oleh Ustadz Kharisman
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ (رواه
البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah –semoga Allah
meridlainya- beliau berkata: saya mendengar Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Segala yang aku larang jauhilah, dan apa yang
aku perintahkan kerjakanlah sesuai dengan kemampuan kalian. Karena
sesungguhnya hal yang membinasakan umat sebelum kalian adalah mereka
banyak bertanya-tanya (tanpa faidah) dan sikap menyelisihi para Nabi
yang mereka lakukan (H.R alBukhari dan Muslim).
ASBAABUL WURUD (SEBAB PENYAMPAIAN HADITS)
Suatu hari Rasulullah shollallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah
telah mewajibkan kepada kalian berhaji, maka berhajilah. Kemudian
seorang laki-laki berkata:
Apakah (kewajiban haji) itu setiap tahun
wahai Rasulullah? Nabi diam, hingga orang itu bertanya tiga kali,
kemudian Nabi bersabda:
Kalau aku jawab : Iya, niscaya akan diwajibkan (tiap tahun), dan kalian tidak akan mampu.
Kemudian Nabi bersabda:
Biarkanlah apa yang aku tinggalkan
(perintah dan larangannya) untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan
ummat sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan banyaknya
penyelisihan yang mereka lakukan terhadap para Nabi mereka. Jika aku
perintahkan kepada kalian dengan suatu hal, maka kerjakanlah sesuai
dengan kemampuan, dan jika aku larang kalian dari sesuatu, tinggalkanlah
(H.R Muslim).
SAHABAT YANG MERIWAYATKAN HADITS
Sahabat yang meriwayatkan hadits ini
adalah Abu Hurairah. Al-Imam anNawawy dalam al-Arbain anNawawiyyah ini
memperjelas nama asli Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakhr. Abu
Hurairah adalah Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Orang-orang yang beriman akan mencintai Abu Hurairah dan ibunya, karena
Nabi mendoakan mereka :
اللَّهُمَّ
حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هَذَا يَعْنِي أَبَا هُرَيْرَةَ وَأُمَّهُ إِلَى
عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمْ الْمُؤْمِنِينَ
Ya Allah jadikanlah hamba-hambaMu yang
beriman cinta kepada Abu Hurairah dan ibunya, dan jadikanlah mereka
mencintai orang-orang beriman (H.R Muslim)
SIKAP ORANG BERIMAN TERHADAP PERINTAH DAN LARANGAN NABI
Dalam hadits ini Nabi menyatakan :
Segala yang aku larang jauhilah… Para Ulama’ menjelaskan bahwa secara
asal hukum larangan Nabi adalah haram dilaksanakan. Ini adalah hukum
asal. Hukum asal ini baru berubah jika terdapat hadits lain yang
menunjukkan bahwa larangan itu bersifat makruh (dibenci). Secara asal,
segala bentuk larangan Nabi yang terkait dengan suatu ibadah,
menyebabkan ibadah itu batal atau tidak sah, sedangkan larangan Nabi
yang terkait dengan bentuk muamalah menyebabkan suatu akad menjadi tidak
sah atau batal. Dalam hadits ini Nabi juga menyatakan : Apa yang aku
perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan… Para
Ulama’ menjelaskan bahwa secara asal, hukum perintah dari Nabi adalah
wajib dilaksanakan, hingga ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hal itu
adalah mustahab/ sunnah (disukai). Perintah Nabi dikerjakan sesuai
dengan kemampuan.
Sebagai contoh:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Sholatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan berbaring (H.R alBukhari)
Menghindari kemaksiatan lebih berat
dibandingkan mengerjakan ketaatan. Bersabar untuk meninggalkan larangan
lebih berat tantangannya (dan lebih besar pahalanya) dibandingkan
melaksanakan perintah. Sahl bin Abdillah menyatakan
erbuatan-perbuatan kebajikan bisa dilakukan oleh orang-orang yang baik
ataupun orang fajir. Namun, tidak ada yang bisa bersabar meninggalkan
dosa kecuali orang yang Shiddiq (jujur keimanannya)(Syarhul Umdah karya
Ibn Taimiyyah (1/46)).
