Pembaca yang budiman,
tulisan kali ini pada asalnya merupakan transkrip dari taushiyah dan
nasihat dari al-Ustadz Abu Mu’awiyah ‘Askari bin Jamal al-Bughisi hafizhahullah. Beliau
berkunjung ke Ma’had As Salafy Jember pada hari Selasa tanggal 20
Rabi’uts Tsani 1433H dan memberikan sebuah muhadharah ringkas.
Silakan mengambil faedah dan bagikan ke saudara yang lain agar
manfaatnya dapat tersebar lebih luas.. Baarakallaahu fiikum.. Selamat
menyimak..
Ayyuhal ihkwati fillah, wahai saudara-saudaraku yang bersaudara karena Allah…
Pertama kali saya mengucapkan puji syukur atas limpahan nikmat dan
rahmat dari Allah ta’ala. Di mana Allah ‘azza wa jalla yang memberi
kemudahan kepada kita untuk bertemu di tempat ini, salah satu di antara
Marakiz as-Salafiyah (markas-markas dakwah salafiyah), yang semoga Allah
‘azza wa jalla senantiasa memberikan berkah padanya. Bertemu para
ikhwan Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan kenikmatan yang sangat besar
yang Allah ‘azza wa jalla berikan kepada kita. Terkhusus di
tengah-tengah zaman yang fitnah merajalela, semakin jauhnya mayoritas
manusia dari Islam yang shahih dari tamassuk (berpegang teguh) kepada
Sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dan semakin menampakkan “ghurubatus sunnah” (keterasingan sunnah Rasulullah).
Sehingga, tatkala kita mendapati di sebuah negeri, di suatu daerah
ada sekumpulan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah
‘azza wa jalla dan senantiasa mementingkan ilmu dan amal. Maka, ini
merupakan kebahagiaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada
kita. Dan kita berharap semoga Allah tabaraka wa ta’ala mengumpulkan
kita di akhirat, di dalam al-Jannah. Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla
mengumpulkan kita semua di dunia ini di atas al-Iman (keimanan), amal
shalih, al itisham (berpegang teguh) dan istiqamah di atas al haq wa
tsabatu ‘alaih (dan tetap berada di atas kebenaran).
Ma’asyiral ikhwah rahimakumullah….
Saya baru saja tiba beberapa saat sebelum masuknya waktu zhuhur di
ma’had ini, dalam perjalanan yang cukup panjang, sehingga tentu sangat
melelahkan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits Mutafaqun’alaih:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ
“Safar merupkan bagian dari siksaan.”
Akan tetapi, karena permintaan al-Ustadz al-Fadhil Abu ‘Abdillah,
sehingga saya ingin menyampaikan pada kesempatan kali ini nasihat yang
ringkas, yang singkat. Namun, saya berharap dari nasihat ini memberikan
manfaat pada kita semua terkhusus untuk diri ana pribadi. Nasihat ini
berupa hadits yang diriwayatkan dari nabi, datang dari berbagai jalur
dan riwayat. Datang dari hadits shahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi
radhiyallahu ’anhu yang diriwayatakan oleh imam al-Hakim dan al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman dan yang lainnya. Juga datang dari hadits Jabir dan
Ali bin Abi Thalib. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا
مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ
فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ،
وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ، وَعِزِّهُ
اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
“Suatu ketika Jibril datang kepadaku lalu kemudian beliau
mengatakan kepadaku, ‘Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu di dunia ini,
karena sesungguhnya engkau akan merasakan kematian. Dan cintailah siapa
yang hendak kamu cintai, karena sesungguhnya engkau akan berpisah
dengannya. Dan beramal lah sesukamu di dunia ini, karena sesungguhnya
engkau akan dibalas atas setiap apa yang engkau amalkan. Dan ketahuilah
bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah ketika dia senantiasa menegakkan
qiyamul lail (menegakkan shalat di malam hari). Dan kemuliaan seorang
mukmin adalah ketika dia merasa tidak membutuhkan manusia yang lainnya,
merasa cukup dari manusia dan dia menyandarkan dirinya kepada Allah
ta’ala”.
