Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sunday, September 30, 2012

Download Dauroh Bekasi "Metode Qur'ani Dalam Pendidikan " Bersama Ust. Jauhari, Lc

Download Dauroh Bekasi
"Metode Qur'ani Dalam Pendidikan "
Oleh :
Al-Ustadz Jauhari, Lc hafizhahullah
(Pengasuh Ma'had Al-Madinah, Solo)


Sumber :  http://alklateniy.wordpress.com/2012/09/30/download-daurah-bekasi-metodi-qurani-dalam-pendidikan-30-sept-2012/



Download Rekaman Kajian Islam, Sragen, Jateng : "Kemuliaan Dan Kehormatan Darah Seorang Muslim di Sisi Allah" Bersama Ust. Muhammad Umar As-Sewed

Download Rekaman Kajian Islam, Sragen Jateng
Sabtu, 29 September 2012
Dengan Tema :
"Kemuliaan Dan Kehormatan Darah Seorang Muslim di Sisi Allah"
Pemateri :
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed Hafizhahullah


Sumber Rekaman : http://rizkytulus.wordpress.com/2012/09/30/download-kemuliaan-dan-kehormatan-darah-seorang-muslim/

Monday, September 24, 2012

Amalan-Amalan Di Bulan Dzulhijjah

Diantara nikmat yang Alloh berikan kepada hamba-hambaNya adalah dengan dijadikannya segala sesuatu telah teratur dan tertata rapi. Salah satunya adalah waktu. Alloh telah jadikan 1 tahun ini sebanyak 12 bulan, dan 4 bulan di antaranya adalah bulan Harom. Alloh jadikan waktu tersebut sebagai taqdir bagi hambaNya untuk dimakmurkan dengan keta’atan kepadanya dan bersyukur kepada Alloh atas karuniaNya tersebut. 

Alloh berfirman dalam Surah At Taubah ayat 36, yang artinya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah hari dimana Alloh menciptakan langit dan bumi, diantara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan harom”. (At Taubah : 36)

Dan 4 bulan harom tersebut dijelaskan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam adalah Muharrom, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Bakroh yang diriwayatkan oleh Al Bukhori Rahimahullah bahwa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam berkhutbah dalam hajjatu wada’: yang artinya:
Sesungguhnya zaman telah beredar seperti keadaan pada hari Alloh menciptakan langit dan bumi. 1 tahun adalah 12 bulan diantaranya adalah 4 bulan haram. 3 bulan berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab yang terletak di antara 2 jumadil (awal dan akhir) dan Sya’ban.

InsyaAlloh kita akan memasuki salah satu dari bulan haram, yaitu Dzhulhijjah yang di dalamnya terdapat banyak sekali hukum-hukum, ketaatan, dan ibadah yang dapat kita lakukan pada bulan tersebut. Sehingga untuk menyambut bulan tersebut maka sudah selayaknya kita mengetahui dan mempelajari perkara-perkara apa saja yang dapat kita amalkan pada bulan tersebut.

Di antara amalan yang dapat kita lakukan di bulan Dzulhijjah adalah:

1. Berpuasa pada 10 hari yang pertama (1-9 Dzulhijjah). 

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori Rahimahullah dari Abdulloh bin Abbas radliyallohu ‘anhu, artinya:
Tidak ada amal pada hari-hari yang lebih afdhol dari amal pada hari-hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) mereka mengatakan: dan tidak juga jihad fii sabilillah? Dan beliau berkata: tidak juga jihad fii sabilillah kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya dan tidak kembali dari perkara tersebut sedikit pun.

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar Rahimahullah dan dijadikan dalil dengannya atas keutamaan puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dikarenakan kedudukan puasa tersebut di dalam amal. Lalu muncul sebuah masalah apa yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari hadits ‘Aisyah bahwa beliau berkata: “Tidaklah aku melihat Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berpuasa pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah sedikitpun”. Akan tetapi, berkata Nawawi Rahimahullah bahwa perkataan ‘Aisyah ditakwilkan bahwa beliau tidak berpuasa pada hari tersebut dikarenakan sakit atau safar atau sebab lainnya, atau bahwa ‘Aisyah tidak melihat beliau puasa padanya dan ini tidak mengharuskan dari hal tersebut (perkataan ‘Aisyah radliyallohu ‘anha tidak melihat Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berpuasa) tidak adanya puasa beliau pada waktu tersebut.

Berkata Al Hafidh ; “Dan kemungkinannya bahwa hal tersebut dikarenakan beliau meninggalkan amal dalam keadaan beliau suka untuk mengamalkannya akan tetapi khawatir akan diwajibkan atas umatnya sebagaimana tersebut dalam Shohihain dari hadits ‘Aisyah.

2. Berpuasa pada hari Arofah (9 Dzulhijjah)

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qotadah Al Anshory radliyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam ditanya tentang puasa hari Arofah, maka beliau berkata: “menghapuskan (dosa-dosa kecil) tahun yang lalu dan tahun yang akan datang”. Dan ditanya tentang puasa Asyuro (10 Muharrom), beliau berkata menghapuskan (dosa-dosa kecil) tahun yang lalu.

a) 
Shaum pada hari Arafah ini disunnahkan bagi mereka-mereka yang diluar Arafah (tidak wujuf di Arofah). Sementara mereka-mereka yang wukuf di Arofah tidak disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu, dikarenakan beliau Shallallohu ‘Alaihi Wassalam tidak berpuasa pada hari tersebut. Bahkan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahullah dari Maimunah bintu Al Harits, bahwa manusia berselisih di sisinya pada hari Arofah berkenaan dengan puasanya Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam (pada hari tersebut). Sebagian mereka berkata bahwa beliau berpuasa, dan sebagian lain menyatakan bahwa beliau tidak berpuasa. 

Maka Maimunah mengantar kepada Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam segelas susu, dan beliau berada di atas tunggangannya di Arofah, lalu beliaupun minum (susu tersebut). Ini adalah pendapat jumhur para ‘ulama dan inilah yang dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury Hafidhahullah.

b) 
Sebagian ulama mengharamkannya, seperti halnya Yahya bin Said Al Anshori dan dirojihkan oleh Al Imam Shon’ani Rahimahullah , berdasarkan dengan hadits Abu Hurairoh riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Majah: “Rasululloh melarang puasa arafah di arafah”
Akan tetapi haditsnya lemah, di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama
Mahdi bin Harb Al Hajari, dia majhul (tidak dikenal).

Para ulama berselisih tentang hikmah tidak disunnahkannya puasa Arofah bagi yang wukuf di Arofah:
a) Sebagian menyatakan untuk memperkuat dalam berdo’a kepada Alloh (pendapat Al Khiroqi).
b) Sebagian ulama lainnya seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan bahwa tidak disunnahkan berpuasa bagi yang wukuf di Arofah dikarenakan hari tersebut Iednya bagi penduduk Arofah.

Maka tidak disunnahkan berpuasa bagi mereka. Wallohu a’lam bish showab.

3. Udhhiyyah / berqurban :

Kata Udhhiyyah merupakan bentuk jamaknya dari adhoohiy. Dijelaskan oleh Imam Nawawi Rahimahullah dalam Syarh Muslim (7/111) ada 4 bahasa:
1 ) udhhiyyah dan
2) idhiyyah bentuk jamaknya adalah adhoohiy dengan mentasydid ya dan meringankannya
3) dhohyah bentuk jamaknya adalah dhohaayaa.
4) adhhaah jamaknya adhhaa, dan karenanya dinamakan yaumul adha. Dan dikatakan; dinamakan demikian karena dilakukan pada waktu dhuha yaitu naiknya siang.

Udhhiyyah disyari’atkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya sebagai bukti syukur seorang hamba kepada Rabbnya setelah memberikan nikmat/anugrah yang banyak kepada mereka. Alloh berfirman dalam Surah Al Kautsar ayat 1-3 yang artinya: “Sesungguhnya kami telah memberimu Al Kautsar, maka sholatlah kepada Rabb-mu dan berqurbanlah”.

Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’dy Rahimahullah dalam tafsir beliau: Alloh mengkhususkan dua ibadah ini dengan penyebutan, dikarenakan keduanya merupakan ibadah yang paling utama dan merupakan kedekatan yang paling mulia. Dan dikarenakan pada sholat terkandung ketundukan pada hati dan anggota tubuh terhadap Alloh. Sementara pada berqurban merupakan kedekatan kepada Alloh dengan apa yang paling afdhol yang dimiliki seorang hamba dari hewan qurban. Juga padanya terdapat pengeluaran harta yang jiwa ini diberikan fithroh/kecenderungan untuk mencintainya, dan bakhil terhadapnya (hal.1105).

Hukum Udhhiyyah
Adapun tentang hukum udhhiyyah itu sendiri para ulama berselisih menjadi beberapa pendapat, yaitu:

a) Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah, jika meninggalkannya dengan tanpa udzur tidak berdosa, dan tidak diwajibkan atasnya qodho. Diantara para shahabat yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Khottob, Bilal, Abdullah bin Mas’ud. Juga para ulama seperti Said Ibnul Musayyib, Al Qomah, Atho, Malik, Ahmad, dll.

b) Abu Hanifah, Laits, Rabi’ah, dan Al Auzai’y berpendapat wajib bagi yang memiliki kemudahan. Ini adalah pendapat sebagian Malikiyyah. Mereka berdalilkan dengan hadits riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dishohihkan olehnya, dari Mikhnaf bin Sulaim: “Atas setiap ahlu bait terdapat udhhiyyah”. Juga sebelumnya mereka berdalilkan dengan ayat yang kita sebutkan di atas. Juga berdalilkan dengan hadits Abu Hurairoh riwayat Ahmad, Ibnu Majah dll:
من كان له سعة و لم يضح فلا يقربن مصلانا ‌
“Barang siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban maka jangan mendekati mushola kami”. ( Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam shohihul Jami’, hadits no. 6490)

Namun yang rojih – Wallohu a’lam – adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan sunnah muakaddah, dengan melihat hadits Ummu Salamah radliyallohu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah , bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda: Yang artinya:
“jika telah masuk 10 hari (bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah menyentuh (mencabut/memotong) dari rambutnya dan kukunya sedikit pun”

Syahidnya, bahwa beliau Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berkata idzaa arooda, maka ini menunjukkan bahwa berqurban tidak wajib hukumnya, karena sesuatu yang wajib terdapat penekanan (ilzam) padanya. Tidak semata-mata irodah (keinginan), dan pendapat inilah yang dirojihkan oleh Syaikhuna Yahya bin Ali Al Hajuriy Hafidhahullah. Bahkan tidak dinukilkan dari salah seorang shahabatpun yang mewajibkannya, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hazm Rahimahullah, kemudian diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radliyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata:
“bahwa qurban adalah sunnah yang ma’ruf / diketahui”.

Adapun dalil-dalil yang mereka sebutkan seperti:
1) Firman Alloh : fasholli lirobbika wanhar, tidak menunjukkan wajibnya udhhiyyah, tetapi menunjukkan bahwa qurban waktunya setelah sholat, maka riwayat tersebut menentukan terhadap waktunya bukan menunjukkan wajibnya berqurban. Demikian dijelaskan oleh Ashon’ani Rahimahullah dalam Subulussalam.

2) Adapun hadits Abu Hurairoh, haditsnya maukuf maka tidak ada hujjah padanya.

3) Sementara hadits Mikhaf bin Sulaim di dalam sanadnya terdapat seorang bernama Amir, Abu Romlah. Berkata Al Khottoby Rahimahullah : majhul (tidak dikenal). Wallohu a’lam bish showab. (lihat Syarh Muslim 7/112, Subulussalam 4/1352-1353)

Peringatan:
Berkata Syaikh Yahya Hafidhahullah, meskipun sunnah muakkadah, tidak sepantasnya bagi mereka yang mampu, untuk meninggalkan sunnah tersebut.

Awal Waktu Penyembelihan Qurban
Berkata Ibnul Mundzir: para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyembelih hewan qurban sebelum terbitnya fajar pada hari Nahr (Iedul Adha).

Kemudian mereka berselisih jika setelah waktu tersebut (fajr):

a) Berkata Syafi’i, Dawud, dan Ibnul Mundzir: masuk waktunya jika matahari telah terbit dan telah lewat waktu sekedar shalat Ied dan Khutbah (dari terbitnya matahari), maka jika menyembelih setelah waktu ini sah-sah saja. Sama halnya imam telah sholat atau belum.

b) Berkata Malik Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban kecuali setelah shalatnya imam, khutbahnya imam dan menyembelihnya imam.

c) Berkata Ahmad Rahimahullah : tidak boleh menyembelih hewan qurban sebelum shalatnya imam, dan boleh setelah shalatnya imam, meskipun imam belum menyembelih.

Yang rojih wallohu a’lam adalah pendapat yang terakhir yang menyatakan bolehnya menyembelih hewan qurban ketika selesai sholat dan khutbahnya imam. Sesuai dengan zhahir hadits Jundub bin Sufyan Al Bajaly yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim yang artinya:
“Barang siapa menyembelih sebelum sholat, maka hendaknya dia menyembelih yang lain sebagai penggantinya” dalam lafadz lain: “Barang siapa menyembelih sebelum shalat maka hendaknya dia menyembelih seekor kambing sebagai penggantinya”.

Juga berdasarkan hadits Al Bara bin ‘Azib riwayat Al Bukhari dan Muslim: “Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah sempurna qurbannya dan mencocoki sunnahnya kaum muslimin”
(lihat Syarah Muslim 7/112-114)

Akhir Waktu Penyembelihan Qurban
a) Berkata Syafi’i Rahimahullah : boleh berqurban pada hari Nahr (Iedul Adha) dan hari-hari Tasyrik yang 3, setelahnya. Ini juga pendapatnya Ali bin Abi thalib, Jubair bin Muth’im dan Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhum.

b) Berkata Abu Hanifah, Malik dan Ahmad: Qurban khusus pada hari Nahar (Iedul Adha) dan 2 hari setelahnya. Ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Umar radliyallohu ‘anhuma.
c)Berkata Muhammad bin Sirrin: tidak boleh berqurban kecuali pada hari Nahr saja.

Yang rojih wallohu a’lam pendapat Syafi’i Rahimahullah yang menyatakan bahwa akhir waktu qurban adalah hari Tasyrik yang ketiga yaitu sebelum tenggelamnya matahari pada hari itu. Dalilnya adalah hadits Jubair bin Muth’im radliyallohu ‘anhu riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban, artinya: “Hari Tasyrik adalah hari-hari penyembelihan atau seluruhnya waktu penyembelihan”
Hadits ini memiliki jalan yang banyak yang menguatkan satu sama lain. Dan juga berdasarkan hadits yang lain yang sanadnya shohih dan disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Rahimahullah dalam Shahihul Musnad: “Hari-hari Mina adalah tiga hari”

Dan inilah yang dirajihkan Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah (lihat Syarah Muslim 7/112, Subulussalam 4/1354-1355, Zaadul Ma’ad 2/318-320)

Tempat Udhhiyyah
Disunnahkan untuk menyembelih hewan qurban di musholla kaum muslimin dalam rangka menampakkan syiar-syiar agama. Sesuai dengan hadits Abdullah bin Umar radliyallohu ‘anhu yang diriwayatkan Bukhori Rahimahullah : “Adalah Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam berqurban dan menyembelih di musholla (tanah lapang)”
(lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613, Zaadul Ma’ad 2/322)

Hukum Tasmiyyah (mengucapkan bismillah) Ketika Menyembelih
Telah sepakat kaum muslimin tentang disyariatkannya menyebut nama Alloh ketika melepas hewan pemburu binatang buruan, ketika berqurban dan menyembelih hewan qurban. Lalu mereka berselisih tentang hukumnya apakah wajib atau sunnah?

a) Madzhabnya Syafi’i dan sebagian ulama, bahwa hukumnya sunnah. Bagi yang meninggalkannya karena lupa atau sengaja halal buruannya dan sebelihannya. Ini juga pendapatnya Malik dan Ahmad dalam sebuah riwayat.

