Download Kajian Kitab Laamiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Download Kajian Kitab Al-Fawa'idul Bahiyyah Fii Syarhi Laamiyah Syakhil Islam Ibni Taimiyah Rahimahullah (Ta'lif Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafizhahullah).

Dimanakah Roh Para Nabi.?

Soal : Apakah para roh dan jasad pada nabi berada di atas langit ataukah hanya roh mereka saja yang di atas langit.?

Qurban, Keutamaan dan Hukumnya

Allah Berfirman : “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)

Serba Serbi Air Alam

Allah berfirman : Dia telah menurunkan air kepada kalian supaya Dia (Allah) menyucikan kalian dengannya. (QS. Al-Anfal: 11)

Sahabatku Kan Kusebut Dirimu Dalam Do'aku

Rasulullah bersabda : Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri (dari segala hal yang baik). (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sunday, November 11, 2012

Al-Qur'an Penyejuk Hati Orang-Orang Yang Beriman

Al Qur’anul Karim adalah kalam ilahi (firman Allah ) yang diwahyukan kepada Nabi besar Muhammad , penutup dan pemimpin para Nabi dan Rasul. Al Qur’an diturunkan kepada beliau secara berangsur-angsur (tidak sekaligus). 

Allah berfirman:
“Berkatalah orang-orang kafir: “Kenapa Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja?” Demikianlah supaya kami memperkuat hatimu (Muhammad).” (Al Furqan: 32)

Demikianlah proses penurunan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad dan ketika beliau wafat, Al Qur’an benar-benar telah sempurna, tak ada satu ayatpun yang belum diturunkan kepada beliau .

Sepeninggal Nabi , Al Qur’an diemban oleh para shahabat dan murid-murid beliau. Mereka sampaikan Al Qur’an tersebut kepada umat, sebagaimana Nabi menyampaikannya, yang tak berubah nilai kemurnian dan keasliannya, hingga sampai ditangan kita sekarang ini. Maka dari itu, siapapun yang di hatinya ada keimanan, pasti yakin bahwa Al Qur’an yang ada ditangan kaum muslimin ini adalah kitab suci yang selalu terpelihara keabsahannya. 

Sebagaimana firman Allah (artinya):
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar yang memeliharanya.” (Al Hijr: 9)

Namun, sejarah membuktikan bahwa para musuh Al Qur’an telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya!? Kaum Syi’ah Rafidhah dengan beraninya menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin ini telah mengalami perubahan dari yang semestinya. (lihat Ushul Al-Kaafi karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini 2/634 -salah satu ulama syi’ah). Dan juga di zaman ini pula muncul sekte (baca: agama baru) Ahmadiyah yang mengaku pula membawa kitab suci baru (baca: kitab palsu) At Tadzkirah yang dikarang oleh nabi (palsu) Mirza Ghulam Ahmad (lahir 13 Februari 1839, wafat 26 Mei 1908).

Para pembaca, realita sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak dan membatalkan tuduhan perubahan dan pemalsuan Al Qur’an. Karena bila Allah sendiri yang memelihara kemurniannya, maka tiada seorang pun dari manusia ataupun jin mampu merubah-rubahnya dan tiada seorang pun yang mampu membuat serupa dengan Al Qur’an. Maha benar janji Allah dalam firman-Nya (artinya): “Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an , niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu atas sebagian yang lainnya”. (Al Isra’: 88)

Demikianlah, Allah selalu menjaga keaslian Al Qur’an dari masa ke masa sampai ia kembali kepada-Nya.
Lebih dari itu, Al Qur’an pun memilki sifat-sifat yang istemewa, diantaranya:

1. Mau’izhah (pemberi pelajaran)

2. Syifa’ (penyembuh)

3. Huda (petunjuk) dan Rahmat

Allah berfirman (artinya): “Wahai para manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian Mau’izhah (pemberi pelajaran) dari Rabb kalian, dan Syifa’ (penyembuh segala penyakit -pen) yang ada di dalam dada, serta Huda (petunjuk) dan Rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Yunus: 57)

4. Penerang jalan keselamatan
Allah berfirman (artinya):
“Sesunguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin-Nya.” (Al Maidah: 15-16)

5. Tibyan (penjelas segala sesuatu)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami turunkan Al Kitab (Al Qur’an) sebagai penjelas segala sesuatu.” (An Nahl: 89)

Sehingga Al Qur’an merupakan nikmat yang amat agung dan sekaligus sebagai mu’jizat terbesar bagi umat Islam. Hal ini menuntut umat Islam untuk bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat yang besar berupa kesempurnaan agama Islam, dipilihkan seorang Nabi/Rasul sebagai pemimipin para nabi dan rasul, serta dianugerahkan kitab suci yang menjelaskan segala sesuatu dan terjamin keasliannya sampai akhir zaman.

Namun bila menengok keadaan diri kita dan umat Islam di negeri ini pada umumnya, sudahkah kita menjadi hamba Allah yang memuliakan Al Qur’an sebagai wujud syukur kepada-Nya? Sudahkah kita meluangkan waktu tiap harinya untuk membaca Al Qur’an?, … menghafal Al Qur’an? Dan sudahkah kita menelaah dan memahami ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh Rasulullah dan para shahabatnya?

Para pembaca, ketahuilah, sesungguhnya bila kita mau peduli dengan Al Qur’an dengan membacanya, mempelajarinya dan mengajarkannya niscaya Allah akan memberikan jaminan keselamatan (hidayah), bahkan Allah akan memberikan tambahan balasan yang luar biasa kepada kita sebagai wujud kasih sayang-Nya.

