Bagaimana takkan bahagia merasakan kasih sayang seorang yang begitu
mulia, menjadi panutan seluruh manusia. Kisah buaian sang kakek dalam
shalat menyisakan faedah besar bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
Zainab, putri sulung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
disunting pemuda Quraisy, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin
‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi mereka dua orang anak, Umamah dan
‘Ali.
Sepanjang masa kecilnya, Umamah bin Abil ‘Ash benar-benar merasakan
kasih sayang sang kakek, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hingga suatu kali, para shahabat tengah duduk di depan pintu rumah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau muncul dari
pintu rumahnya sembari menggendong Umamah kecil. Beliau shalat sementara
Umamah tetap dalam gendongannya. Jika beliau ruku’, beliau letakkan
Umamah. Bila beliau bangkit, beliau angkat kembali Umamah. Begitu
seterusnya hingga beliau menyelesaikan shalatnya.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendapatkan hadiah. Di antaranya berupa seuntai kalung. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungutnya. “Aku akan memberikan kalung
ini pada seseorang yang paling kucintai di antara keluargaku,” kata
beliau waktu itu. Para istri beliau pun saling berbisik, yang akan
memperoleh kalung itu pastilah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Umamah, sang cucu. Beliau pakaikan kalung itu di leher Umamah. “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku!” kata beliau. Lalu beliau usap kotoran yang ada di hidung Umamah.
Ketika Abul ‘Ash meninggal, dia wasiatkan Umamah pada Az-Zubair ibnul
‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Tahun terus berganti. Pada masa pemerintahan
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu meminang Umamah. Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu
‘anhu pun menikahkan ‘Ali dengan Umamah. Namun dalam pernikahan ini
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang anak pun kepada
mereka.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah meminta Al-Mughirah bin
Naufal Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi radhiyallahu ‘anhu
agar bersedia menikah dengan Umamah bila dia telah wafat. ‘Ali pun
berpesan pula kepada Umamah, bila dia meninggal nanti, dia ridha jika
Umamah menikah dengan Al-Mughirah.
Subuh hari, 17 Ramadhan, 40 tahun setelah hijrah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala takdirkan Umamah harus berpisah dengan suaminya. ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, terbunuh oleh seorang Khawarij bernama
‘Abdurrahman ibnu Muljam dengan tikaman pedangnya.
Selesai masa iddahnya, Umamah mendapatkan pinangan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan radhiyallahu ’anhuma. Umamah pun segera mengutus seseorang untuk
memberitahukan hal ini kepada Al-Mughirah bin Naufal. “Kalau engkau mau,
kau serahkan urusan ini padaku,” jawab Al-Mughirah. Umamah pun
mengiyakan. Lalu Al-Mughirah meminang Umamah pada Al-Hasan bin ‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma yang kemudian menikahkan Al-Mughirah
dengan Umamah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan pada mereka seorang anak, Yahya ibnul Mughirah namanya. Namun tidak lama hidup bersisian dengan Al-Mughirah, Umamah bintu Abil ’Ash meninggal di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma.
Umamah bintu Abil ‘Ash, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber : http://www.salafy.or.id
0 komentar:
Post a Comment