b) Berkata ulama dari kalangan Hanafiyyah, bahwa tasmiyyah wajib hukumnya bagi yang ingat dan tidak halal sembelihannya/buruannya jika ditingalkan secara sengaja, berdasarkan firman Alloh :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kalian makan dari apa-apa yang tidak disebut nama Alloh atasnya” (Al An’am : 121)

c) Berkata Ahlu Zhohir (zhohiriyyah) bahwa tasmiyyah wajib, dan apabila ditinggalkan sengaja atau lupa tidak halal hukumnya. Dan inilah yang dirajihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah . Berdasarkan ayat di atas dan juga ayat yang lain, yaitu: dalam Surah Al An’am : 118 :
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“maka makanlah oleh kalian dari apa-apa yang disebut nama Alloh atasnya”

Dan juga berdasarkan keumuman hadits Al Bara bin Azib riwayat Al-Bukhari dan Muslim
“dan barang siapa yang belum menyembelih maka hendaknya dia menyembelih dengan nama Alloh”

Faedah:
Dijelaskan dalam riwayat Muslim bahwa beliau mengucapkan tasmiyyah dengan ucapan :
Artinya: dengan nama Alloh, dan Alloh Maha Besar (lihat Syarah Muslim 7/123, Subulussalam jilid 4/1336 – 1337)

Binatang Qurban yang Diperbolehkan Untuk Disembelih
Berkata Imam Nawawi: para ulama telah bersepakat bahwa tidak sah sembelihan qurban dengan tanpa (selain) unta, sapi dan kambing, kecuali yang dihikayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Al Hasan bin Sholeh, bahwa dia berkata boleh berqurban dengan kerbau (sapi liar).

Berkata Imam Shon’ani dinukilkan dari Asma, bahwa beliau berkata ; “Kami berqurban bersama Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dengan kuda. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa beliau berqurban dengan ayam”.

Adapun minimalnya adalah kambing sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majjah dari Atha’ bin Yassar, beliau berkata: Aku menanyakan kepada Abu Ayyub Al Anshori; “bagaimana penyembelihan qurban pada masa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam? Beliau berkata:
“adalah seseorang berqurban dengan kambing, atasnya dan atas keluarganya. Maka mereka makan dan memberikan makan (darinya) (lihat Syarh Muslim 7/119 – 123, Subulussalam 4/1358 dan Rhaudattun Nadhiyyah hal.611)

Binatang Qurban yang Paling Utama
Binatang qurban yang paling utama adalah yang paling gemuk. Berdasarkan hadits Abi Rafi’ yang artinya: “Adalah Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam apabila beliau berqurban membeli 2 kibas yang gemuk” (HR. Ahmad dengan sanad yang hasan)

Juga bedasarkan hadits Abu Umamah dalam riwayat Bukhori:“adalah kami menggemukkan hewan qurban di Madinah dan kaum muslimin pun menggemukkan juga. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan jika ingin mencontoh perbuatan beliau, adalah dengan menyembelih hewan qurban yang bertanduk dan gemuk, sebagaimana dijelaskan dalam banyak haditsnya. (lihat Syarah Muslim 7/120, Raudhottun Nadhiyyah 610).

Umur Binatang Qurban
Sembelihan hewan qurban mempunyai ketentuan-ketentuan, diantaranya ketentuan umur sebagai syarat sahnya penyembelihan qurban.

a) Untuk domba minimal berumur 1 tahun menurut pendapat yang paling rojih, sebagaimana dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Hafidhahullah

b) Untuk kambing minimal berumur 2 tahun.

c) Untuk sapi minimal 2 tahun.

d) Untuk unta minimal berumur 5 tahun masuk tahun ke-6

Semua ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah yang artinya: “Dan janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (usia 2 tahun untuk sapi, dan kambing, usia 5 tahun untuk unta), kecuali sulit atas kalian, maka sembelihlah jadzdah (usia 1 tahun) dari domba”

Catatan:
Al Musinnah adalah Atstsaniyyah yang telah sempurna usia 2 tahun masuk tahun ke-3, untuk sapi, kambing, adapun istilah untuk unta adalah yang berusia 5 tahun sempurna untuk tahun ke-6, dan inilah fatwa dari Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy Hafidhahullah . (lihat Raudhotun Nadhiyyah 611, Syarh Muslim 7/119-120).

Keadaan Hewan Qurban
Selain dipersyaratkan umur yang mencukupi dalam hewan qurban, juga dipersyaratkan harus bebas dari aib/ cacat, terutama 4 cacat yang disebutkan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dalam hadits Al Bara bin ‘Azib radliyallohu ‘anhu, berkata Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam :
Empat jenis hewan qurban yang tidak diperbolehkan: 1) yang buta, yang jelas butanya, 2) yang sakit, yang jelas penyakitnya, 3) yang pincang, yang jelas kepincangannya, 4) yang kurus yang tidak bersumsum. (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Nasa’i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani Rahimahullah) (lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 162, Zaadul Ma’ad 2/320-321).

Pembagian Daging Qurban
Disunnahkan daging qurban untuk dibagi menjadi 3 bagian: 1/3 untuk dimakan, 1/3 untuk shodaqoh, 1/3 untuk disimpan yang kemudian di shodaqohkan atau dimakan. Berdasarkan hadits: “Bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda: makanlah, sedekahlah dan simpanlah”. HR. Bukhari dan Muslim (lihat Raudhotun Nadhiyyah hal 613, Subulus Salam 4/1360).

Faedah:
Dahulu pada awal Islam, Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam melarang untuk menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari, seperti disebutkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Waqid, Jabir bin Abdillah radliyallohu ‘anhum ajma’in dalam riwayat Muslim, dikarenakan pada saat itu kaum muslimin dalam keadaan sulit dan membutuhkan, yang diharapkan daging tersebut betul-betul dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Kemudian larangan tersebut dimansukhkan dengan hadits Buraidah dalam riwayat Muslim, bahwa Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya: dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging qurban diatas 3 hari maka sekarang tahanlah oleh kalian apa yang jelas bagi kalian (kalian inginkan). Juga disebutkan dalam hadits yang semakna dari Jabir bin Abdillah, Abu Said Al Khudri, Salamah Ibnul Aqwa dan Tsauban (lihat Syarah Muslim 7/132-136).

Peringatan!!
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan juga hadits lainnya, seperti hadits Ali bin Abi Thalib dalam shohihain, maka tidak boleh daging qurban maupun kulitnya dijadikan sebagai upah/ ongkos penyembelihan kepada tukang sembelih. Akan tetapi ongkos tersebut diberikan dari ongkos tersendiri, dan jika kulit atau daging hewan qurban tersebut hendak di shodaqohkan kepada si penyembelih maka tidak mengapa. Karena shodaqoh bukan ongkos penyembelihan. Ali bin Abi Tholib berkata: Nabi Shallallohu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kepadaku untuk menyembelih hewan qurbannya (unta beliau) dan agar aku bershodaqoh dengan dagingnya, kulitnya, kain/sesuatu yang dihamparkan di punggung hewan qurban. Dan agar aku tidak memberikan kepada tukang sembelih dari hewan qurban sebagai upah. Akan tetapi kami memberinya dari sisi kami (HR. Bukhari, Muslim) (lhat Syarah Muslim 5/69-70).

Larangan Bagi Orang yang Hendak Berqurban
Dijelaskan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi Wassalam dalam hadits yang shohih, bahwa seorang muslim yang hendak berqurban (sama halnya dia yang menyembelih sendiri atau diwakilkan), maka dilarang untuk memotong rambutnya, atau bulu-bulu yang asalnya disunnahkan atau dibolehkan. Juga dilarang untuk memotong kuku atau melepas kulitnya. Hal ini berlaku sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai dia menyembelih atau hewan qurbannya disembelih. Berdasarkan hadits Ummu Salamah riwayat Muslim:
“Apabila telah masuk 10 Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak berqurban maka jangan menyentuh (memotong) dari rambutnya dan juga kulitnya. Dalam lafadz yang lain: “dan jangan mengambil rambutnya dan memotong kukunya”.

Para ulama berselisih tentang hukum larangan di atas, menjadi beberapa pendapat:

a)Berkata Said Ibnul Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq dan Dawud, serta sebagian Syafi’iyyah: hukumnya haram.

b) Berkata Syafi’i dan Malik dalam sebuah riwayat bahwa hukumnya makruh.

c) Berkata Abu Hanifah: tidak dimakruhkan.

Wallohu a’lam yang rojih adalah pedapat pertama yang menyatakan haram sesuai dengan zhohir hadits-hadits yang ada. Akan tetapi hukum ini dapat berubah menjadi mubah, bagi yang merasa terganggu dengan kulit/rambutnya sehingga mau tidak mau dia harus memotongnya dan ini adalah pendapat Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhu.