Keutamaan Membaca Al Qur’an
Diantara keutamaannya:

1. Wasilah meraih derajat mukmin yang tertinggi
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرآنَ مَثَلُ الأُتْرُجَّةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ لاَرِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al Qur’an itu bagaikan buah utrujjah, harum baunya dan enak rasanya, sedangkan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an itu bagaikan buah kurma yang tidak ada baunya namun enak rasanya. Dan perumpamaan orang munafiq yang membaca Al Qur’an bagaikan buah raihanah, harum baunya tapi pahit rasanya. Sedangkan orang munafiq yang tidak membaca Al Qur’an itu bagaikan buah handzalah yang tidak ada baunya bahkan pahit rasanya. (H.R. Al Bukhari no.5427 dan Muslim no.797)

2. Mendapatkan syafa’at dari Al Qur’an
اقْرَءُوا القُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya Al Qur’an itu akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafa’at bagi shahibul qur’an”. (H.R. Muslim no.804)

3. Memperoleh balasan (pahala) yang sangat besar disisi Allah
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَأَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipat gandakan dengan sepuluh kebaikan. Aku (Nabi Muhammad) tidaklah mengatakan AlifLaamMiim adalah satu huruf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (H.R. At Tirmidzi no. 2910, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Apa keutamaan orang yang mahir membaca Al Qur’an?
Dari Aisyah y meriwayatkan hadits dari Rasulullah , bahwa beliau bersabda:
المَاهِرُ بِالقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir Al Qur’an niscaya akan bersama para malaikat yang mulia dan sedangkan orang yang terbata-bata membacanya karena mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala.” (H.R. Muslim)

Didalam membaca Al Qur’an pun seharusnya disertai dengan beberapa adab yang dituntunkan oleh Rasulullah . 

Berikut ini diantara adab-adab membaca Al Qur’an:

1. Membaca dengan tartil (yaitu sesuai kaidah ilmu tajwid dan makharijul huruf).
Allah berfirman: “Dan bacalah Al Qur’an secara tartil”.(Al Muzammil no. 4)

2. Membaca bacaan Ta’awudz (berlindung dari gangguan syaithan).

أَعَوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk.”
Allah berfirman:
“Apabila kamu membaca Al Qur’an, maka hendaklah berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98)

3. Membaca dengan bacaan yang indah.
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرآنَ
“Bukan dari golongan kami siapa saja yang tidak memperindah bacaan Al Qur’an.” (Muttafaqun alaihi)
Tetapi perlu diingat!!! Tatkala memperindah bacaan Al Qur’an jangan sampai melapaui batas (ghuluw/ekstrim) dari ilmu tajwid yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

4. Men-tadabbur-inya (memperhatikan makna-maknya).
Allah berfirman (artinya):
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah, supaya mereka mentadabburi ayat-ayat-Nya”. (Ash Shad: 29)

“Apabila dibacakan Al Qur’an, maka hendaklah mereka mendengarkannya dan diam, supaya mereka mendapatkan rahmat.” (Al A’raf: 204)

Keutamaan Mempelajari Al Qur’an

Diantara keutamaannya adalah sebagaimana berikut:

1. Tanda kebaikan/kejujuran iman seseorang di sisi Allah
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya. (H.R. Al Bukhari)

2. Mendapatkan ketenangan, diliputi rahmat, dinaungi para malaikat, dan mendapat pujian dari Allah
Rasulullah bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَ بَيْنَهُمْ إلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْ هُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْ هُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah (masjid) Allah dalam keadaan mereka membaca kitabullah dan saling mengkaji diantara mereka, melainkan diturunkan ketenangan kepada mereka, diliputi rahmat, dinaungi para malaikat, dan Allah menyebut-nyebut mereka disisi malaikat-Nya. (H.R. Muslim no. 2699).

3. Terangkat derajatnya di sisi Allah
Dari Umar Bin Khaththab bahwasanya Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al Qur’an dan akan merendahkan beberapa kaum yang lain. “(H.R. Muslim no. 817)

Penutup
Para pembaca, telah kita ketahui bahwa rukun iman ketiga adalah beriman kepada kitab-kitab Allah , termasuk Al Qur’an sebagai kitab suci terakhir. Beriman kepada Al Qur’an mengandung konsekuensi tidak sekedar meyakini kebenarannya saja, namun harus disertai dengan mengamalkan kandungannya. Tentunya, tidaklah bisa mengamalkannya melainkan harus membaca dan mempelajarinya. Dan inilah sebenar-benarnya hakekat dari beriman kepada Al Qur’anul Karim. Sehingga manakala suatu kaum/negeri tersibukkan dengan membaca, mengkaji/memahami dan mengajarkan Al Qur’an, niscaya Allah akan mengangkat derajat suatu kaum/negeri tersebut. Sebaliknya bila suatu kaum/negeri lalai dan menyia-nyiakan Al Qur’an, maka Allah pun akan menghinakan mereka.

Atas dasar ini, berita/kabar dari Rasulullah (sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Umar diatas, yang tidaklah beliau berkata dari hawa nafsunya), bahwa penyebab terpuruknya negeri ini disebabkan karena kebanyakan dari kita telah lalai dan menyia-nyiakan Al Qur’an. Sehingga solusi agar negeri kita menjadi tentram dan aman dibawah naungan rahmat ilahi, maka kita harus bangkit kembali untuk memuliakan Al Qur’an dengan membacanya, mengkajinya, mengamalkannya dan mengajarkannya.

