Oleh :
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-sa'di Rahimahullah
Abu
Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ،
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً
خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada
manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l
akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang
merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa
cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan
dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi
pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR.
Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)
Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun
memuat banyak faedah lagi manfaat.
Pertama: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada
manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l
akan menganugerahkan kepadanya iffah.”.
Kedua: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya
kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan
seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut
dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja. Adapun kepada makhluk,
tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya berupaya
mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang
mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l
semata, merdeka dari perbudakan makhluk.
Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal
berikut.
1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga
kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di
tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan
(lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:
مَا أَتَاكَ مِنْ هذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ
فَخُذْهُ, وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi
terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak
datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR.
Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan
diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus
ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk
mencapai ‘iffah.
2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal
kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya.
Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti Allah l akan mencukupinya.
Inilah yang menjadi tujuan.
Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang
yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki
orang lain, tentu ia harus memperkuat ketergantungan dirinya kepada
Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan
kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya.
Allah l itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka
baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain
kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.
Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin
kuat ketergantungan kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan
terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan
kecukupan.” (HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud z)
Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu
yang bermanfaat, ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh
yang diharamkan. Hal ini membawa kebaikan agama.
Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap
kepada makhluk dan merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup
dengan Allah l, dialah orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit
hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan tetapi,
orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi
seorang hamba. Dia akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa
cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya.
Ketiga: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ
“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”
Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu
merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung,
karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah.
Allah l berfirman:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)
Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.
Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan
(mujahadah) dan latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ “memaksa jiwanya untuk bersabar”, balasannya:
يُصَبِّرهُ اللهُ “Allah l akan menjadikannya sabar.”
Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.
Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan
seluruh masalah hamba dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba
membutuhkan kesabaran.
Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa
menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya.
Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga
ia bisa meninggalkannya karena Allah l.
Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan
sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia
pun tetap membutuhkan sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan
hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga
dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan
bersyukur kepada Allah l.
Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan
sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah,
Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) dengan firman-Nya:
Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu
(sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.”
Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra’d: 23—24)
Demikian pula firman-Nya:
“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga
karena kesabaran mereka….” (Al-Furqan: 75)
Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan
mencapai tempat-tempat yang tinggi.
Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar
dihindarkan dari musibah yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan
tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya adalah bersabar.
Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang
menolong hamba-Nya.
Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa
orang-orang yang bersabar akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.
Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai
mereka dengan penjagaan, taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan
mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.
Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka
melakukan banyak ketaatan.
Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.
Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan
hidayah ketika tertimpa musibah.
Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia
dan akhirat.
Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan
menjauhkan mereka dari kesulitan.
Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan
kesuksesan.
Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.
Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang
lebih banyak dan lebih baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang
telah diambil dari mereka.
Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa
mereka dengan ganti yang segera, banyaknya berlipat-lipat daripada
musibah yang menimpa mereka.
Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi
terpuji akibatnya. Ini sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar
wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33,
hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di)
Sumber : http://asysyariah.com/keutamaan-iffah-dan-bersabar
0 komentar:
Post a Comment