Cara Menyembelih Hewan Qurban
Secara umum syariat Islam memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik/ihsan kepada hewan yang kita sembelih, baik dalam hal tata cara penyembelihan maupun alat-alat yang digunakan untuk menyembelih atau perkara-perkara lain yang menyegerakan hilangnya ras sakit dari hewan yang disembelih. Beliau bersabda: “sesungguhnya Alloh telah menuliskan /mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu ketika kalian membunuh, maka berbuat baiklah dalam membunuh tersebut. Dan ketika kamu menyembelih berbuat baiklah dalam penyembelihan, dan hendaknya salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan qurbannya. (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus radliyallohu ‘anhu).

Adapun mengenai tata cara penyembelihan hewan qurban ada dua cara, yaitu:

1. Nahr
Hal ini disunnahkan ketika menyembelih unta, yaitu dengan cara mengikat tangan kiri (disebutkan juga kaki kirinya), dalam keadaan unta itu berdiri kemudian ditarik, dan setelah punggung unta jatuh di atas tanah maka segera ditebas/disembelih. Karena dalam keadaan seperti iniada kenyamanan padanya dan lebih cepat menghilangkan nyawa (lihat Surat Al Haj Ayat 36).

2. Dzabh
Hal ini disunnahkan ketika menyembelih sapi, kambing dan lainnya yang selain unta, yaitu dengan cara membaringkan hewan tersebut pada lambung kirinya, kemudian penyembelih menginjak pundak kanan hewan, tangan kanan memegang pisau dan tangan kiri memegang kepala hewan qurban. Dan disyaratkan membaca tasmiyyah “bismillah wallohu akbar” (dengan nama Alloh dan Alloh Maha Besar) sebagaimana disebutkan dalam pembahasan yang lalu.

Diperbolehkan ketika menyembelih menggunakan apa saja yang tajam yang dapat mengalirkan darah, kecuali kuku dan gigi dan seluruh jenis tulang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rafi’ bin Khadij riwayat Bukhari dan Muslim: “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Alloh atasnya, maka makanlah, selain gigi dan kuku. Adapun gigi karena dia adalah tulang, dan adapun kuku adalah senjatanya orang Habasyah”. (lihat Syarah Muslim 5/74 dan 7/125-126).

Peringatan!!
- hendaknya pisau yang digunakan untuk menyembelih adalah pisau yang sangat tajam, dan menyegerakan jalannya pisau di leher hewan tersebut ketika memotongnya.

- Ketika hewan qurban telah disembelih, hendaknya kaki-kaki hewan tersebut dilepas, tidak diikat atau dipegang. Hal ini memberikan dua faedah yang penting:
1) Lebih meringankan dan memberi kenyamanan bagi hewan yang disembelih.
2) Lebih menuntaskan darah untuk keluar sehingga semakin bersih darahnya dan semakin baik kualitas dagingnya.

- Adapun yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwa disukai/disunnahkan agar tidak menajamkan pisau di sisi hewan disembelihan atau tidak menyembelih seekor hewan di hadapan yang lain, maka hal ini dijelaskan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury tidak ada dalil atasnya. Wallohu a’lam bishshowab.

Bersekutu Dalam Hewan Qurban
Diperbolehkan bersekutu dalam hewan qurban pada unta sebanyak 7 orang, demikian pula pada sapi sebanyak 7 orang. Dan disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radliyallohu ‘anhu bahwa diperbolehkan bersekutu 10 orang pada unta. “Unta untuk 10 orang”, Juga hadits Rofi’ bin Khadij dalam shahihain “adalah Nabi Shallallohu ‘Alaihi Wassalam menyamakan 1 ekor unta dengan 10 ekor kambing”.

Adapun untuk kambing maka hanya untuk 1 orang dan ahli baitnya (keluarganya) meskipun banyak jumlah mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Atho bin Yasaar dari Abu Ayyub Al Anshori riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan (lihat Zaadul Ma’ad 2/323, Syarah Muslim 5/72, Subulussalam 4/1359).

BEBERAPA PERMASALAHAN BERKAITAN DENGAN QURBAN (FATWA SYAIKH YAHYA BIN ALI AL HAJURY Hafidhahullah )
1. Menghadap kiblat ketika menyembelih. Berkata Hafidhahullah : tidak ada dalil yang mengharuskan untuk menghadap kiblat. Sungguh Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam pernah menyembelih dengan tangannya 60 unta dan tidak dinukilkan bahwa beliau menyembelih menghadap kiblat. Adapun riwayat yang datang dari Sunan Baihaqy dari jalannya Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar terdapat ‘an’anah (meriwayatkan dengan lafadz ‘an) Ibnu Juraij dan dia adalah seorang mudallis.

2. Jual beli daging qurban atau kulitnya. Berkata Hafidhahullah : tidak boleh jual beli daging qurban atau kulitnya, tetapi bershodaqoh dengannya sebagaimana perintah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam kepada Ali bin Abi Thalib dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

3. Apakah diambil dari harta anak yatim untuk hewan qurban? (sebagai qurbannya)
berkata Hafidhahullah : tidak diambil dari harta anak yatim dalam perkara mustahab, dan udhhiyyah hukumnya sunnah muakkadah. Hanya saja diabil dari hartanya untuk zakat saja, berdasarkan dalil yang kuat: “diambil zakat dari orang-orang kaya mereka (kaum muslimin) dan dibagikan kepada oran gyang fakir diantara mereka (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radliyallohu ‘anhu.

4. Mana yang lebih afdhol udhhiyyah dengan zatnya atau bershodaqoh dengan uang seharga udhhiyyah tersebut? Berkata Hafidhahullah: tidak ragu lagi bahwa udhhiyyah lebih afdhol dari shodaqoh dengan harganya, bahkan udhhiyyah terkandung di dalamnya shodaqoh seperti perintah beliau dalam hadits Ali bin Abi Tholib.

5. Apakah boleh seorang wanita menyembelih hewan qurban? Berkata Hafidhahullah : na’am, boleh-boleh saja seorang wanita menyembelih hewan qurban meskipun dalam keadaan haidh. Sebagaimana dinukilkan dari Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bary.

6. Menyembelih qurban untuk mayit? Berkata Hafidhahullah : berkata Ibnul Mubarok Rahimahullah, tidak disembelih hewan qurban untuknya akan tetapi di shodaqohkan atasnya sebagaimana hadits Abu Hurairoh riwayat Bukhari dan Muslim: “jika mati anak Adam terputus amalnya kecuali 3 perkara: shodaqoh jariyah ……” al hadits.

Dan seorang mayit tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban apalagi perkara yang sunnah seperti halnya udhhiyyah. Dan tidak datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam bahwa beliau berqurban atas Khodijah yang telah meninggal.

7. Manakah yang didahulukan, hutang atau udhhiyyah? Berkata Hafidhahullah : ada perinciannya:
- apabila dalam keadaan sehat dan lapang, terlebih lagi pemilik uang tidak menginginkannya saat itu, maka tidak mengapa mendahulukan udhhiyyah.

- Apabila dalam keadaan sempit maka tidak boleh mendahulukan udhhiyyah dari hutang. Terlebih lagi dia dalam keadaan sakit atau ajalnya telah dekat. Maka wajib baginya untuk mendahulukan hutangnya, karena Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam telah memperingatkan dari hutang dan beliau tidak mensholatkan seseorang yang mati dan memiliki hutang. Tetapi memerintahkan para shahabat untuk mensholatkannya.

8. Sembelihan orang-orang rafidhoh? Berkata Hafidhahullah: tidak dimakan karena kedudukannya sama dengan sembelihan orang musyrik, dan ini fatwa Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah

9. Apakah udhhiyyah memansukhkan aqiqah? Berkata Hafidhahullah : ini adalah pendapat yang batil, bahkan aqiqah wajib hukumnya menurut pendapat yang paling rajih berdasarkan hadits: “setiap bayi yang lahir tergadaikan dengan aqiqahnya” HR. Abu Dawud dari Samurah bin Jundab. Adapun undhhiyyah sunnah muakkadah saja hukumnya dan tidak memansukhkan aqiqah.