Wahai para pembaca, kalau sekiranya kita mau memperhatikan Al Qur’an, sesungguhnya banyak dari ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan sebab kehancuran pada kaum-kaum terdahulu disebabkan mereka lalai dan menyia-nyiakan kitab yang diturunkan kepada mereka. Diantaranya firman Allah (artinya): “Perumpamaan orang-orang (Yahudi) yang dipikulkan kepada mereka Taurat, kemuduian tiadalah mereka memikulnya (tidak mau mempelajari dan mengamalkannya -pent) adalah seperti keledai yang membawa tumpukan-tumpakan kitab yang berat. Sungguh amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah.” (Al Jum’ah: 5)

Akhir kata, mudah-mudahan kajian kali ini sebagai pendorong kita, sanak keluarga, handai taulan dan lainnya dalam meramaikan syi’ar Islam yang terbesar yaitu Al Qur’anul Karim.

Sumber :  http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/19/al-quran-penyejuk-hati-orang-orang-yang-beriman/


Wanita Penghuni Surga dan ciri-cirinya

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati. 

Kenikmatan-kenikmatan di Al-Jannah (Surga)
Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Diantaranya Allah Subhanallahu wa Ta’ala Shalallahu ‘alaihi wa Sallam rahimahullah berfirman:
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad: 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Merekalah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan piala berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah: 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala:
”Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah: 22-23)

Juga firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman: 56)

Juga firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman: 58)

Dan firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah: 35-37)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau:
”…seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan berdendang bagi suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka: ”Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan: ”Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1561)
Ciri-Ciri Wanita Ahli Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?
Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki.

Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah:

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala seakan-akan melihat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, jika dia tidak dapat melihat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, dia meyakini bahwa Allah Subhanallahu wa Ta’ala melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, tawakkal kepada-Nya, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah Subhanallahu wa Ta’ala, mengharap rahmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah Subhanallahu wa Ta’ala serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Taat kepada suami (dalam hal ma’ruf/kebaikan)

7. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah Subhanallahu wa Ta’ala ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala semata.

8. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

9. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

10. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, suka berderma, menjaga diri dari meminta-minta, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

11. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

12. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk

13. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

14. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

15. Berbakti kepada kedua orang tua.

16. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

17. Menutup aurat dan menjaga kehormatan dirinya.

18. Menundukkan pandangan

19. Mendidik anak-anaknya dengan pendidikan islami.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423

Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:
” … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Wallahu A’lam Bis Shawab.
 
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Azhari Asri dan Redaksi artikel Darus Sunnah, berjudul Wanita Ahli Surga dan Ciri-cirinya. MUSLIMAH XVII/1418/1997/Kajian Kali Ini, dengan beberapa tambahan)

Sumber :  http://www.buletin-alilmu.com/2010/05/13/wanita-penghuni-surga-dan-ciri-cirinya/


Friday, November 9, 2012

Download Rekaman Kajian "Wasiat-Wasiat Rasulullah" Oleh : Ust. Musaddad Hafizhahullah

Download Rekaman Kajian
"Wasiat-Wasiat Rasulullah"
Oleh :
Al-Ustadz Musaddad Hafizhahullah

Klik Link Di Bawah Ini :



Wednesday, November 7, 2012

Download Rekaman Tabligh Akbar Kec. Malunda, Kab. Majene Sulawesi Barat "Islam, Agama Yang Allah Ridhoi" Oleh : Ust. Salman Bin mahmud hafizhahullah

Download Rekaman Tabligh Akbar Kec. Malunda, Kab. Majene
Sulawesi Barat
"Islam, Agama Yang Allah Ridhoi"
Oleh : 
Al-Ustadz Salman Bin Mahmud Hafizhahullah

Klik Link Di Bawah Ini :



Monday, November 5, 2012

Ke Mana Kita Hendak Berlindung..??

Adalah suatu perkara yang wajar, bila setiap orang merasa takut dan khawatir akan ditimpa suatu kejelekan, musibah, dan perkara-perkara lain yang tidak disukainya. Namun manusia tidaklah selalu akan terhindar dari perkara-perkara yang tidak disukainya tersebut, di samping dia juga pasti mendapatkan perkara-perkara yang dia inginkan. Itulah kehidupan. Dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan-Nya, Allah  telah takdirkan itu semua kepada semua makhluk-Nya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
  مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلى اللهِ يَسِيْرٌ 
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah .”(Al Hadiid: 22)

Pada saat muncul perasaan khawatir dan takut (suatu kejelekan akan menimpa dirinya) itulah, seorang manusia butuh untuk mendapatkan perlindungan, dengan harapan agar dia terhindar darinya.
Allah , dengan rahmat dan kasih sayang-Nya telah memberikan petunjuk melalui lisan Rasul-Nya  kepada umat manusia ini, bagaimana seyogyanya bagi seorang hamba dalam meminta perlindungan. Allah, sebagai pencipta kebaikan dan kejelekan, dan pengatur alam semesta ini, sudah sepantasnyalah, bagi seorang hamba untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya tempat berlindung dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.

Allah berfirman:
  اللهُ الصَّمَدُ
“Allahlah satu-satunya tempat bergantung.”(Al Ikhlas: 2)

Namun kenyataannya, kita lihat sebagian kaum muslimin masih ada yang menjadikan tempat berlindung mereka selain Allah. Ketika akan mengadakan hajatan atau pesta pernikahan misalnya, mereka mendatangi kuburan yang diyakini sebagai kuburan wali, meminta perlindungan kepadanya agar acara yang akan diadakannya berjalan dengan selamat. Atau seseorang ketika melewati suatu lembah atau tempat-tempat lain, kemudian dengan lisan dan hatinya, serta penuh dengan kekhusyukan dan perendahan diri, dia mengucapkan kalimat permintaan perlindungan kepada penunggu tempat tersebut dari kalangan jin dan yang lainnya dari selain Allah dengan keyakinan agar tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia dalam perjalanannya.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Mengapa perbuatan-perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan terlarang? Dan apakah larangan meminta perlindungan kepada selain Allah ? ini berlaku secara mutlak? Karena kita juga dapati ada seseorang yang dimintai perlindungan ternyata dia mampu untuk memberikan perlindungannya kepada orang yang memintanya tadi. Apakah yang seperti ini dibolehkan?