Dalam hadits yang singkat ini dari penyampaian Jibril kepada
Rasulullah ada beberapa hal yang penting untuk dijadikan sebagai faedah.
Pertama,
bahwa kehidupan kita di dunia merupakan
kehidupan yang fana, siapapun kita, apapun kedudukan kita di dunia ini.
Bahkan, seorang hamba yang mulia pun, hamba yang sangat dimuliakan oleh
Allah ta’ala, Khalilullah yang kedua setelah Ibrahim juga tidak terlepas dari yang namanya kematian. Allah ta’ala berfirman di dalam Al-Qur`anul Karim:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ
أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ
الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan sesungguhnya
kalian akan disempurnakan apa yang pernah kalian amalkan, barangsiapa
yang dijauhkan dari neraka dan didekatkan kepada surga Allah dan
dimasukkan ke dalamnya maka sungguh dia lah yang mendapatkan kemenangan.
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan kesenangan yang menipu.” Ali Imran: 185
Maka tidak ada seorang pun hidup dari jenis insan (manusia) melainkan
dia pasti akan mengalami kematian, dia pasti akan meninggalkan dunia
ini, lalu kemudian melanjutkan perjalanan yang berikutnya di alam
barzakh. Kemudian ia akan menuju kepada alam yang kekal yaitu darul
akhirah (negeri akhirat).
Bagi seorang mukmin yang memahami hakikat dari kehidupan dunia, maka
tentu dia berusaha untuk memanfaatkan sebaik-baiknya waktu yang Allah
ta’ala berikan selama di dunia ini. Umur yang Allah ta’ala berikan,
hendaknya kita berusaha untuk memanfaatkan sebaik-baiknya. Sehingga kita
tidak melakukan suatu amalan, tidak mengucapkan suatu ucapan melainkan
apabila kita meyakini bahwa di sana ada manfaat, di sana ada
kemaslahatan duniawiyah atau ukhrawiyah.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan kepada umatnya untuk selalu mengingat yang namanya kematian
itu. Dalam hadits yang di riwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dari
hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah untuk selalu mengingat pelumat segala kenikmatan dan kelezatan dunia, yaitu kematian.”
Kematian yang tidak terhindarkan bagi siapa pun dan tidak dipilih
apakah dia seorang yang shalih apakah dia seorang yang thalih (buruk
amalannya). Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Apabila ajal telah tiba maka tidak bisa diundurkan dan dimajukan.” Al-A’raf: 34
Maka, hendaknya kita memikirkan hakikat dunia ini bahwa kita akan
mengalami kematian. Sebagaimana yang lainnya juga akan mengalami
kematian. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengalami kematian. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ
الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا
“Tidaklah Muhammad melainkan beliau adalah seorang Rasul, dan
telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika ia mati atau terbunuh
maka kalian akan kembali” Ali Imran: 144
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia biasa.
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
“Kamu mengalami kematian sebagaimana mereka juga akan mengalami kematian.” Az-Zumar: 30
Mengingat kematian ini wahai saudara-saudaraku, sangatlah penting.
Untuk mengoreksi diri kita, muhasabah terhadap apa yang telah kita
amalkan, agar kemudian kita bisa memperbaiki diri di masa-masa yang akan
datang. Sebab kita tidak mengetahui kapan kematian itu menjemput kita,
sebab kematian tidak membedakan antara orang tua dengan anak kecil,
tidak membedakan antara seorang yang mukmin dan seorang yang kafir,
seorang yang shalih dan thalih semuanya akan menghadapinya dalam keadaan
dia tidak mengetahui kapan kematian itu akan datang kepadanya.
Bahkan yang dibutuhkan adalah persiapan, apa yang kita persiapkan
dalam menghadapi kematian tersebut. Sebab, yang menjadi inti dari
kehidupan ini adalah akhir dari kehidupan kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari akhir dari kehidupan kita.” HR. al-Bukhari
Kita berharap semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan husnul khatimah pada saat menghadap Allah ta’ala.