10. Apakah dipersyaratkan pada aqiqah seperti yang dipersyaratkan pada udhhiyyah? Berkata : jumhur ulama mempersyaratkan hal tersebut dengan mengqiyaskan aqiqah kepada udhhiyyah. Akan tetapi yang rajih adalah tidak dipersyaratkan. Dan qiyas yang mereka gunakan ada perbedaan padanya, seperti halnya mengqiyaskan antara khutbah Ied dengan khutbah Jum’at. Dan juga selain dari itu tidak ada dalil yang shahih yang mempersyaratkan hal tersebut.

Wallohu a’lam bishshowab. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
Sumber : http://www.darussalaf.or.id/fiqih/amalan-amalan-di-bulan-dzulhijjah/

Sunday, September 23, 2012

Mendulang Pahala Di Bulan Dzulhijjah

Wahai kaum mu’minin, saat ini kita berada pada hari-hari yang terbaik di sisi Allah Ta’ala, yaitu sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, yang mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : ”Tidak ada dari hari-hari yang amalan shalih padanya lebih di cintai Allah Azza wa Jalla dari hari-hari yaitu sepuluh hari (pertama) di bulan Dzulhijjah. Dan mereka berkata : “Ya Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?” Beliau berkata : “Tidak pula jihad dijalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya yang kemudian tidak kembali dari hal itu sedikitpun.” (HR. Bukhari). Dan dalam riwayat Imam At-Thabrani dengan sanad yang jayyid (bagus) ada tambahan : “Maka perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.”

Dalam hadits di atas menunjukkan bahwa amalan shalih yang di kerjakan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah lebih di cintai Allah dari hari-hari lainnya, dan kita di anjurkan untuk banyak-banyak melaksanakan amalan shaleh.

Dan Allah Azza wa Jalla bersumpah dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah dalam Al-Qur’an, Allah berfirman : “Demi waktu fajar dan demi malam yang kesepuluh.” (QS. Al-Fajr : 1-2). Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah dan Mujahid serta yang lainnya menafsirkan malam yang kesepuluh dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Allah juga berfirman dalam ayat lainnya : “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah di tentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan bagi orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj : 28) Mujahid meriwayatkan dari Ibnu Umar, dan said bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang di maksud dengan “Hari yang telah di tentukan” adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhajjih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Wahai kaum muslimin, setelah kita mengetahui tentang keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah serta keutamaan padanya, maka sepantasnyalah kita berusaha mendapatkan kesempatan emas tersebut dengan menjalankan berbagai macam amalan shalih yang di sunnahkan untuk di kerjakan padanya dengan mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diantara amalan besar yang di sunnahkan untuk kita kerjakan padanya adalah haji, khususnya bagi kita yang belum pernah melaksanakannya. Maka hukumnya wajib jika mempunyai kemampuan, dan itu adalah amalan ibadah yang paling utama, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulllah shallallahu alahi wa sallam tatkala beliau ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau menyatakan : “Beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Lalu ditanya lagi : “Kemudian apalagi ?” Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah.” Lalu ditanya lagi : “Lalu apalagi ? Kata beliau : “Haji mabrur.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan Rasulullah shallallau alaihi wa sallam juga menyatakan tentang keutamaan berhaji dalam sabda beliau : “Barang siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata jelek dan tidak berbuat kefasikan, maka dia kembali seperti hari saat dia di lahirkan ibunya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Rasulullah juga bersabda : “Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dan termasuk amalan shalih yang di sunnahkan untuk kita kerjakan adalah puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, yaitu puasa Arofah. Disebutkan dalam hadits dari Hafshoh radhiyallahu anha, beliau menyatakan bahwa Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam ( biasa ) berpuasa pada sembilan Dzulhijjah, hari Asyura (sepuluh muharram-pent) dan tiga hari setiap bulannya,”
(HR. Ahmad, Nasa’i, dan Abu Dawud).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga di tanya tentang puasa Arofah, beliau menyatakan : “Menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan yang akan datang “(HR. Muslim).

Dan termasuk amalan shalih yang di syariatkan untuk di kerjakan pada hari-hari tersebut adalah menyembelih kurban. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang memiliki kelapangan (harta) dan dia tidak berkurban janganlah dia mendekati mushalla kami.” (HR. Ahmad).

Sebagian ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berdalil dengan hadits ini atas wajibnya berkurban bagi mereka yang mampu. Imam Asy-Syaukani menyatakan : Tatkala (Rasulullah) melarang bagi seseorang yang punya kelapangan (harta) untuk mendekati mushalla jika dia tidak berkurban. Ini menunjukkan bahwa dia telah meninggalkan kewajiban, maka seakan-akan tidak ada manfaat di dalam taqarrub (mendekatkan diri pada Allah) bersamaan dengan meninggalkan kewajiban.
Dan bagi mereka yang berkurban maka janganlah memotong rambut dan kukunya sampai selesai berkurban. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan : “Barang siapa yang mempunyai sembelihan yang akan di sembelih, maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih.” (HR. Muslim).

Dan termasuk amalan yang disunnahkan pada hari-hari itu adalah banyak-banyak berdzikir, diantaranya bertasbih, bertahlil, bertakbir dan bertahmid. Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : “Perbanyaklah padanya tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.” (HR. Thabrani dengan sanad yang jayyid).

Imam Bukhari menyatakan dalam shahihnya bahwasanya Ibnu Umar dan Abu Hurairah keduanya keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (dzulhijjah) lalu mereka berdua bertakbir, dan bertakbirlah manusia dengan takbir keduanya.

Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bertasbih, bertahlil, bertakbir dan bertahmid adalah ucapan yang di cintai Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau shallallahu alahi wa sallam bersabda : “Ucapan yang paling di cintai Allah ada empat : Shubhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar. Tidak masalah kamu mulai dengan yang manapun.” (HR. Muslim).

Dan termasuk pula darinya adalah bertaubat dan beristighfar dari segala dosa kita yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tidak tampak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan tentang orang-orang yang banyak beristighfar dalam sabdanya : “Berbahagialah bagi mereka yang mendapati dalam catatan amalnya istighfar yang banyak.” (Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, No 1617).
Dan termasuk pula darinya adalah banyak-banyak melaksanakan shalat sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Wajib atas kalian untuk memperbanyak sujud kepada Allah. Tidaklah kamu sujud kepada Allah dengan sekali sujud kecuali Allah mengangkat derajatmu satu derajat dan akan menghapus darimu satu kesalahan.” (HR. Muslim).

Dan termasuk pula amalan yang semestinya kita perbanyak di sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah bershadaqah dan menolong orang-orang yang kesusahan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang keutamaan shadaqah : “Sesungguhnya shadaqah itu akan memadamkan panasnya kubur bagi pelakunya, dan bahwasanya seorang mu’min itu akan bernaung di hari kiamat pada naungan shadaqahnya.” (Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib,No. 873).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah di tanya oleh seseorang : “Ya Rasulullah manusia yang bagaimana yang paling di cintai oleh Allah ? “Lalu beliau menjawab : “Manusia yang paling di cintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang paling di cintai Allah Azza Wa Jalla adalah kebahagian yang kamu masukkan pada seorang muslim, kamu hilangkan darinya kesusahannya, atau kamu bayarkan utangnya, atau kamu tangkal kelaparan darinya. Dan aku berjalan bersama seseorang dalam suatu kebutuhan itu lebih aku senangi daripada aku beri’tikaf di masjid ini yaitu madjid madinah, selama satu bulan.

Dan barang siapa yang menahan kemarahannya, yang seandainya dia lampiaskan pasti dia (mampu) melampiaskannya. Maka Allah akan memenuhi hatinya pada hari kiamat dengan kerhidoan. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya dalam satu kebutuhan sampai dia menyelesaikan baginya (hajat kebutuhan saudara tersebut, ed), maka Allah akan menetapkan (mengokohkan) kakinya pada hari kaki-kaki tergelincir ( di hari kiamat nanti,ed.)”
(Lihat Shahahih At-Targhib, No. 2623).

Itulah beberapa amalan shalih dan masih banyak lagi amalan-amalan yang lainnya yang hendaknya kita berusaha keras untuk melaksanakannya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, dengan harapan kita akan mendapatkan rahmat serta ridho-Nya, Amin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Maraji’ :
1. Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
2. Tafsir Al-Qur’an Al Adzim, karya Al-Imam Ibnu Katsir.