ISTI’ADZAH MERUPAKAN IBADAH

Dalam istilah bahasa Arab, meminta perlindungan biasa disebut dengan Isti’adzahالاِسْتِعَاذَةُ ) ). Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Isti’adzah adalah meminta perlindungan kepada Allah ? dan mendekatkan diri ke hadapan-Nya (agar terhindar) dari kejelekan sesuatu.” (Fathul Majid, hal. 195, Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh).

Isti’adzah termasuk salah satu bentuk ibadah yang Allah perintahkan kepada semua hamba-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang batin (tidak tampak) maupun yang lahir (tampak).” (Majmu’ Fatawa, jilid 10, hal. 149).

Allah  berfirman:
  قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ 
 “Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb Penguasa Shubuh.” (Al Falaq: 1)

Dan juga firman-Nya:
  قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ 
 “Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
 
Di dalam dua ayat yang agung ini, Allah  perintahkan kepada hamba-Nya, untuk beristi’adzah kepada Rabb semesta alam. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kepada hamba-hamba-Nya, melainkan pasti sesuatu tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah. Maka masuklah Isti’adzah ini ke dalam ruang lingkup ibadah sebagaimana definisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tersebut.

Asy Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh dalam Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul halaman 51 berkata: “Sebagian besar Ahlul Ilmi telah mengatakan bahwa Isti’adzah merupakan Ibadah Qalbiyyah.” Dalam kitabnya yang sama, beliau juga berkata: “Suatu ibadah tidaklah pantas ditujukan kecuali hanya kepada Allah, maka barangsiapa yang memalingkan sedikit saja dari suatu ibadah kepada selain Allah, berarti dia telah menujukan (mempersembahkan) suatu peribadatan kepada selain-Nya.”

Inilah hakekat kesyirikan yang Allah  larang sebagaimana firman-Nya:
 وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا 
 “Bahwa masjid-masjid adalah milik Allah. Maka janganlah kamu beribadah kepada sesuatupun (dari selain Allah) di samping (beribadah kepada) Allah.” (Al Jin: 18)

Di dalam ayat ini Allah melarang suatu peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah, walaupun di samping itu dia juga beribadah kepada-Nya.

HUKUM BERISTI’ADZAH KEPADA SELAIN ALLAH

Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab dalam Kitabut Tauhid “Bab Termasuk Perbuatan Syirik Adalah Beristi’adzah Kepada Selain Allah.”

Namun, dari sini tidaklah dipahami bahwa setiap Isti’adzah kepada selain Allah merupakan perbuatan syirik secara mutlak. Karena jika seseorang beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada orang lain yang dia mampu untuk memberikan perlindungan kepadanya, maka ini dibolehkan. Demikian penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Al Qaulul Mufid, jilid 1 hal. 250.
Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah, bagaimanakah sebenarnya batasan-batasan Isti’adzah itu? Kapan Isti’adzah hanya boleh ditujukan kepada Allah  saja? Dan kapan pula Isti’adzah kepada makhluk dibolehkan?

ISTI’ADZAH KEPADA ALLAH ?

Terkandung dalam Isti’adzah ini bahwa seorang hamba benar-benar butuh kepada Allah, bergantung kepada-Nya, berkeyakinan bahwa hanya Dialah yang mencukupi segala kebutuhan hamba-Nya. Dialah Yang Maha Sempurna sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang sedang atau akan terjadi, kecil atau besar, baik itu berasal dari manusia atau selainnya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 63, karya Asy Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin).

Allah  berfirman:
  وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ 
 “Dan jika Syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36).

Di dalam ayat yang mulia ini, terkandung perintah agar beristi’adzah kepada Allah ketika datang gangguan dari syaithan, mengapa?

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sesungguhnya Dialah yang mendengar permohonanmu, Dia mengetahui keadaanmu dan kebutuhanmu yang sangat mendesak untuk mendapatkan perlindungan dan penjagaan-Nya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 750)

Dan firman-Nya:
  قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ 
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Subuh.” (Al Falaq: 1)

Dan juga firman-Nya:
  قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ 
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)

Para pembaca sekalian, para ulama ahli tafsir telah memberikan faedah kepada kita tentang kandungan surat ini, di antaranya Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa sudah seyogyanya kita meminta perlindungan kepada Dzat Yang Mengatur dan Memiliki alam semesta ini. Sebagai konsekuansi dari Rububiyyah-Nya, maka hanya kepada-Nyalah semua peribadatan hamba ditujukan. Beliau berkata: “ …. Maka tidaklah sempurna suatu peribadatan seseorang kecuali dengan menyingkirkan musuh-musuh mereka yang hendak memutuskan dan menghalangi manusia dari beribadah kepada-Nya dan menjadikan manusia masuk ke dalam golongannya sehingga akan menjeratnya ke dalam As Sa’ir (An Naar, pen).” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 938).

Maka apakah pantas jika seorang hamba beribadah dan meminta perlindungan kepada selain Dzat yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta ini???

Allah  juga berfirman:
  فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْأنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ 
“Maka jika kamu hendak membaca Al Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguan Syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98).

Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “Ini merupakan perintah dari Allah kepada hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya jika mereka hendak membaca Al Qur’an, maka hendaknya berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhim, 2 / 607).

ISTI’ADZAH DENGAN SIFAT-SIFAT ALLAH

Termasuk perkara yang disyariatkan pula beristi’adzah dengan sifat-sifat Allah, baik berupa sifat Kalam-Nya Keagungan dan Kemulian-Nya ataupun sifat-sifat-Nya yang lain.