Kedua,
dari faedah hadits ini bahwa al-mahabbah
(kecintaan) kepada yang lainnya adalah merupakan sifat dasar manusia,
bahwa seorang mencintai yang lainnya, hanya saja kecintaan itu berbeda
keadaannya. Ada seorang mencintai orang lain karena dunia, ada seorang
mencintai yang lainnya disebabkan karena kedudukan, ada yang mencintai
orang lain disebabkan karena al Iman (keimanan), tha’atullah wa
tha’aturrasul (ketaatan kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), berbeda-beda dalam hal cinta.
Jibril ‘alaihis salaam mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ
“Cintai siapa yang engkau inginkan. Sesungguhnya engkau akan berpisah dengan orang yang engkau cintai itu.”
Sebab, kita seluruhnya milik Allah dan kita semua akan kembali kepada
Allah. Dan hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada yang kekal dalam
kehidupan dunia termasuk dalam hal kecintaan. Segala jenis kecintaan itu
semuanya akan terputus, kecuali apabila kecintaan tersebut dibangun
atas cinta karena Allah. Allah ta’ala berfirman:
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Bahwa mereka orang-orang yang saling cinta mencintai pada hari
kiamat mereka akan menjadi musuh, kecuali orang-orang orang-orang yang
bertaqwa.” Az-Zukhruf: 67
Kita berharap semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang bersaudara yang saling cinta mencintai karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam hadits yang masyhur muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
“Ada tujuh golongan di mana Allah memberi naungan kepada mereka dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah,”
Salah satunya adalah:
وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
“Dua orang yang saling cinta dan mencinta karena Allah mereka berkumpul karena Allah dan mereka berpisah juga karena Allah.”
Maka hendaknya kita melihat dasar kecintaan kita kepada yang lainnya.
Apa yang mendasari kecintaan kita kepada seseorang. Apakah karena Allah
atau karena sebab-sebab yang lain dari ambisi dunia, kedudukan, harta,
dan yang lain sebagainya. Ketahuilah bahwasanya yang mengikat tali
kecintaannya di atas dasar karena Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَبْغَضَ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah,
memberi karena Allah, mencegah karena Allah sempurna keimanannya.” HR. Abu Dawud
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menyebutkan, termasuk di antara salah satu sebab yang akan menumbuhkan
yang menyebabkan seseorang akan merasakan manisnya iman.
Dalam hadits Anas bin Malik:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ
يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ
يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga amalan apabila terdapat pada diri seorang mukmin maka
dia akan merasakan manisnya iman. Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia
cintai dari selain keduanya. Apabila dia mencintai seseorang dia tidak
mencintainya melainkan karena Allah dan dia benci untuk kembali kepada
kekafiran setelah Allah menyelamatkan darinya sebagaimana dia benci
untuk dilemparakan ke dalam api.” HR al-Bukhari dan Muslim
Kemudian Jibril mengatakan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ
“Beramal lah sesukamu karena engkau akan dibalas atas apa yang engkau amalkan.”
Dari sini kita mendapatkan faedah bahwa manusia di dunia ini beramal
akan tetapi berbeda-beda amalan mereka ada yang baik ada yang buruk.
Namun, itu semua tidak lepas dari pengawasan Allah, apapun yang
diamalkan oleh seorang hamba ketahuilah pasti ada balasannya.
كَمَا تَدِينُ تُدَانُ
“Sebagaimana engkau beramal engkau akan dibalas oleh Allah terhadap apa yang engkau amalkan.”
Kalau amalan yang engkau amalkan itu kebaikan maka balasan dari Allah
kebaikan pula, kalau keburukan maka jangan dia mencela kecuali dirinya
sendiri.”
Oleh karenanya wahai saudaraku semua, rahimakumullah, sekian banyak
nash-nash dari kitabullah dan sunnah Rasulullah yang menganjurkan
seseorang untuk senantiasa menjaga amalannya agar kemudian senantiasa
berada di atas amalan shalih.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” Al-‘Ashr: 1-3
Al Iman dan ‘amalan shalih ini merupakan harta yang terpenting dalam
kehidupan kita, jauh lebih penting dari pada dunia dan segala isinya.
Ini adalah bekal yang wajib untuk dipelihara oleh setiap hamba.
