan sebab memperjuangkan kalimat Allah Ta’ala, seperti rampasan perang, fai yang mana ini diberikan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Dan kita lebih pantas untuk dikatakan lebih butuh kepada rizqi yang halal dan baik dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya untuk berdo’a:

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَنْ مَنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupilah aku dengan rizqi halal-Mu (dan hindarkan) dari yang Engkau haramkan, dan cukupilah aku dengan anugerah-Mu (dan hindarkan) aku dari selain Engkau.” Hadits di hasankan oleh Al-Albany dalam “Ash-Shahihah”.
Maka dalam do’a ini permintaan untuk bisa merasa cukup dengan perkara yang halal dan menjauhi perkara yang haram. Dan ini semata-mata merupakan anugerah dari Allah Ta’ala.

02. Tawakkal kepada Allah Ta’ala
At-Tirmidzy dan Ahmad meriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Kalau saja kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal kepada-Nya niscaya Allah akan memberi rizqi pada kalian sebagaimana Allah memberikan rizqi kepada burung yang pergi pagi dengan perut kosong dan kembali di waktu petang dengan perut kenyang.” Haditsnya shahih.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah landasan inti dalam tawakkal dan mencari rizqi”. Sufyan berkata: “Tawakkal kepada Allah Ta’ala adalah cakupan agama ini, yaitu engkau ridha akan apa yang Allah Ta’ala tetapkan untukmu”.
Dan tawakkal haruslah hanya kepada Allah Ta’ala semata karena Allah Ta’ala itu Dzat Pemberi Rizqi. Betapa banyak orang yang lalai akan tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam mencari rizqi.

03.  Ketakwaan
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Allah akan berikan baginya jalan keluar. Dan Allah akan memberinya rizqi dari arah yang tidak dia sangka.”
Maka rizqi akan mudah didapat dengan ketakwaan. Dan ketakwaan adalah menunaikan perintah dan menjauhi larangan dan bersabar menjalani takdir. Jika dia bertakwa kepada Allah Ta’ala maka dia tidak ridha dengan tipu menipu, dusta dan sumpah palsu. Karena dia merasa diawasi Allah ta’ala dan dia takut akan adzab Allah Ta’ala.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy:

لو عمل الناس بهذه الآية لكفتهم

“Kalau manusia mengamalkan ayat ini niscaya akan mencukupi mereka.”
Yang benar hadits ini terputus sanadnya, namun perkara takwa adalah perkara yang jelas disebutkan dalaam ayat yang mulia.

04. Memperbanyak ibadah sunnah
Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Jika telah ditunaikan shalat maka menyebarlah kalian di muka bumi dan carilah keutamaan (anugerah) Allah dan banyaklah mengingat Allah agar kalian beruntung.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Hakim dan Ad-Darimy dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘ahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَآمُرُكُمَا بِسُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، فَإِنَّهَا صَلاَةُ كُلِّ شَيْءٍ، وَبِهَا يُرْزَقُ كُلُّ شَيْءٍ

“Aku perintahkan kamu dengan Subhanallah wa bihamdih, karena sesungguhnya ia adalah shalatnya (do’anya) segala sesuatu dan dengannya segala sesuatu diberi rizqi.”
Allah Ta’ala berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ

“Ingatlah Aku maka Aku akan mengingat kalian, dan bersyukurlah pada-Ku dan jangan kalian kufur.”
Karena yang berbuat untuk mencari rizqi adalah anggota badan maka dia tidak ingat untuk mengingat Allah Ta’ala, jadi lisanlah yang harus mewakilinya untuk mengingat Allah Ta’ala.
Sebagian ulama berkata: “Menunaikan perintah yang wajib adalah modal inti dan menunaikan amalan sunnah adalah labanya.”. Maka manusia butuh kepada laba. Maka jika penunaian sunnah merupakan sebab teraihnya rizqi, maka penunaian perintah wajib lebih pantas menjadi sebab teraihnya rizqi.

05. Baiknya niat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu dengan niat.”
Dan mencari rizqi adalah amalan anggota badan luar. Maka pencari rizqi berniat dengan niat yang baik, bahwa dia akan mencari yang halal agar bisa menghindarkan diri dari minta-minta dan dari mengambil harta orang.

06. Bahwa pencari rizqi tidaklah cita-citanya untuk berbangga-bangga dengan harta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ

“Jika dia keluar berusaha demi anaknya yang masih kecil maka dia di jalan Allah. Jika dia keluar berusaha untuk kedua orang tuanya yang lanjut usia maka dia di jalan Allah. Jika dia keluar berusaha untuk dirinya agar terhindar (dari meminta dan mengambil harta orang) maka dia di jalan Allah. Dan jika dia keluar berusaha (cari rizqi) untuk pamer dan berbangga-bangga maka dia di jalan syaithan.”
Perkara berbangga-bangga ini merupakan kebodohan, maka hendaknya menjauh dari unsur pamer dan segala penyakit kalbu.

07. Hendaknya dia mencintai kebaikan untuk orang lain
Sebagaimana dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia suka kebaikan itu ada pada dirinya.”
Jika engkau suka mendapatkan rizqi yang baik dan halal, maka engkau harus suka agar rizqi yang baaik dan halal itu bisa didapat oleh saudaramu. Sehingga engkau mencintai kebiakan bagi manusia.

08. Bermuamalah dengan adil
Maka dia tidak ridha dengan muamalah yang jahat, curang dan jelek. Karena muamalah yang seperti ini akan menyebabkan dihalanginya rizqi yang baik dan halal. Demikian juga hendaknya dia bermuamalah dengan jujur, dan amanah. Dan muamalah dengan baik akan mengangkat derajatnya di sisi Allah Ta’ala.

Demikian saduran dari muhadharah (ceramah) Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam di Ma’had beliau Darul Hadits Ma’bar, Yaman.
Disadur oleh
‘Umar Al-Indunisy
Darul Hadits – Ma’bar, Yaman.

Sumber : http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/06/24/sebab-sebab-usaha-dan-rizki-yang-halal/

 

 

by blogonol