Dari Khaulah binti Hakim radhiyallahu ‘anha dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
  مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً فَقَالَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهً شَيْئٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلِكَ 
 “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian berdo’a “Aku berlindung dengan Kalimat Allah Yang Sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan”, maka tidak ada sesuatupun yang memudharatkan dia sampai dia beranjak dari tempatnya tersebut.” (H.R. Muslim).

Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berlindung dengan Kalimat Allah yang merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat-Nya yang sempurna yang tidak ada kekurangan dan aib padanya.

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Kalimat di sini adalah Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 17 / 26).

Oleh karena itu para ulama berdalil dengan hadits ini bahwa Kalamullah adalah termasuk sifat-sifat-Nya dan bukan makhluk. Karena Isti’adzah kepada makhluk dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Kalau seandainya Kalimat adalah makhluk, maka Rasulullah ? tidaklah akan menuntunkan kepada kita untuk beristi’adzah dengannya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255).

Maka jadilah hadits ini sebagai bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan yang lainnya yang menyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Wallahu A’lam.

KAPAN KITA DIBOLEHKAN BERISTI’ADZAH KEPADA MAKHLUK?

Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy Syaikh dalam Fathul Majid hal. 198 membawakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Para ulama seperti Al Imam Ahmad dan yang lainnya telah menyatakan bahwa tidak boleh beristi’adzah kepada makhluk.” Demikian juga yang dinukilkan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yang kemudian beliau mengomentari perkataan ini bahwa larangan tersebut tidaklah mutlak, karena larangan beristi’adzah kepada makhluk berlaku untuk perkara-perkara yang hanya Allah saja yang mampu melakukannya.

Adapun jika beristi’adzah kepada makhluk yang dia tidak mampu atasnya, maka ini termasuk perbuatan syirik sebagaimana contohnya telah kami sebutkan dalam awal risalah ini.

Dan termasuk dalam larangan ini juga beristi’adzah kepada penghuni kubur (orang yang telah meninggal), karena mereka tidaklah mampu untuk memberikan manfa’at ataupun menimpakan mudharat. Maka Isti’adzah kepada merseka termasuk perbuatan syirik akbar (besar), sama saja apakah dalam beristi’adzah tersebut di kuburannya atau jauh darinya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255-256).

Adapun Isti’adzah kepada makhluk yang dia mampu atasnya, maka ini dibolehkan, namun dengan syarat dia hadir di hadapannya dan dalam beristi’adzah tidak ada unsur perendahan diri dan pengagungan, serta puncak kecintaan kepada makhluk yang dia beristi’adzah kepadanya tersebut, serta tidak ada pula ketergantungan hati kepadanya bahwa hanya dialah yang mampu memberikan perlindungannya.

Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Tidak diragukan lagi bahwa ketergantungan hati kepada makhluk termasuk perbuatan syirik, maka jika kamu menggantungkan hatimu, harapanmu, takutmu, dan semua permasalahanmu kepada seseorang, dan kamu jadikan dia sebagai tempat berlindung, maka ini termasuk syirik karena semua ini tidaklah boleh ditujukan kepada selain Allah.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 256).

Dalam kitabnya yang lain Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 64-65, beliau menerangkan bahwa memohon perlindungan kepada makhluk yang memungkinkan untuk dijadikan tempat berlindung, baik berupa manusia, tempat, atau yang lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi ketika menyebutkan beberapa fitnah:
  مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَ مَنْ وَجَدَ فِيْهَا مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ 
“Barangsiapa yang menengok atau mencarinya, ia akan tenggelam (terjerat) ke dalamnya, dan barangsiapa yang mendapat tempat berlindung, maka hendaklah dia berlindung kepadanya.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).

Demikian juga dalam Shahih Muslim dari riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita dari Bani Makhzum, yang melakukan pencurian, kemudian dihadapkan kepada Rasulullah dan diapun meminta perlindungan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. (Lihat hadits no. 1689).
Jika ada seseorang yang meminta perlindungan dari kejahatan orang yang dhalim, maka wajib untuk menjaga dan melindunginya sebatas kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi jika dia meminta perlindungan dalam rangka kemungkaran ataupun lari dari kewajibannya maka haram hukumnya untuk memberikan perlindungan kepadanya.

BOLEHKAH BERISTI’ADZAH KEPADA JIN?

Dalam kitabnya Taisirul ‘Azizil Hamid halaman 168 Asy Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh membawakan perkataan Mulla Ali Al Qari Al Hanafi, bahwasanya tidak boleh beristi’adzah kepada jin. Allah ? telah mencela orang-orang kafir karena perbuatan ini. 
Allah  berfirman:
  وَ أَنَّه كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَا دُوهُمْ رَهَقًا 
“Dan bahwasanya ada segolongan laki-laki dari manusia meminta perlindungan kepada segolongan laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka ketakutan yang amat sangat.” (Al Jin: 6).

Dahulu orang-orang Arab Jahiliyyah ketika melewati suatu tempat tertentu berlindung kepada penguasa tempat tersebut dari kalangan jin, agar tidak menimpakan kejelekannya kepada mereka. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Berkata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya Isti’adzah kepada jin haram hukumnya, karena tidak memberikan manfaat kepada orang yang memintanya, bahkan justru menambah kepada mereka rasa takut yang luar biasa.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 251)

Para pembaca yang dirahmati Allah, demikian beberapa perkataan ulama yang mampu kami nukilkan dalam risalah singkat ini. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi kita dari perkara-perkara yang tidak diridhai-Nya serta memberikan petunjuk-Nya kepada kita untuk senantiasa berpegang teguh kepada jalan yang mengantarkan kepada keselamatan dunia dan akhirat. Aamiin.