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah kalian, sebaik-baik bekal itu adalah bertaqwa kepada Allah.” Al-Baqarah: 197
Kemudian Jibril ‘alaihis salaam menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dua amalan yang penting untuk dipelihara oleh setiap hamba, untuk
dijaga oleh setiap mukmin. Yang pertama, menegakkan qiyamul lail.
Menegakkan qiyamul lail termasuk di antara amalan yang banyak kalangan
manusia menganggap ini adalah suatu hal yang sulit akan tetapi pada
hakikatnya itu adalah mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah.
Pahalanya sangat besar dan merupakan salah tanda bagi seorang mukmin yang ‘Abid
(ahli beribadah), yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dan
termasuk sebab masuknya seorang hamba kedalam al-Jannah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا
الطَّعَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai sekalian manusia tebarkan salam, beri makan, hubungkan
silaturahim, dan sholatlah diwaktu malam ketika manusia dalam keadaan
tidur, engkau akan mendapatkan jaminan Al Jannah dengan penuh
keselamatan.” HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah
Dan dalam hadits ini, Jibril ‘alaihis salaam mengatakan:
أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ
“Keutamaan seorang mukmin ketika dia menegakan qiyamul lail.”
Tidak mampu melakukan 13 rakaat, kerjakan dibawah dari itu, 9 rakaat,
7 rakaat, 5 rakaat, 3 rakaat bahkan 1 rakaat pun apabila seseorang
mengkhawatirkan dia tidak mendapatkan shalat 3 rakaat dan waktu subuh
telah dekat. Sempatkan untuk sujud di hadapan Allah sebelum berlalunya
waktu malam tersebut. Jadilah seorang dari hamba-hamba yang menyempatkan
dirinya meskipun itu sedikit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دَامَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang dicintai oleh Rasulullah adalah yang berkesinambungan meskipun itu sedikit.” HR Ahmad
Yang menjadi rutinitas seorang hamba, meskipun itu sedikit. Jangan
sampai ia bersungguh di sebagian malam lalu pada malam-malam yang
berikutnya lalu kemudian ia meninggalkan. Sempatkan untuk mengerjakan
shalat malam walaupun itu sedikit.
Kemudian yang kedua,
وَعِزِّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
Kemuliaan seorang manusia adalah ketika dia menyandarkan dirinya kepada Allah ta’ala
dan tidak merasa butuh dari apa yang ada di tangan manusia, dia tidak
merendahkan di hadapan manusia dan dia hanya menyandarkan kepada Allah.
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah yang akan memberikan kecukupan kepadanya.” Ath-Thallaq: 3
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberikan kemudahan dalam segala urusannya.” Ath-Thallaq: 4
Dan hati-hati wahai saudara-saudaraku, dengan segala bentuk-bentuk
yang menyebabkan seorang hina, merendahkan diri di hadapan manusia,
meminta-minta di hadapan manusia bukan dalam keadaan atau kondisi
darurat. Maka seorang akan cukup terhadap apa yang Allah berikan itu
jauh lebih nikmat, lebih baik dari pada kemudian seorang masuki
cara-cara yang tidak di ridhai Allah yang menyebabkan dia hina di dunia
demikian pula di akhirat.
Dalam riwayat Muslim dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh telah beruntunglah seorang muslim dia masuk dalam islam
dia di beri hidayah Allah menjadi seorang muslim di atas islam yang
shahih yang benar kemudian diberikan rizqi yang menyebabkan dia tidak
merendahkan diri dihadapan manusia dan Allah memberikan sifat Qana’ah
terhadap apa yang Allah berikan kepadanya.”
Dia merasa cukup terhadap pemberian Allah yang halal demi Allah itu
lebih baik dari pada dia merendahkan diri di hadapan manusia. Wallahul
musta’an.
Mungkin ini insya Allah yang bisa saya berikan semoga memberi manfaat
terkhusus untuk diri saya sendiri. Wa akhiru da’wana anil hamdu
lillaahi rabbil ‘alamin..
Sumber : http://www.mahadassalafy.net
0 komentar:
Post a Comment