Sumber :  http://www.darussalaf.or.id/fiqih/mendulang-pahala-di-bulan-dzulhijjah/


Saturday, September 22, 2012

Dauroh Balikpapan : Sabtu-Ahad, 29-30 sep 2012, Bersama Ust. Abdurrahman Lombok & Ust. Ayip Syafruddin Hafizhahumullah

Hadirilah..!!! 
Dauroh Islamiyah

Bersama :
Ust. Abdurrahman Lombok hafizhahullah
Dengan Tema :
"Awas..! Noda-Noda Hitam Menghampiri Ahlul Haq"
&
Ust. Ayip Syafruddin hafizhahullah
Dengan Tema :
"Dengan Cinta Menepis Petaka"

Yang InsyaAllah akan diadakan pada :
Hari Sabtu-Ahad, 29-30 September 2012
Pukul : 09.00 Wita-Selesai
Tempat : Masjid Zaadul Ma'aad (Ma'had Ibnul Qoyyim)
Jl. Projakal Km. 5,5 No. 111 Balikpapan
Telp. (0542) 861712 / 085754148541

Streaming : www.salafybpp.com

Sumber : http://salafybpp.com/


Friday, September 21, 2012

Kajian Ilmiah Sragen Jateng, "Kemuliaan dan Kehormatan Darah Seorang Muslim di Sisi Allah" Bersama Ust. Muhammad Umar As-Sewed hafizhahullah

Hadirilah dengan mengharap ridha Allah
Kajian Islam Ahlussunnah wal Jamaah
dengan tema:
"Kemuliaan dan Kehormatan Darah Seorang Muslim di Sisi Allah"
Pembicara :
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
(Mudir Ma’had Dhiya’us Sunnah Cirebon)
Waktu :
Sabtu, 29 September 2012
Pukul: 09.00 WIB – Dzuhur
Tempat:
MAsjid Ma’had Daarus-Salaf Al-Islamy
Jl. Solo-Purwodadi KM 27 (Belakang POM Bensin)
Pendem, Sumberlawang, Sragen, Jateng 57272
Kontak Person:
Abu Yusuf : 081 329 244 616



Thursday, September 20, 2012

Download Dauroh Jakarta 4 Dzulqo’dah 1433 /20 September 2012 : Kitab Ushulus Sittah & Qawa'idul Arba' Karya Syaikuhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahhab

Download rekaman Dauroh Sehari 4 Dzulqo’dah 1433 /20 September 2012 
di Masjid Al I’tisham Sudirman, Jakarta.  
Dengan Tema :
1. Enam Pilar Agama (Kitab Ushulus Sittah)  
oleh Al Ustadz ‘Abdul Barr Kaisenda
2. Empat Kaidah Islam (Kitab Qawaidul Arba’) 
oleh Al Ustadz Ali Basuki, Lc



Sumber : http://ahlussunnahsukabumi.com/tribute-to-shaykhul-islaam-muhammad-ibn-abdul-wahhaab-download-rekaman-dauroh-jakarta-sehari-6-pilar-agama-4-kaidah-islam/#comment-285 


Wednesday, September 19, 2012

Download Kajian "Tafsir Surah Asy-Syams" Oleh : Ust. Salman Bin Mahmud Hafizhahullah

Download Kajian
"Tafsir Surah Asy-Syams"
Oleh :
Al-Ustadz Salman Bin Mahmud Hafizhahullah



Download Kajian "Pembelaan Terhadap Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam-" Oleh : Ust. Dzulqarnanin hafizhahullah

Download Kajian
"Pembelaan Terhadap Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam-"
Oleh :
Al-Ustad Dzulqarnanin Bin Muhammad Sanusi hafizhahullah
Download disini
Sumber : annashradio
 

Monday, September 17, 2012

Hukum Makanan dari Perayaan Bid’ah

Terdapat sejumlah pertanyaan seputar makanan-makanan yang berasal dari acara-acara bid’ah atau yang tidak disyari’atkan. Berikut beberapa fatwa ulama tentang hal tersebut.

Pertanyaan :
Guru kami, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbâd Al-Badr, pernah ditanya, “Apakah boleh memakan makanan ahlul bid’ah? Perlu diketahui bahwa mereka membuat makanan ini untuk bid’ah tersebut, seperti makanan untuk maulid Nabi.

Beliau menjawab, :
“Yang wajib adalah mengingatkan mereka untuk menjauhi bid’ah-bid’ah dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Terhadap seorang manusia, (kita mengingatkan) agar tidak memakan makanan yang dibuat untuk perkara-perkara bid’ah dan perkara-perkara yang diharamkan.” [Pelajaran Sunan Abu Dawud, kaset no. 137]

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 22/270-271 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdul ‘Aziz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzân, dan Syaikh Bakr Abu Zaid, disebutkan tanya-jawab sebagai berikut.

Pertanyaan :
“Apa hukum memakan makanan yang dipersiapkan untuk acara-acara tertentu atau suatu kebiasaan, seperti memakan makanan musim semi yang siapkan dengan tepung putih dan tanaman ketika musim semi telah tiba?”

Jawaban :
Apabila makanan-makanan ini tidak berhubungan dengan hari-hari raya dan acara-acara bid’ah, serta tidak ada penyerupaan terhadap orang-orang kafir, tetapi hanya kebiasaan-kebiasaan untuk menganekaragamkan makanan seiring pergantian musim, tidak masalah dalam memakannya karena asal dalam kebiasaan adalah pembolehan.”
Dari jawaban di atas, tampak bahwa pensyaratan pembolehan adalah bila tidak berhubungan dengan hari-hari raya dan acara-acara bid’ah, serta tidak ada penyerupaan terhadap orang-orang kafir.

Risalah Ilmiyah An-Nashihah, vol. 09 Th. 1/1426 H/2005 M, hal. 2-3, memuat tanya-jawab berikut :

Pertanyaan :
Di negeri kami, sebagian orang mengadakan perayaan maulid dan perayaan-perayaan bid’ah lainnya. Kemudian mereka mengirim sebagian makanan dari perayaan-perayaan tersebut ke rumah kami. Apakah kami boleh memakannya?

Jawaban :
Mufti Umum Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Âlu Asy-Syaikh, pada malam Jum’at, 8 Sya’ban 1425 H, bertepatan dengan 29 September 2004, menjawab sebagai berikut.

“Wallahu a’lam, tentang acara-acara yang diselenggarakan untuk perkara-perkara bid’ah, tidaklah boleh memakan (makanan) pada (acara) tersebut karena makanan tersebut diletakkan di atas hal yang tidak disyariatkan.”

Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhâry, pada sore 5 Syawal 1425 H, bertepatan dengan 17 November 2004, menjawab sebagai berikut :

“Makanan perayaan-perayaan maulid adalah bid’ah dalam agama -menurut (pendapat) yang benar- dan menyelisihi petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam kitab Ash-Shahîhain (Shahîh Al-Bukhâry dan Shahih Muslim),
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru, dalam agama kami, yang tidak termasuk dari (agama) tersebut, (perkara) itu tertolak.”

Tentunya, manusia tidak hanya terbatas dengan mengadakan maulid-maulid, bid’ah-bid’ah seperti perayaan maulid ini, perayaan-perayaan lain yang berkaitan dengan hal seperti ini, bahkan mereka juga menambahnya dengan sembelihan-sembelihan dan berbagai jenis makanan. 

Oleh karena itu, kiriman makanan tersebut kepada manusia, menurutku, tidaklah pantas untuk diambil dan dimakan karena ada bentuk menolong ahlil bid’ah ‘pelaku bid’ah’. Jika seseorang melihat seorang Sunni (pengikut sunnah), atau selainnya, mengambil atau memakan makanan seperti itu dan membolehkan hal seperti ini untuk dirinya, manusia akan menjadi bingung sehingga mereka tidak mengetahui yang haq dari yang batil. Maka, manusia seharusnya diberitahu bahwa hal seperti ini tidaklah boleh dan makanan-makanan seperti itu tidaklah boleh, juga bahwa tidaklah pantas menghidupkan bentuk (perayaan) seperti ini. Jelaskanlah kepada mereka, ingatkanlah mereka, dan buatlah mereka takut terhadap Allah Jalla wa ‘Azza.