اللَّهُمَّ إِ نِّي أَعُوذُبِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًًًا وَأَنَا أَعْلَمُ وَ أَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu dan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa-apa yang aku tidak ketahui.”

Wallahu A’lam bish Shawab.

Sumber :  http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/ke-mana-kita-hendak-berlindung-%E2%80%A6/


Sunday, November 4, 2012

Waktu-Waktu Mustajab untuk Berdoa

Alhamdulilllah, segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam ini. Dialah Yang Maha Mengetahui keadaan hamba-Nya. Dia pulalah Yang Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui bahwa para hamba-Nya lemah sangat butuh terhadap pertolongan. Oleh karena itu, Dia memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan mereka kepada-Nya apabila terpenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min: 60)

Para pembaca rahimakumullah, dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, dan berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Bahkan sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam para hamba-Nya yang enggan untuk berdoa kepada-Nya karena telah jatuh kepada sifat kesombongan.

Para pembaca, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Para dasarnya, kita boleh berdoa kapan dan dimana saja. Akan tetapi, di sana ada waktu-waktu tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk dikabulkannya doa. Oleh karena itu, pada edisi kali ini, kami akan menjelaskan beberapa waktu-waktu mustajab tersebut sebagai pelengkap dua edisi sebelumnya (5/II/VII/1430 dan 15/IV/VIII/1431) tentang adab dan syarat-syarat dalam berdoa. 

Semoga bermanfaat.

Di antara waktu-waktu tersebut adalah:

1. Malam (lailatul) Qadar

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah (doa):
« اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ».
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)

2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):
“Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ » .
“Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Di akhir shalat fardhu

Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
« جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ »
“Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)

Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata ((دُبُرَ)) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat?

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378:
“(( وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)) bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”

Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: “Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di ((دُبُر الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَات)), berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di ((دُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)), maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. 

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung-lambung kalian.” (An-Nisa`: 103)

4. Antara adzan dan iqamah

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ ».
“Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud)

5. Satu waktu di malam hari

Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ ».
“Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95)

6. Ketika terbangun di waktu malam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
Kemudian mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari)

Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat  dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311)

7. Ketika dikumandangkannya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur

Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubra)

8. Suatu waktu pada hari Jum’at

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda:
« إِنَّ فِى الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا يُزَهِّدُهَا».
“Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi)

Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379)

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/378), berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya, dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad)

9. Ketika sujud

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ».
“Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim)

10. Doa pada hari Arafah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ».
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqy)

Penutup
Para pembaca rahimakumullah, doa adalah termasuk ibadah. Oleh karenanya, sudah semestinya kita mencukupkan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam pelaksanaannya. Suatu misal, jika kita mau menggunakan pembukaan ketika hendak berdoa, maka bukalah doa tersebut dengan pembukaan yang syar’i (yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bukan dengan pembukaan-pembukaan yang tidak syar’i (yang tidak ada tuntunannya), karena akibatnya fatal, doa kita bisa tidak dikabukan. Disisi lain, kita bisa menuai dosa karena telah mengadakan perkara yang baru dalam urusan  agama.

Wallahu a’lam bishshowab.

Sumber : http://www.darussalaf.or.id/nasehat/waktu-waktu-mustajab-untuk-berdoa/

 

Singa-Singa Padang Pasir di Perang Nahawand

Mereka adalah sosok pejuang pencari kemuliaan. Harapan yang lahir dari kejernihan iman, menjadikan mereka sebagai ksatria-ksatria tangguh dalam kancah jihad fi sabilillah. Terik panas gurun pasir, lembah gersang lagi tandus, pegunungan yang terjal, serta ancaman maut menghadang tidaklah menyurutkan langkah tegap mereka. Tentunya amalan yang selaras dengan ajaran agama, bukan tindakan teror khawarij yang membabi buta. Keinginan mereka tak lebih dari dua hal, hidup mulia dengan tegaknya Islam dimuka bumi atau gugur meraih syahid. Kemuliaan, keberanian, serta ketangguhan yang mereka miliki menjadikan mereka layak menyandang gelar “Singa-Singa Padang Pasir”.

SEKILAS TENTANG PERANG NAHAWAND
Perang ini merupakan peperangan berskala besar yang berlangsung pada tahun 21 H. Berbagai kisah heroik dan menakjubkan mewarnai jalannya pertempuran. Sebuah gambaran jihad fi sabilillah dimasa khalifah Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Peristiwa bersejarah ini berlangsung di Nahawand, sebuah kota besar yang terletak di Al-Hadhbah – Iran pada masa sekarang. Karena itulah peperangan ini dikenal dengan Perang Nahawand.

LATAR BELAKANG PEPERANGAN
Bertahap tapi pasti pasukan Islam berhasil menaklukkan negeri Syam (Romawi) hingga Baitul Maqdis. Penaklukan ini terus berlanjut dengan dikuasainya negeri Mesir, kemudian Iraq hingga Istana Putih (kerajaan Persia) di Madain jatuh ditangan kaum muslimin.

Singa-Singa Padang Pasir terus merangsek memasuki wilayah teritorial Persia. Bertubi-tubi kota demi kota berhasil dikuasai. Fenomena tragis ini menyulut kemarahan Yazdigird, raja Persia kala itu. Diapun melayangkan surat provokasi kepada para pimpinan wilayah disekitar Nahawand, memotivasi mereka untuk berangkat menyerbu wilayah kaum muslimin.

Upaya ini berhasil menghimpun sebuah pasukan besar berkekuatan 150.000 personil lengkap dengan persenjataannya. Detasemen gabungan artileri-kavaleri ini dibawah komando seorang panglima senior yang bernama Al-Fairuzan.