BANYAK BERTANYA : ANTARA TERPUJI DAN TERCELA
Pertanyaan yang baik adalah bertanya
dalam masalah ilmu agama kepada ahlinya untuk tujuan mengamalkan ilmu
tersebut. Atau, pertanyaan yang tujuannya untuk menambah iman, semakin
mendekatkan diri kepada Allah, semakin takut kepada-Nya, semakin cinta
kepada Allah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para Sahabat
kepada Nabi adalah mayoritas pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada para Ulama jika kalian tidak mengetahuinya (Q.S an-Hal:43)
Nabi juga mencela orang yang bodoh tapi tidak mau bertanya, berbicara tanpa ilmu (menyebabkan kebinasaan bagi orang lain) :
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahuinya. Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya (H.R Abu Dawud)
Ibunda kaum beriman, Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata :
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar.
Mereka tidak terhalangi perasaan malu untuk (bertanya) berusaha
memahami agama (H.R Muslim)
Sahabat Nabi Ibnu Abbas ditanya: dengan cara bagaimana engkau mendapatkan ilmu sampai (banyak) seperti ini?
Beliau berkata : dengan lisan yang banyak bertanya dan hati yang banyak berpikir (al-Bidayah wan Nihaayah (8/329)).
Ibnu Abbas juga berkata : Aku bertanya satu permasalahan kepada 30 Sahabat Nabi (al-Bidayah wan Nihaayah (8/329))
Ibnu Syihab az-Zuhri berkata : Ilmu
adalah gudang-gudang (perbendaharaan), dan kunci (pembukanya) adalah
bertanya (Jaami’ Bayaanil Ilmi wa Fadhlih (1/179)
Di antara pertanyaan yang baik adalah
pertanyaan yang diajukan oleh seseorang yang sebenarnya sudah tahu
jawabannya, namun ia lontarkan pertanyaan di majelis agar diketahui
jawabannya oleh orang-orang yang hadir di majelis itu. Sebagaimana yang
dilakukan Jibril yang menanyakan tentang Islam, Iman, Ihsan, dan
tanda-tanda hari kiamat (H.R Muslim)
Sedangkan sikap bertanya yang tercela, di antaranya adalah :
1. Banyak bertanya pada saat masih turunnya wahyu, sehingga dikhawatirkan memberatkan kaum muslimin (Q.S al-Maidah:101)
2. Bertanya-tanya tentang rahasia di balik takdir, yang hanya Allah saja yang tahu.
Contoh : bertanya mengapa si A ditakdirkan begini, sedangkan si B ditakdirkan demikian?
وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا
Jika disebutkan tentang takdir, maka tahanlah (diamlah) (Shahihul Jaami’ no 546).
3. Bertanya tentang kaifiyat Sifat Allah.
Seperti pertanyaan : Seperti apa Wajah
Allah? Bagaimana bentuk istiwa’ Allah di atas ‘Arsy? Semua itu tidak ada
yang tahu kecuali Allah.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ …
dan tidak ada yang tahu takwilnya (kaifiyat /makna secara menyeluruh) kecuali Allah… (Q.S Ali Imran:7)
4. Sekedar bertanya tidak untuk
mengamalkannya, atau tidak untuk memahami makna ayat dan hadits
(menambah iman), hanya sekedar menguji ustadz atau Syaikh.
5. Bertanya tentang permasalahan yang tidak akan pernah terjadi.
6. Banyak bertanya pada saat kondisi Ustadz atau Syaikh sudah capek, letih, dan semisalnya.
Para Sahabat Nabi menjaga adab untuk
bertanya. Mereka tidak menambah pertanyaan karena merasa kasihan dengan
Nabi.Simaklah adab dari perkataan Ibnu Mas’ud :
حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي …
demikianlah Nabi mengkhabarkan kepadaku,
yang sebenarnya kalau aku minta tambah penjelasan, niscaya beliau akan
menambahinya.. (H.R Muslim)
Nabi adalah manusia yang paling
dermawan, termasuk dalam hal memberi jawaban. Sebenarnya, kalau Sahabat
terus bertanya, akan terus dijawab oleh Nabi, namun hal itu tidak
dilakukan Sahabat karena menjaga adab kepada Nabi.
Sumber Rujukan : Syarh alArbain
anNawawiyyah dari Para Ulama’ (Ibnu Daqiiqil ‘Ied, Ismail bin Muhammad
al-Anshary, Syaikh Muhammad Athiyyah Salim, Syaikh Sholih bin Abdil Aziz
aalu Syaikh, Syaikh Sulaiman alLuhaimid)
(Abu Utsman Kharisman)
Sumber : http://www.salafy.or.id
0 komentar:
Post a Comment