Sesungguhnya, makanan seperti ini seharusnya ditinggalkan berdasarkan atsar Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu bahwa seorang maulanya (budaknya) menghadiahkan makanan kepadanya kemudian berkata, ‘Makanan ini berasal dari perdukunan yang saya lakukan pada masa jahiliyah.’ Maka, Abu Bakr memasukkan tangannya lalu mengeluarkan makanan tersebut dari perutnya, seraya berkata, ‘Demi Allah, andaikata Saya tahu bahwa ruhku akan keluar bersama makanan tersebut, niscaya saya akan mengeluarkan (ruhku).’[1] Hal ini menunjukkan kesempurnaan wara’ beliau radhiyallâhu ‘anhu. Maka, dibangun di atas dasar nash ini dan selainnya, seseorang tidaklah pantas membantu orang-orang tersebut serta tidak boleh memakan makanannya, tetapi meninggalkan (makanan) itu. Itulah yang terbaik.”

Demikian fatwa-fatwa ulama kita yang tidak memperbolehkan.
Dalam catatan kaki Hâsyiyah Fathul Majîd, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz meluruskan pendapat Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqiy. Di antara penjelasan beliau adalah, “… akan tetapi, bila makanan tersebut berasal dari daging sembelihan kaum musyrikin, lemak, atau kuah (daging) itu, hal tersebut adalah haram karena sembelihan (kaum musyrikin) berada pada hukum bangkai sehingga menjadi haram dan menajisi makanan yang bercampur dengannya. Berbeda dengan roti dan yang semisalnya berupa hal-hal yang tidak bercampur dengan suatu sembelihan kaum musyrikin apapun, hal tersebut adalah halal bagi siapa saja yang mengambilnya ….”


[1] Dalam konteks riwayat Al-Bukhâry no. 3842 dari hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, Aisyah bertutur,
كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلاَمٌ يُخَرِّجُ لَهُ الخَرَاجَ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ لَهُ الغُلاَمُ: أَتَدْرِي مَا هَذَا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَمَا أُحْسِنُ الكِهَانَةَ، إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ، فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ، فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ، فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ
“Adalah Abu Bakr memiliki seorang budak yang memberi setoran kepadanya, dan Abu Bakr makan dari setoran tersebut. Pada suatu hari, budak itu datang membawa sesuatu, dan Abu Bakr memakan (sesuatu) itu. Budak tersebut berkata kepadanya, ‘Tahukah engkau, apa ini?’ Abu Bakr balik bertanya, ‘Apa ini?’ (Budak) itu menjawab, ‘Dahulu, Saya melakukan perdukunan pada seseorang di masa jahiliyah. Saya sebenarnya tidak pandai melakukan perdukunan tersebut, tetapi Saya menipunya. Lalu, ia memberi (makanan) tersebut kepadaku, dan inilah makanan yang telah engkau makan.’ Maka, Abu Bakr memasukkan tangannya lalu memuntahkan seluruh isi perutnya.”

Sumber :  http://dzulqarnain.net/hukum-makanan-dari-perayaan-bidah.html


Sunday, September 16, 2012

Download Rekaman Taushiyah Ust. Abu Mu’awiah Askari bin Jamal di Ma’had As-Sunnah Makassar : BEKAL-BEKAL PENTING UNTUK MENGENAL & KOKOH DI ATAS HIDAYAH & AL-HAQ. Makassar, 24 Syawal 1433 H.

Download Rekaman Taushiyah
"Bekal-Bekal Penting Untuk Mengenal
dan
Kokoh Di Atas Hidayah & Al-Haq"
Oleh :
Al-Ustadz Abu Mu'awiah Askari Bin Jamal Hafizhahullah
Di
Ma'had As-Sunnah Makassar 24 Syawwal 1433 H


Sumber Link : http://aasiraj.wordpress.com/2012/09/17/unduhan-rekaman-taushiyah-ust-abu-muawiah-askari-bin-jamal-di-mahad-as-sunnah-makassar-bekal-bekal-penting-untuk-mengenal-kokoh-di-atas-hidayah-al-haq-makassar-24-syawal-1433-h/
Catatan : Dengan sedikit perubahan


Lemah Lembut

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)

Sepertinya tidak ada orang yang tidak menyukai kelembutan. Orang yang memiliki sikap lemah lembut akan disukai banyak orang. Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk memiliki sikap ini, tidak hanya dalam pergaulan sehari-hari, namun juga ketika berdakwah.

Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita menemukan bermacam jenis orang yang memiliki watak berbeda-beda dan tabiat yang beraneka ragam. Ada di antara mereka yang bertabiat kasar, ada yang bertabiat tidak mau tahu, dan ada juga yang bertabiat lemah lembut. Semua ini adalah pemberian Dzat Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana yang patut kita mengkaji hikmah di dalamnya.
Dengan beragamnya tabiat dan watak itu, kita dituntut oleh agama untuk menjadi yang terbaik dan yang terpuji, menjadi orang yang lemah lembut dalam segala hal. Lemah lembut dalam sikap, tabiat, watak, dalam ucapan, tingkah laku, dan sebagainya.

Rasulullah  bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ نُزِعَ عَنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya tidaklah kelemahlembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya dan tidaklah tercabut dari sesuatu melainkan akan merusaknya.” (Sahih, HR. Muslim dari Aisyah).

Ciri Khas Pengikut Rasulullah
Lemah lembut adalah sifat yang terpuji di hadapan Allah l dan Rasul-Nya, bahkan di hadapan seluruh manusia. Fitrah manusia mencintai kelembutan sebagai wujud kasih sayang. Oleh karena itu, Allah mengingatkan Rasul-Nya :
“Maka dengan rahmat Allah-lah engkau menjadi lembut terhadap mereka dan jika engkau keras hati niscaya mereka akan lari dari sisimu.” (Ali ‘Imran: 159)

As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan, “Dengan rahmat Allah  yang diberikan kepadamu dan kepada para sahabatmu, engkau dapat bersikap lemah lembut terhadap mereka, merendah di hadapan mereka, menyayangi mereka, serta kebagusan akhlakmu terhadap mereka. Sehingga mereka mau berkumpul di sisimu, mencintaimu, dan melaksanakan segala apa yang kamu perintahkan. Jika kamu memiliki akhlak yang jelek dan keras niscaya mereka akan menjauhimu, karena yang demikian itu akan menyebabkan mereka lari dan menjadikan mereka murka terhadap orang yang memiliki akhlak yang jelek tersebut.

Jika akhlak yang baik menyertai seorang pemimpin di dunia maka akan menarik/memikat orang-orang menuju agama Allah dan akan menjadikan mereka mencintai agama. Bersamaan dengan itu, pemilik akhlak tersebut akan mendapatkan pujian dan pahala yang khusus.

Jika akhlak yang jelek melekat pada seorang pemuka agama, akan menyebabkan orang lain lari dari agama dan akan membenci agama. Bersamaan dengan itu, dia akan mendapatkan cercaan dan ganjaran dosa yang khusus.

Kalau demikian Allah l mengingatkan Rasul-Nya yang ma’shum (terbebas dari dosa-dosa), maka bagaimana lagi dengan selain beliau (dari kalangan manusia)? Bukankah termasuk kewajiban yang paling wajib untuk mengikuti akhlak Rasulullah dan bergaul bersama manusia sebagaimana Rasulullah n bersama mereka dengan kelemahlembutan, akhlak yang baik, kasih sayang, dalam rangka melaksanakan perintah-perintah Allah l dan menarik manusia ke dalam agama Allah ?”

Di dalam kitab Bahjatun Nazhirin (1/683) disebutkan, “(Betapa) tingginya kedudukan lemah lembut dibanding akhlak-akhlak terpuji lainnya. Dan orang yang memiliki sifat ini pantas baginya untuk mendapatkan pujian dan pahala yang besar dari Allah l. Bila sifat lemah lembut ini ada pada seseorang dan menghiasi dirinya maka akan menjadi (indah) dalam pandangan manusia dan lebih dari itu dalam pandangan Allah l. Sebaliknya jika memiliki sifat yang kasar, angkuh, dan keras hati niscaya akan menjadikan dirinya jelek dan tercela di hadapan manusia.”