Merekapun bersepakat menyatukan kekuatan dan memobilisasi pasukan untuk menyerang kota Basrah dan Kufah. Rencana penyerangan pasukan Persia itu sampai kepada Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu di kota Madinah. Segera Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul di masjid. Beliau naik mimbar dan berkata: “Sesungguhnya hari ini adalah penentu bagi hari esok. Aku akan memberikan sebuah instruksi kepada kalian, maka dengarlah dan penuhilah! Jangan kalian saling berselisih sehingga kekuatan kalian menjadi sirna! Aku berkeinginan keras untuk maju bersama tentara-tentara yang berada di depanku hingga sampai di suatu tempat antara kota Basrah dan Kufah. Lantas aku akan himbau kaum muslimin untuk berangkat sebagai satuan tempur, hingga Allah memberi kemenangan kepada kita.”

Setelah mendengar gagasan-gagasan dari beberapa pemuka kaum muslimin, Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk mendahului menyerbu wilayah Persia, dan mengangkat seorang dari pasukan yang berada di Iraq sebagai panglima perang. Beliau berkata: “Demi Allah, aku akan mengangkat seorang panglima perang yang akan menjadi ujung tombak di saat bertemu musuh esok hari.” Mereka bertanya: “Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “An-Nu’man bin Muqarrin”. “Dia memang pantas untuk hal itu,” sahut mereka.

PERSIAPAN PASUKAN ISLAM
Rencana penyerangan pasukan Persia merupakan ancaman besar bagi daerah kaum muslimin, terkhusus kota Basrah dan Kufah. Hal ini membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat sebelum pasukan Persia datang menyerbu.

Umar radhiyallahu ‘anhu segera memerintahkan Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu agar berangkat dari Kufah bersama pasukannya. Demikian pula instruksi diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu agar berangkat bersama pasukannya dari Basrah.

Merekapun bergerak maju dengan membawa pasukan Islam dalam jumlah besar. Mereka benar-benar waspada atas segala kemungkinan yang akan terjadi. Hingga akhirnya seluruh pasukan Islam berkumpul di tempat yang telah disepakati, lengkaplah jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 personil. Di dalamnya terdapat banyak pembesar sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemimpin Arab. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam adalah An-Nu’man bin Muqarrin.

Sebagai langkah awal, An-Nu’man mengutus Thulaihah, ‘Amr bin Ma’dikarib, dan ‘Amr bin Abi Salamah sebagai satuan intelijen di depan pasukan, untuk mengumpulkan informasi keadaan musuh. Thulaihah berhasil menyusup ke dalam barisan pasukan Persia, sementara kedua rekannya kembali di pertengahan jalan. Bahkan Thulaihah Al-Asadi berhasil membunuh beberapa petinggi pasukan Persia, menawan salah satu pimpinan mereka, dan mendapatkan data akurat tentang kekuatan musuh.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa tidak dijumpai adanya mara bahaya pada rute menuju Nahawand.

JALANNYA PEPERANGAN
An-Nu’man bin Muqarrin bersama pasukan Islam bergerak maju menuju Nahawand. Pasukan lini depan dipimpin oleh Nu’aim bin Muqarrin, pasukan penyerang di bawah komando Al-Qa’qa’ bin ‘Amr, sayap kiri dan kanan dipegang Hudzaifah bin Al-Yaman dan Suwaid bin Muqarrin. Adapun pertahanan belakang diatur oleh Mujasyi’ bin Mas’ud.

Di saat kedua pasukan berhadapan, An-Nu’man berikut pasukan Islam bertakbir tiga kali hingga mengguncang barisan musuh dan membuat mereka sangat ketakutan, kemudian An-Nu’man menginstruksikan agar pasukan Islam meletakkan perbekalan mereka dan segera mendirikan tenda-tenda.

Di saat persiapan sudah matang, instruksi telah diberikan kepada tiap pimpinan regu, peperanganpun tak terelakkan lagi. Pasukan Islam serempak menyerbu barisan pasukan Persia.

Pada hari-hari itu begitu tampak bukti keimanan, ketangguhan, dan keberanian pasukan Islam. Perbandingan jumlah pasukan yang tak seimbang itu tidaklah menyurutkan langkah milisi militan Islam, hingga pasukan Persia melarikan diri berlindung ke dalam benteng. Pengepungan segera dilakukan dengan sangat ketat dari segala penjuru. Sementara pasukan Persia leluasa keluar menyerang dan masuk berlindung ke benteng sekehendak mereka.

MAJELIS MUSYAWARAH MILITER
Tatkala pengepungan berjalan beberapa hari tanpa ada hasil yang diharapkan, para pimpinan pasukan Islam berunding bagaimana cara menghadapi musuh selanjutnya. ‘Amr bin Abi Salamah mengusulkan agar melanjutkan pengepungan. Sementara ‘Amr bin Ma’dikarib menyarankan untuk menyerang mereka.

Seluruh yang hadir menolak kedua usulan ini. Setelah itu, Thulaihah layaknya ahli strategi perang menyampaikan pendapatnya, agar mengutus sekelompok pasukan menyerang terlebih dahulu. Disaat pasukan kecil ini mendapat serangan musuh, maka mereka seolah-olah berlari kalah menuju pasukan inti. Disaat itu, seluruh pasukan menunjukkan kekalahan dan berlari mundur ke belakang.

Jika musuh telah yakin akan kekalahan pasukan Islam, niscaya mereka bersemangat menyerang dan keluar dari benteng secara keseluruhan. Saat itulah pasukan Islam berbalik menyerbu hingga Allah menentukan akhir pertempuran tersebut. Maka seluruh yang hadir menyepakati strategi ini.

PELAKSANAAN HASIL MUSYAWARAH
Dengan perintah dari An-Nu’man, Al-Qa’qa’ bin ‘Amr berikut pasukan penyerang maju mengepung benteng. Ketika pasukan Persia menyerang, Al-Qa’qa’ beserta pasukan berlari mundur dan terus mundur.

Akhirnya pasukan Persia terkecoh keluar dari benteng dan maju menyerang, hingga tak tersisa di dalam benteng kecuali para penjaga pintu gerbang. Bersamaan dengan itu, musuh telah mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai besi dan menaruh besi-besi berduri dibelakang mereka (setiap 7 tentara diikat menjadi satu agar tidak melarikan diri dari perang). Musuh terus melancarkan serangan dan memasang sejumlah manjanik (ketapel pelontar ukuran besar), menghujani pasukan Islam dengan batu-batu, hingga banyak tentara Islam yang terluka.

Sebagian tentara Islam mendatangi An-Nu’man, mereka berkata: “Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada kami? Ijinkanlah bagi pasukan Islam untuk maju menyerbu musuh.” An-Nu’man menjawab: “Pelan-pelan…!”

Ketika matahari tergelincir, pasukan Islam segera melaksanakan shalat dhuhur. Setelahnya An-Nu’man menaiki kudanya, memeriksa pasukan seraya menasehati untuk senantiasa bersabar dan gigih dalam berperang.

Beliau memberikan instruksi, jika terdengar takbir pertama, maka hendaknya seluruh prajurit menyiapkan diri. Jika terdengar takbir kedua, maka hendaknya tidak ada satupun dari pasukan kecuali telah siap dengan senjatanya. Dan apabila takbir ketiga dikumandangkan, maka seluruh pasukan maju bergerak menyerbu. Beliau berkata: “Apabila aku terbunuh, maka Hudzaifah sebagai penggantiku. Apabila dia terbunuh, maka Fulan sebagai penggantinya (hingga menyebutkan tujuh orang dan terakhirnya adalah Al-Mughirah).”

Setelah itu, beliau memanjatkan doa di hadapan pasukannya: “Ya Allah… muliakanlah agama-Mu, tolonglah hamba-hamba-Mu, dan jadikanlah An-Nu’man sebagai syahid pertama pada hari ini, diatas kemuliaan agama-Mu dan kemenangan hamba-hamba-Mu.” Tentara-tentara Islampun menangis mendengar doa sang panglima, mereka patuh dan taat atas perintah yang telah diberikan. Lalu beliau kembali ke posisi semula.

BERKOBARNYA API PEPERANGAN
Siang itu, An-Nu’man dengan suara lantang bertakbir sekali dan mengibarkan panji perang, maka pasukan mulai bersiap-siap. Takbir kedua dikumandangkan dan pasukan semakin bersiap diri. Di saat takbir ketiga, maka dengan sigap seluruh prajurit serentak menyerbu memborbardir pasukan Persia, layaknya banjir besar yang tak terbendung. Pekikan takbir menggema pada setiap prajurit Islam yang maju menyerbu.

Kedua pasukan bertemu, tak pelak pedang-pedang pun beradu, debu-debu beterbangan, lemparan tombak tak dapat dihindari, dan begitu banyak jasad tentara Persia bergelimpangan, membuat suasana semakin membara. Tiap-tiap tentara Islam bertempur dengan gigih mempertaruhkan nyawa.

Sungguh, cahaya iman telah memasuki sanubari. Masing-masing regu mempunyai andil melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, musuh begitu terkejut mendapat serangan balik dari pasukan pemukul reaksi cepat garda Islam. Amukan singa-singa padang pasir benar-benar terjadi. Sementara panji perang yang dipancangkan An-Nu’man berkibar-kibar di atas kudanya, maju menyibak garis pertahanan pasukan Persia.

Permukaan bumi yang licin bersimbah darah membuat banyak kuda tergelincir karenanya. Bahkan kuda An-Nu’man tergelincir jatuh membuat dirinya terlempar. Ketika itulah, salah satu anak panah musuh menembus lambung beliau hingga ia meninggal karenanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.

Selanjutnya panji perang diserahkan kepada Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu. Perang terus berlanjut. Menjelang malam pasukan Persia mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai dikejar pasukan Islam. Akhirnya, Al-Fairuzan pun berhasil dibunuh oleh Al-Qa’qa’ bin ‘Amr di tepi pegunungan Hamadan, Iran. Diperkirakan jumlah pasukan Persia yang terbunuh kala itu lebih dari 100.000 personil.

Akhirnya, kaum muslimin kembali meraih kemenangan sebagaimana dalam kancah peperangan lainnya. Sejarah yang senantiasa berulang dari masa ke masa dengan para pelaku yang berbeda. Kenyataan yang jelas terlihat oleh setiap mata, bukan hasil khayalan yang tak tentu arahnya.

Benarlah, generasi awal umat ini merupakan sekumpulan manusia terbaik di muka bumi ini.

Inilah sepenggal mata rantai perjuangan kaum muslimin. Kemenangan, kejayaan, dan kekhilafahan di muka bumi akan terwujud dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala tatkala mereka beriman dengan keimanan yang hakiki. Kemurnian ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari noda kesyirikan merupakan modal utama bagi sebuah kemenangan. Tak hanya itu, keteguhan diatas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan satu hal yang mutlak disamping perjuangan yang sarat dengan pengorbanan.

Wallahu a’lam.

Sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2010/12/28/singa-singa-padang-pasir-di-perang-nahawand/


Thursday, November 1, 2012

Download Rekaman Khutbah 'Iedul Adha 1433 H Sebagaian Asatidzah Hafizhahumullah

Download Rekaman Khutbah 'Iedul Adha 1433 H Sebagaian Asatidzah Hafizhahumullah

Klik Link Di Bawah Ini :







 

by blogonol