Lemah Lembut dalam Berdakwah
Asy-Syaikh al-Albani t mengatakan bahwa asal di dalam berdakwah adalah lemah lembut. Artinya bahwa dakwah itu dibangun di atas kelemahlembutan meskipun tidak menafikan sifat keras jika memang dibutuhkan. Meletakkan sifat keras pada tempatnya dan sifat lemah lembut pada tempatnya, inilah yang dimaksud dengan firman Allah :
“Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan penuh hikmah.” (an-Nahl: 125)

Keutamaan Sifat Lemah Lembut

1. Sebagai salah satu pemberian Allah l yang sangat berharga di dunia dan di akhirat, berdasarkan firman Allah :
“Maka dengan rahmat Allah-lah kamu bisa bersikap lemah lembut kepada mereka.” (Ali ‘Imran: 159)

Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah Mahalembut serta mencintai kelembutan, dan Allah memberikan kepada sifat lembut yang tidak diberikan pada sifat kasar dan sifat lainnya.” (Sahih, HR. Muslim no. 2593)

2. Mendapatkan pujian dan kecintaan dari Allah  dan Rasul-Nya .
Allah  berfirman:
“(Orang-orang yang bertakwa adalah) orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan kesalahan (orang lain). Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ali ‘Imran: 134)

Rasulullah n bersabda kepada al-Asyaj Abdul Qais, “Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah: lemah lembut dan tidak tergesa-gesa.” (Sahih, HR. Muslim no. 17 dan no. 25)

3. Kelemahlembutan akan menghiasi pemiliknya, sebagaimana dalam riwayat al-Imam Muslim t dari ‘Aisyah  yang tersebut pada awal tulisan.

4. Kelemahlembutan akan mendorong orang lain untuk menerima kita dan dakwah Allah  ini. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh al-Bukhari  dan hadits Anas  yang diriwayatkan oleh Muslim t tentang orang badui yang kencing di dalam masjid, lalu sebagian sahabat segera melarangnya. Namun Rasulullah  memerintahkan para sahabat untuk tidak memutus kencing orang badui tersebut. Setelah selesai kencingnya, barulah Rasulullah n meminta para sahabat menyiram bekas kencing tersebut dan berkata dengan lembut kepada si badui, “Sesungguhnya masjid ini tidaklah diperbolehkan untuk kencing dan tempat membuang kotoran. Masjid hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al-Qur’an.”

Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan sifat lemah lembut yang tidak mungkin dibawakan dalam kesempatan ini.
Wallahu a’lam.

Sumber : http://asysyariah.com/lemah-lembut.html

 

Saturday, September 15, 2012

Download Rekaman Tabligh Akbar Ciamis "Mengungkap Hakekat Ajaran Syi'ah Rafidhah" Bersama Ust. Muhammad Umar As-Sewed Hafizhahullah

Download rekaman Tabligh Akbar 
Mengungkap Hakekat Ajaran Syi’ah Rafidhah” 
bersama :
Al-Ustadz Muhammad bin ‘Umar As-Sewed -hafizhahullaah
(Mudir Ma’had Dhiya’us Sunnah Cirebon dan murid Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullaah-) di Masjid At-Taqwa Banjarsari Ciamis pada malam Sabtu, 14 September 2012.



Sumber : http://rizkytulus.wordpress.com/2012/09/16/download-mengungkap-hakekat-ajaran-syiah-rafidhahust-muhammad-as-sewed/


Friday, September 14, 2012

Posisi Duduk Masbuk: Tawarruk atau Iftirasy.?

Pertanyaan
Saya ingin mengajukan pertanyaan seputar shalat yang selama ini menjadi pertanyaan di benak saya, yaitu:
Ketika imam duduk tahiyat akhir sebelum salam, apakah posisi duduk seorang masbuk seperti posisi duduk tahiyat awal ataukah tetap mengikuti posisi duduk imam?
 
Jawaban
Shalat, ditinjau dari jumlah rakaatnya, terbagi dua:

Pertama
shalat dua rakaat, seperti shalat Shubuh, rawatib, dan lain-lain. Cara duduk shalat seperti ini adalah duduk iftirasy, yakni seperti duduk tasyahud awal dalam shalat yang lebih dari dua rakaat, atau seperti duduk antara dua sujud: kaki kanan ditegakkan dan pantat duduk di atas kaki kiri. Ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut:
  1. Hadits Abdullah bin Zubair bahwa beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اليُسْرَى وَنَصَبَ اليُمْنَى وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى الْوُسْطَى وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَلْقَمَ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila duduk dalam dua rakaat, menghamparkan (kaki) kirinya dan menegakkan (kaki) kanannya, meletakkan ibu jari (tangan kanan)nya di atas jari tengah dan berisyarat dengan telunjuk (tangan kanan)nya, serta meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya, sedang telapak tangan kirinya menggenggam (lutut)nya.”[1]
  1. Hadits Wâ`il bin Hujr:
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ أَضْجَعَ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَنَصَبَ أُصْبَعَهُ لِلدَّعَاءِ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى
“Dan apabila duduk dalam dua rakaat, beliau membaringkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, serta menegakkan jari (tangan kanan)nya untuk doa dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya ….”[2]

Kedua
shalat yang lebih dari dua rakaat, seperti shalat Maghrib, Isya, Zhuhur, dan Ashar. Shalat seperti ini mempunyai dua tasyahud: tasyahud awal dan tasyahud akhir. Oleh karena itu, seorang makmum duduk secara iftirasy pada tasyahud awal, sedang, pada tasyahud akhir, duduk secara tawarruk, yaitu menegakkan kaki kanan dan memasukkan kaki kiri di bawah paha dan betis kanan, sedang pantat sebelah kiri bersentuhan langsung dengan tempat duduk.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid As-Sâ’idy bahwa beliau menceritakan sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan sepuluh orang shahabat, dan mereka membenarkan hal itu. Abu Humaid berkata,
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُ خْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
“Dan apabila duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan (kaki) kanan. Sedang, apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, serta beliau duduk di atas tempat duduknya.”[3]

Rincian di atas merupakan pendapat Imam Ahmad[4], juga merupakan pendapat Ats-Tsaury, Ishaq, dan Ashhab Ar-Ra’yi.

Oleh karena itu, kalau seorang makmum masbuk pada shalat dua rakaat, duduknya tiada lain kecuali duduk iftirasy, demikian pula bila masbuk pada shalat yang tiga atau empat rakaat. Hal tersebut karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencontohkan duduk tawwaruk hanya pada raka’at terakhir saja. Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat.”[5]

Saya pernah mendengar Syaikhunâ Al-‘Allâmah Al-Muhaddits dari negeri Yaman, Syaikh Muqbil bin Hâdy Al-Wâdi’iy rahimahullâh, berkata, “Ada sebagian orang berpendapat bahwa, kalau seseorang masbuk dua rakaat, kemudian mendapati imam duduk tasyahud terakhir, ia duduk tawarruk seperti cara duduk imam dengan dalil hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhâry-Muslim,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِْ مَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti.”

Lalu, beliau berkata, “Tetapi, yang nampak bagi saya adalah bahwa si masbuk ini tetap duduk iftirasy.”

Juga guru kami, Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry hafizhahullâh, dalam salah satu jawaban beliau yang pernah kami dengarkan, menfatwakan bahwa makmum hanya duduk iftirasy, walaupun imam berada pada rakaat terakhir. Adapun hadits “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti,” ini berlaku untuk mengikuti imam dalam hal yang zhahir. Hal zhahir yang dimaksud di sini adalah bahwa, bila Sang Imam duduk, makmum juga harus duduk bersama imam. Adapun cara duduk imam (iftirasy atau tawarruk) tidaklah tercakup ke dalam lingkup hadits.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.


[1] Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbân -sebagaimana dalam Al-Ihsân 5/370 no. 1943- dengan sanad yang hasan.
[2] Dikeluarkan oleh An-Nasâ`iy 2/586-587 no. 1158 dengan sanad yang shahih.
[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 794.
[4] Sebagaimana dalam Masâ`il Ibnu Hâny hal. 79, Al-Mughny 21/218, dan Majmû’ 3/430.
[5] Hadits Mâlik bin Al-Huwairiz riwayat Al-Bukhâry no. 605.

Sumber : http://dzulqarnain.net/posisi-duduk-masbuk-tawarruk-atau-iftirasy.html


 

by blogonol